Dulu ketika masih duduk dibangku sekolah dasar, guru saya sering bercerita tentang sebuah negeri yang kaya raya. Tidak ada tumbuhan yang tidak bisa tumbuh, beraneka jenis binatang sangat betah hidup di negeri itu. Seluruh permukaan negeri itu hijau karena ditutupi hutan atau tanah pertanian. Tanahnya sangat subur dan bisa menghasilkan rezeki yang tidak terhitung. Negeri itu merupakan hasil dari perkawinan dua sirkum besar, mediterania dan pasifik dan orang-orang sering menyebutnya sebagai zamrud khatulistiwa. Permadani hijau dunia yang penuh dengan kedamaian, kaya dan sejahtera.
Negeri itu adalah tanah airku Indonesia . Namun, itu hanyalah cerita masa lalu. Tak ada lagi zamrud khatulistiwa. Permadani hijau telah tak lagi utuh. Hutan telah menjadi malaikat maut ketika musim hujan dan kemarau tiba. Ya, malaikat maut yang mencabut nyawa siapa saja dengan longsor dan banjirnya. Tanah subur area pertanian hanya beberapa petak saja yang bersisa, selebihnya menjadi gersang akibat hutan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan air di musim panceklik. Beginilah nasib negeri ini sekarang.
Mengapa ini terjadi di zamrudku?
Sangat banyak jawaban yang mungkin timbul dari benak kita semua. Lihat saja, hutan dieksploitasi secara besar-besaran oleh negara untuk dijadikan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Berbagai upaya dilakukan untuk memanfaatkan hutan semaksimal mungkin untuk meraih keuntungan ekonomis. Secara konseptual pemanfaatan hutan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dilakukan sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak terdapat keseimbangan antara pemanfaatan dan upaya pelestarian. Setiap tahun hutan mengalami degradasi yang cukup tajam baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas. Akibatnya, bencana longsor dan banjir setiap tahun dirasakan oleh berbagai daerah di negeri ini.
Penebangan liar dan perambahan hutan di Indonesia menyebabkan Negara ini kehilangan lebih dari 72 persen hutan alaminya, 40 persen dari angka tersebut telah hilang sama sekali. Jika dianalogikan, Indonesia telah menghancurkan sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan 300 kali luas lapangan bola setiap jamnya.
Dari berbagai keterangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya ada keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat itu sendiri. Euforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.
Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha nakal yang menyalahgunakan hak pengusahaan hutan (HPH) diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.
Perlu kita sadari bahwa kerusakan hutan merupakan bagian dari kerusakan republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.
Ketika banjir bandang datang, bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi
Munculnya bencana alam yang mengerikan di masa datang akibat rusaknya hutan lindung tak dipedulikan. Kerugian pemerintah akibat perusakan hutan lindung itu amat besar, jauh lebih besar ketimbang yang diraih dari “pajak dan bagi hasil” dari perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Jika hal terakhir ini menjadi pertimbangan, niscaya pemerintah akan berpikir seribu kali untuk meloloskan perizinan tersebut. Kita tahu, pada 2006, 2007, dan 2008,kawasan-kawasan yang hutan lindungnya dirusak perusahaan tambang itu dilanda banjir dan longsor yang amat hebat.
Kerugiannya mencapai triliunan rupiah, belum termasuk korban jiwa. Iming-iming ekonomi sesaat untuk merusak keberadaan hutan lindung adalah masalah klasik yang selalu terulang. Ada perbedaan kepentingan antara anggota kabinet yang membidangi perekonomian dan lingkungan, sebagaimana halnya perbedaan klasik antara pendekatan ekonomi dan pendekatan lingkungan terhadap suatu objek. Dalam pertarungan kepentingan tersebut, ternyata pendekatan lingkungan terkalahkan oleh pendekatan ekonomi.
Selain itu, kita bisa melihat masalah serius perusakan kawasan-kawasan keruk di Indonesia yang selama ini hutan lindungnya dijadikan area pertamban. Konflik sosial bahkan peningkatan angka kemiskinan. Warga kehilangan lahan, hingga mengalami gangguan kesehatan akibat lingkungan yang tercemar. Dan kini, mereka harus berhadapan dengan musim yang tidak menentu, baik untuk menanam padi di sawah atau pun menangkap ikan di laut. Warga-warga korban sekitar pertambangan inilah, yang akan menjadi salah satu korban paling rentan dampak perubahan iklim. Seperti warga korban pembangunan lainnya.
dimuat di Harian Aceh, www.harian-aceh.com
sungguh memprihatinkan memang ketika hutan lindung yang saat ini bahkan disewakan cuma seharga Rp 120 per meter hingga Rp 300 per meter per tahunnya..
BalasHapusAceh mungkin sedikit beruntung karena melaksanakan moratorium logging
kalau liat begitu gampang aku temui hutan2 kecil di sini jadi sedih inget hutan di negeri séndiri
BalasHapusMungkin posisi kita sama,sama2 di t4 alam yg tanpa pamrih mendistribusikan kekayaan nya tapi... Kita yg pribumi apakah sudah menikmati nya ??? Jutaan kubik kayu,batubara di ekploitasi dari bumi kalimantan kata nya untuk suplai listrik tapi yg ada kalimantan listrik banyak padam nya dari pada hidup nya entah pihak mana yg menikmati yg jelas rakyat kalimantan cuman dapat bencananya saja.
BalasHapus