Tampilkan postingan dengan label Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Maret 2009

GOLPUT Ngga Ya???

Maret 23, 2009 8 Comments
Sore ini di kala jaringan internet kantor sedang lemot-lemotnya. Lambat banget deh!!! Ngga jauh beda dengan jalannya SIPUT (bukan seafood ya). Tiba-tiba aja sebuah inspirasi datang. Inspirasi untuk… Apa lagi kalau bukan ngeblog. Posting my blog anymore.

Kali ini aku ingin menulis tentang haramnya golput yang telah difatwakan MUI (duh MUI, kenapa harus menfatwakan haram sih?). Memang golput itu ngga ubahnya dengan tindakan mubazir. Dan orang yang suka memubazirkan sesuatu itu temannya syaitan. Innal mubazziriina kanuu ikhwanasy syayathin. Wakanusy syaithanu lirabbihi kafura. (Artinya cari sendiri ya!)

Nah, ngomong-ngomong tentang keharaman golput waktu pemilu nanti. Sebenarnya aku setuju aja sih dengan fatwa ini. Ya, satu suara kita sangat menentukan bangsa ini ke depan dan seburuk apapun pemimpin yang dihasilkan dari pemilu, itu lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali. Tapi, yang sangat disayangkan adalah fatwa yang mereka tetapkan itu mutlak. Ngga ada kompromi sama sekali. Berbeda dengan fatwa haramnya merokok yang ditujukan untuk kalangan tertentu saja. (btw, merokok bisa mengurangi resiko Parkinson disease lho, hehe)

Menarik sekali pernyataan Professor Ali Musthafa Ya’qubProfessor Ali Musthafa Ya’qub mengatakan, bahwa fatwa MUI tentang haramnya golput itu semata karena Allah. MUI bertanggung-jawab kepada Allah, bukan kepada manusia. Wilayah fatwa MUI bersifat moral, tidak bisa memaksa, apalagi sampai mengawasi. MUI bertanggung-jawab kepada Allah dengan memberikan penjelasan-penjelasan kepada Ummat sesuai Syariat Islam.

Pertanyaan untuk Professor Ali seperti yang ditulis oleh AM. Waskito dalam tulisannya Menerima atau Menolak “Fatwa” Haram Golput :
"Apakah orang-orang yang salah dalam memilih wakil-wakilnya, apakah mereka kelak tidak ditanya di Akhirat? Apakah yang ditanya hanya soal ikut atau tidak ikut dalam Pemilu saja? Sementara yang salah pilih, atau mendukung orang-orang yang keliru, mereka tidak ditanya?"

Back again to golput. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan teman-temanku yang berasal dari luar daerah dan masih ber-KTP kota tempat tinggalnya. Kasihan banget teman-temanku itu kalau harus menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk mencoblos (eits salah CONTRENG bo!) di kota asal mereka. Betapa tidak, mereka harus kembali ke kampung halaman hanya untuk tanggal 9 April. It's okay, kalau mereka berasal dari Sigli, Lhokseumawe, atau paling jauh Medan. Nah, kalau pemilih itu datang dari Padang, Jambi, Jakarta, dan kota lainnya yang ngga mungkin ditempuh dalam perjalanan sehari (kalau pun bisa, harus lewat udara yang biayanya sampe jutaan rupiah) hanya untuk pulang sehari? Gimana tuh? Belum lagi kalau kampus hanya meliburkan satu hari saja! Berabe banget. Udah dosa dunk!

Lain ceritanya kalau pemerintah (lagi-lagi p-e-m-e-r-i-n-t-a-h) ngasih ongkos PP untuk mereka,
"Kalo ada yang mau ngebayarin aku pulang untuk ikut pemilu, bakal kucontreng deh tuh caleg…haha"
ujar salah satu temanku yang berasal dari Jambi.

So how ? Do you have any suggestion?

Jumat, 20 Februari 2009

Pohon Asam Kok Buahnya Caleg?

Februari 20, 2009 23 Comments
 
http://www.duaberita.com/main/images/stories/fruit/koruptorlingkngan.jpg
Akhir-akhir ini fenomena aneh melanda negeri ini. Tidak hanya di satu tempat saja, tetapi dari Sabang sampai Merauke kejadian aneh tapi nyata terjadi. Nah lho? Apakah itu? Yoohaaa,..pohon-pohon tidak lagi menghasilkan buah sebagaimana layaknya. Buahnya telah berubah. Pohon mangga tidak hanya menghasilkan buah mangga. Pohon asam jawa yang belum musimnya berbuah juga telah berbuah, tapi bukan buah asam. Bahkan pohon yang tidak berbuah sekalipun kini telah berbuah. Buahnya sama semua. Aneh tapi nyata. It’s the fact. Semua berbuah foto CALEG.

Buah-buah caleg itu dihasilkan oleh berbagai pohon (terutama yang terletak di sepanjang jalan) melalui hasil mutasi gen dan juga persilangan antara sang pohon dan kampanye Pemilu 2009. Buah yang dihasilkan juga beraneka warna dan jenis kelamin. Ada warna putih dengan lambang bintang, atau warna hijau dengan lambang bulan. Ada warna merah gambar burung (mungkin untuk mempercepat penyerbukan). Pokoknya segala macam warna yang ada di dunia ini (mejikuhibiniu) menjadi warna buah sang pohon. Kemudian isi buahnya ada laki-laki atau pun perempuan. Ada yang masih muda atau telah lanjut usia. Buah-buahnya juga beda-beda kualitas. Ada yang bertaraf kabupaten, provinsi, bahkan negara. Semua buah itu yang akan dipilih masyarakat Indonesia nantinya pada tanggal 9 April 2009 untuk menjadi wakilnya.

Tapi, terpikirkah kita dengan hadirnya buah-buahan yang sangat aneh tersebut dan marak pada beberapa bulan terakhir sangat tidak diharapkan sang pohon. Istilah kasarnya buah yang tidak diinginkan. Betapa tidak, buah tersebut bukanlah murni dihasilkan pohon tersebut. Semua buah tersebut adalah para caleg 2009 yang sedang melakukan kampanye. Mereka telah merusak pohon-pohon tersebut dengan memaksa makhluk yang menghisap CO2 sepanjang masa untuk “berpura-pura” menjadi pohon dari buah tersebut. Ada yang memaku, mengikat dengan kawat, atau menjadikan sandaran, meski pohonnya masih kecil dan belum cukup kuat menahan beban angin (bisa patah).

Nah, bagaimana mereka bisa benar-benar bisa diberi amanat untuk menjadi wakil rakyat kalau mereka sendiri masih suka menzalimi. Bukankah pohon itu adalah makhluk hidup dan juga ciptaan Yang Maha Kuasa? Berapa banyak jaringan-jaringan tumbuhan tersebut yang mati karena terkena paku atau ikatan kawat?

Saya merasa kalau para caleg ini, sudah tidak punya kepedulian pada lingkungannya, jangan harap mereka akan peduli pada kader atau simpatisan yang sudah memberikan suara pada mereka, waktu pemilu.

Semoga saja kita tidak tertipu dengan wajah cantik atau ganteng dari para caleg yang terpampang di pinggir-pinggir jalan, dipaku di pohon, ditempel di tiang listrik atau telepon, bahkan di cat di tembok.

Mari kita sebagai masyarakat yang demokratis, lebih bijak, dalam menentukan masa depan bangsa kita, dengan menitipkan aspirasi kita, pada calon legislatif yang punya kepedulian tinggi pada lingkungan, tidak sekedar janji atau ucapan, tapi praktek nyata di masyarakat dan lingkungannya.

Mari Selamatkan Lingkungan dan Bumi kita dari perusakan, demi masa depan generasi kita.

Selasa, 17 Februari 2009

ZINDAGI MIGZARA

Februari 17, 2009 10 Comments
Zendagi Migzara. Sebuah kalimat yang mungkin ngga asing lagi di telinga kita. Namun, aku yakin, banyak diantara kita yang tidak tahu artinya. Aku juga ngga bakal tau artinya atau bahkan ngga tau kata-kata tersebut sebelum membaca novel karyanya Khaled Hoseini " The Kite Runner ". Sebuah novel yang menceritakan kisah hidup Amir di Afganistan. Oke, sebelum aku berkisah tentang Sang Pengejar Layang-Layang itu, biar ngga membuat semuanya bingung tentang arti ZINDAGI MIGZARA (kalo udah tahu diam aja yaaa,..hehhehe ini khusus untuk yang belum tau :)), pernah dengar Life Goes On? Atau Hidup Terus Berjalan? Nah itulah arti Zindagi Migzara.

Waktu luang ketika libur semester kali ini kumanfaatkan untuk bekerja dan membaca. Ada beberapa novel tergeletak di kamarku. Satu The Kite Runner yang kupinjam dari FLP dan satu lagi Dunia Bahagi yang kusewa disebuah taman bacaan. Sekarang aku akan menceritakan sedikit tentang The Kite Runner, sebuah novel dengan ketebalan 600an halaman dan kuhabiskan dalam waktu sehari.

The Kite Runner, Sang Pengejar Layang-Layang.

Novel ini merupakan karya pertama Khaled Hoseini tentang Afganistan (two thumbs for this novel). Memuat banyak filosofi kehidupan dengan penyampaian yang begitu mengalir dan tidak menggurui (kapan ya aku bisa seperti Agha Khaled?)

Berkisah tentang perjalanan hidup Amir sejak kecil hingga dewasa. Dengan seting Afganisatan sebelum, pada dan sesudah masa taliban. Amir bukanlah seorang anak pemberani dan mandiri ketika kecil, haus kasih sayang ayah yang sangat maskulin.

Banyak tingkah laku Amir ketika kecil yang terkadang kita juga sering melakukannya, membuat kita berkaca bahwa kita juga sering mnecuri. Mencuri. Satu-satunya bentuk kejahatan yang berulang-ulang disindir dalam buku ini.
"Semua sumber kejahatan adalah mencuri. Ketika seseorang berbohong, maka sesungguhnya Ia mencuri kesempatan orang lain untuk mendapat kebenaran,"
ucap Baba (ayahnya Amir) yang sering kali diingatnya.

Buku ini bercerita bahwa meski sederet dosa dilakukan, hal tersebut adalah sebuah kewajaran sebagai manusia, tak perlu menghukum diri seumur hidup dengan lari dari kenyataan sebenarnya. Amir melarikan diri dari rasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan Hassan, sahabat setianya. Terkadang Amir juga merasa iri dengan kasih saying yang diberikan Baba untuk Hasan, seorang anak pelayan, yang menurutnya sangat berlebihan. Namun akhirnya terungkap bahwa ternyata Hasan adalah saudara tirinya.

Namun kembalinya dia ke Afganistan (setelah 15 tahun menetap di Amerika sejak pecahnya perang Afganistan melawan Soviet)membuatnya harus melakukan perubahan besar terhadap dirinya sendiri. yaitu menebus rasa bersalahnya dengan menyelamatkan Shohrab, anak Hassan dari keganasan perang Taliban.

Ada beberapa pesan yang bisa kutangkap dari novel ini, salah satunya adalah
saat rasa bersalah menggerakkan seseorang melakukan kebaikan itulah penebusan dosa sejati.

Ayah Amir memang melakukan kesalahan dengan menutupi kesalahannya dengan menghamili Saunubar (wanita Hazara yang akhirnya dinikahi Ali), dan Hassan sebagai anak kandungnya. Namun dia berusaha menebusnya dengan mendirikan panti asuhan dan perbuatan amal baik. Karena toh..masa lalu tak akan bisa di ulang kembali.
Hal itulah pelajaran terakhir yang di pelajari Amir dari Ayahnya, dan dia meneruskannya dengan jujur pada dirinya sendiri.

Jujur, ketika membaca buku ini aku menangis. Ketika Khaled menggambarkan bagaimana kepengecutan Amir yang rela membiarkan Hassan sahabat sejatinya diperkosa di depan matanya. Dan kelakuan Amir yang menuduh Hassan sebagai pencuri dengan tujuan agar diusir dari rumahnya.

Selain itu, gambaran kekejaman taliban, ketika Amir kembali ke Afganistan, sangat menyedihkan. Perbandingan antara gambaran Afganistan di masa kecil Amir, dan ketika masa Taliban, membuat pilu.
bagaimana bisa sebuah motivasi untuk menegakkan agama yang Rahmatan alamin bisa begitu penuh darah. . Menghacurkan peradaban dengan sehancur-hancurnya

The Kite???
Pengejar layang-layang adalah garis merah dalam cerita ini. Budaya bermain dan mengejar layang-layang adalah simbol dimana suatu masa, Afganistan tidak memperdulikan ras dan agama, syiah atau sunni, tetapi hanya sebuah kebersamaan, kegembiraan. Sebuah masa dambaan seorang Amir...dan kupikir juga masa-masa yang didambakan banyak orang.

Senin, 09 Februari 2009

Manusia Perahu Adalah Saudara Kita

Februari 09, 2009 33 Comments
Permulaan tahun 2009, pekan kedua bulan Januari dan awal Februari, Aceh kedatangan ratusan tamu luar negeri yang dibuang oleh negaranya sendiri. Sungguh malang nasib tamu yang terkenal dengan sebutan “manusia perahu” ini. Di negeri asalnya disiksa dan dizalimi, di negeri tetangga diusir dan dibuang. Dan sekarang, tamu yang merupakan Muslim Rohingya itu terdampar diperairan Sabang dan Idi Rayeuk, Nanggroe Aceh Darussalam. Akankah mereka akan mengalami nasib serupa dari pemerintah kita?

Manusia tanpa negara

Etnis Rohingya adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan yang mendiami kawasan perbatasan antara Myanmar-Bangladesh. Di Myanmar mereka mengalami penganiayaan dan siksaan yang brutal dari rezim junta militer. Inilah yang memaksa mereka menjadi manusia perahu yang berlayar dari satu negara ke negara lain, terutama Thailand, Malaysia dan Indonesia, untuk mencari tempat penghidupan yang lebih baik. Selain Myanmar, Thailand adalah negeri yang paling tidak bersahabat dengan orang Rohingya. Pemerintah negeri yang dulu bernama Siam itu selalu bertindak keras dan kasar bahkan mengarah ke pembantaian.

Muslim Rohingya adalah keturunan Bengali, Panthay dan campuran Burma-Cina. Sejak abad ke-7 Masehi mereka telah mendiami kawasan Arakan, sebuah wilayah seluas 14.200 mil persegi yang terletak di Barat Myanmar. Walau tinggal di kawasan yang masuk wilayah Myanmar, namun junta militer tidak mengakui kewarganegaraan mereka. Oleh sebab itu, mereka disebut juga dengan manusia tak bernegara atau orang tanpa kewarganegaraan (stateless people).

Sebagai Muslim yang hidup di bawah tekanan junta militer, tak mudah bagi etnis Rohingya menjalankan keyakinan mereka. Ratusan masjid dan madrasah di wilayah mereka dihancurkan, Al-Qur’an sebagai kitab suci dinjak-injak dan dibakar para tentara yang brutal. Perlakuan tak manusiawi ini membuat mereka berontak. Untuk menyelamatkan diri dan akidah, mereka melarikan diri dari tanah kelahirannya.

Muslim Rohingya termasuk dalam daftar pengungsi terbesar di dunia. Bangladesh adalah salah satu negara yang menampung mereka. Menurut data UNHCR, organisasi PBB yang mengurusi masalah pengungsi, jumlah pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp UNHCR Bangladesh mencapai 28 ribu orang. Di luar itu, lebih dari 200 ribu orang yang tak terdata. Mereka memilih hidup sebagai manusia perahu.

Karena tak ada tempat berpijak lagi, umat Islam yang terusir dari tanah kelahirannya ini memilih tinggal di atas perahu. Berlayar dari satu tempat ke tempat yang lain. Kadang mereka juga mendiami beberapa pulau kosong yang terdapat sepanjang perbatasan Myanmar-Thailand. Walau hidup susah, namun di pulau-pulau tak bernama ini mereka lebih leluasa menjalani hidup. Beberapa ormas dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional kadang memberikan mereka bantuan pangan, obat-obatan maupun fasilitas pendidikan dan kesehatan.

Nasib Manusia Perahu di Aceh

Sebelum ditemukan terkatung-katung di tengah laut tanpa persediaan makanan oleh nelayan dan TNI AL, ratusan manusia perahu ini ditangkap oleh militer Thailand tepatnya di wilayah perairan Laut Andaman dan menahan mereka secara rahasia di sebuah pulau bernama Koh Sai Daeng.

Usai ditahan selama beberapa hari, kaum Muslimin yang tak berdaya ini kemudian diseret ke tengah laut lalu dintinggalkan di atas kapal tanpa mesin. Bahkan sebagian hanya ditinggali dayung. Tak ayal, sebagian besar manusia “tanpa negara” ini hilang dan mati tenggelam.

Sekarang ratusan “manusia perahu” yang juga beragama Islam telah tiba di Serambi Mekkah setelah ditemukan oleh nelayan setempat (Sabang dan Idi Rayeuk) . Kisah pilu manusia perahu itu membuat masyarakat Aceh sadar dan rasa ingin membantu. Yang paling memilukan adalah mereka harus membuang 22 saudara mereka yang meninggal ke laut lepas. Mereka meninggal karena kelaparan dan tidak adanya persediaan logistik di tengah laut.

Namun, bagaimana nasib mereka selanjutnya setelah terdampar di negeri yang hampir seratus persen penduduknya beragama Islam?

Seperti yang diberitakan detiknews (02/02/09), Pemerintah Indonesia akan segera mendeportasi “manusia perahu” ke negera asal mereka, Myanmar. Pemerintah menyimpulkan bahwa manusia perahu yang terdampar di Sabang diduga kuat bermotif ekonomi (economy migrant) .

Namun, seperti yang dituliskan Junaidi Beuransyah (acehlong.com), kesimpulan yang diambil pemerintah dalam proses pendataan dan investigasi terkesan dan terdapat adanya manipulasi. Pemerintah cendrung melibatkan International Organization for Migration(IOM) ketimbang UNHCR dalam menangani Muslim Rohingya. Seharusnya Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak badan resmi PBB United Nation High Commision for Refugee(UNHCR) karena ini tugas dan wewenangnya mengurusi para pengungsi.

Keterlibatan IOM semata tanpa adanya pihak UNHCR soal penanganan pengungsi Myanmar ini sebenarnya belum sempurna segi keakuratan data dan informasi. Akibatnya mencuat isu dari politik berubah kemotif ekonomi. Kita yakin bahwa warga Rohingya yang terseret arus laut di perairan Aceh itu adalah bahagian dari keburukan politik dan penindasan penguasa junta militer.

Kita sangat memahami penyebab buruknya ekonomi itu merupakan akibat dari runyamnya situasi politik sehingga membuat para manusia perahu itu harus hijrah menyelamatkan diri sekaligus memperbaiki ekonomi dari luar negaranya.

Dengan kata lain, persoalan politik dan ekonomi yang sedang dihadapi para pengungsi politik dimanapun di dunia, merupakan dua sisi kehidupan antara keselamatan nyawa dan perubahan hidup. Jika perlindungan telah ada, maka secara otomatis akan menyusul dengan perbaikan nasib untuk hidup secara ekonomi. Singkatnya dua hal tersebut tak mungkin terpisahkan dan itu fakta.

Himbauan untuk Pemerintah

Kita meminta kepada Pemerintah Indonesia supaya mempertimbangkan kembali niatnya untuk mendeportasikan Muslim Rohingya agar keselamatan mereka terjamin. Departemen luar negeri kiranya perlu melihat secara lebih teliti bahwa kehadiran mereka ke Indonesia itu masih dalam konteks politik negara Myanmar yang begitu parah yang menyebabkan mereka tertindas dan keluar dari negaranya untuk mencari perhatian dan perlindungan politik dunia internasional. Mereka perlu dilindungi secara politik oleh Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan menyambut baik semua manusia perahu dengan memberikan status negara kedua dan pemberian suaka kepada mereka sambil menunggu adanya jaminan keamanan yang menyeluruh dari negara ketiga.

Nasib manusia perahu sangat memerlukan perhatian dan bantuan dari Pemerintah Indonesia. Mereka itu (etnis muslim minoriti) golongan tertindas dan diusir dari negaranya akibat perlakuan penguasa junta militer yang cukup ganas. Sekarang mereka sudah terselamatkan dalam wilayah hukum negara Indonesia atau mereka kini berada di negara kedua. Karena itu perlindungan dan keselamatan harus diberikan kepada mereka dan bukannya membuang mereka kembali ke negara asalnya.

Sebaiknya Pemerintah Indonesia sesegera mungkin mencari jalan terbaik bagi menangani pengungsi tersebut. Pemerintah sangat diharapkan segera mengambil langkah positif untuk mengizinkan dan mengundang pihak UNHCR guna mempercepat penanganan mereka dan selanjutnya diterbangkan kenegara ketiga. Nasib dan derita yang mereka alami saat ini sungguh memprihatinkan. UNHCR adalah lembaga paling tepat untuk mengurusi mereka yang berstatus pelarian politik.

Penulis adalah Pengurus Forum Lingkar Pena Aceh, Ketua Litbang BEM FK Unsyiah





Senin, 02 Februari 2009

Abang Becak Pake Baju Dinas

Februari 02, 2009 24 Comments

Kalo ada abang becak pake baju dinas alias baju kantoran, itu artinya apa ya? Hmmm, bisa jadi Abang becak itu pekerja keras, dia ngga hanya membanting tulang di kantoran, tapi tulangnya juga dibanting dengan mendayung becak,..Hohoho

Sebenarnya ngga ada yang salah sih dengan pakaian seorang penarik becak. Terserah dia mau memakai baju apa. Mau pakaian belel atau yang sangat necis, semua itu terserah mereka. Begitu juga kalo mereka memakai pakaian dinas. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah Apa yang ada dipikiran Anda kalo melihat penarik becak memakai pakaian dinas (kalo hari senin baju dan celananya warna ijo ya?) pada jam kantoran? Penarik becakkah dia? Atau Pegawai Negeri Sipil yang sedang menari becak di jam kerja? TANYA KENAPA???

Kejadian itu memang kualami langsung. Aku menumpang becak yang pengendaranya memakai pakaian PNS pada pukul 11.00 WIB. Spontan ketika melihat pemandangan yang kurang indah di mata itu, sebuah pertanyaan muncul dari mulutku, " Ngga masuk kantor, Pak? Kok narik becak? Bukannya sekarang masih jam kantoran?"

Lelaki yang umurnya sekitar 50 tahunan itu hanya tersenyum kecut dan membiarkan pertanyaanku lenyap bersama angin. Ia terus menstarter motornya dan kemudian mengantarkanku ke tempat tujuan. Memang, pakaiannya tidak begitu mencolok karena ia memakai jaket untuk menutupi kemeja dinasnya. Tapi itu akan sangat kelihatan kalau kamu berada tidak lebih dari 50 cm dari abang becak tersebut.

Ingin rasanya menghujaninya ribuan pertanyaan dan alasan yang membuatnya tetap menarik becak di jam kantoran. Aku yakin, dia benar-benar seorang PNS. Dari pakaiannya juga sepatu yang dia gunakan. Lumayan rapi, bahkan sangat rapi kalau dibandingkan dengan penarik becak yang juga mangkal di tempat yang sama dengannya.

Fenomena yang biasa

Bolos di jam kerja merupakan fenomena yang biasa kudapatkan di Aceh. Tak jarang para abdi negara itu terjaring dalam razia di saat mereka sedang asyik-asyiknya menyeruput secangkir kopi di warung-warung pada jam kerja.

Meski sudah dilakukan razia, pada hari yang lain tetap ada saja orang-orangan sawah (eitsss, salah) orang katoran itu yang lebih memilih kerja di warung kopi ketimbang menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Entah apa yang mereka perdebatkan di sana? Dan yang paling membuatku bingung dan heran adalah setelah pulang kantor, pada sore sampai malam hari mereka kembali mengunjungi Warung Kopi.

Tapi, untuk kejadian hari ini, baru pertama kali ku alami dan ku lihat dalam hidup. Kenapa bapak itu menarik becak di jam kerja ya?

Mungkin di antara kalian sering juga melihat para abdi negara itu yang bolos kerja? Kira-kira apa ya solusinya?

Rabu, 28 Januari 2009

Aku Bangga Jadi Orang Indonesia

Januari 28, 2009 34 Comments

Ya, aku sangat bangga dilahirkan di negeri yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Kenapa mesti malu coba? Bukankah hubbul watani minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) ?

Pak H. Rosihan Anwar, seorang wartawan nasional pernah mengungkapkan dalam puisinya betapa ia tidak malu menjadi orang Indonesia.

Aku tidak malu jadi orang Indonesia ... Biar orang bilang apa saja, biar, biar ... Indonesia negara paling korup di dunia Indonesia negara gagal Indonesia negara lemah Indonesia melanggar HAM Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan Presiden-presiden Indonesia dilecehkan humoris
Biar saja orang-orang menghujat Negara Indonesia ini dengan berbagai hujatan, dijuluki dengan bebagai julukan.Terserah! “Kalau kamu benci dengan negeri ini, kenapa tidak angkat kaki saja? Kenapa tetap saja mengais rezeki dan mempertahankan hidup di negeri yang kamu benci ini? Kenapa tetap menggunakan Bahasa Indonesia? Tetap memakai fasilitas Negara?” Kata-kata itu sangat layak diucapkan untuk mereka yang ngakunya “benci” dengan Indonesia.

Aku sangat bangga bertanah airkan Indonesia. Karena di dunia ini hanyalah Indonesia yang bernama Indonesia, berbahasa Indonesia, memiliki ribuan pulau, berbagai macam suku, sumber daya alam yang melimpah ruah, dan merupakan negara tropis.

Aku bangga menjadi rakyat Indonesia. Rakyat dari sebuah negara yang kaya raya, yang memiliki total penduduk seratus juta lebih, yang hampir setiap tahunnya dilanda bencana. Bayangkan saja kalau Indonesia tidak terdapat banyak bencana, maka pusat penelitian bencana akan berpindah ke negara-negara lain. Eitss,. Bukan bermaksud senang dengan bencana di negara ini. Dari pada bersusah, mending kita mengambil hikmahnya sambil terus membenah diri. Betul ngga?

Namun, di balik kebanggaanku aku merasa miris dengan sikap teman-temanku yang mengaku sebagai “RAKYAT” Indonesia juga. Tak jarang makian terus saja terlontar untuk negeri ini. Sangat beragam. Pantaskah Indonesia mendapatkan semua itu? Seandainya negaraku berwujud seorang ibu, maka matanya pasti kering karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Telah kering air itu.

Coba kita telaah lebih lanjut. Indonesiakah yang salah? Saya rasa kalau Anda menjawab “Ya”, maka Anda salah besar! Indonesia hanya sebuah Negara, bukan manusia. Jadi yang salah adalah kita semua. Ya, kita semua yang masih berwujud manusia dan hidup di tanah air Indonesia.
Kenapa?

Kita bisa saja berdalih kalau kita hanyalah rakyat kecil yang menjadi korban para penguasa. Siapakah yang memilih penguasa? Kita juga kan? Kita-rakyat Indonesia.

“Wah, ngga fair itu. Saya ngga tahu menahu dengan semua itu. Saya hanya korban.” Lantas kenapa ngga mau mencari tahu? Kenapa hanya ikut-ikutan? Dan mau-maunya dikorbankan? Berapa abad kita sudah dijajah Belanda ditambah beberapa tahun oleh Jepang? Nah sekarang kan sudah merdeka, kenapa tetap mau dijajah.

Kita hanya bisa berdalih, menyalahkan orang lain, mengkritik, tapi tidak mau memberikan solusi.

Korupsi merajalela, kenapa? Karena kita telah menganggapnya hal yang biasa. Sogok-menyogok juga biasa. Semua dianggap biasa. “Sudahlah, biar urusannya cepat selesai,” dalih kita.
Nah, kalau hal itu tidak diberantas dan tetap menjadikannya sebagai hal yang biasa. Maka siapa yang salah?

Kritik boleh-boleh saja. Tapi negeri ini bukanlah miliknya para penguasa saja. Bukan milik para pejabat. Bukan hanya milik segelintir orang. Tapi, kita yang mengaku jadi rakyat Indonesialah pemiliknya. Jadi, jangan hanya mengkritik! Tapi berikanlah solusinya. Jangan hanya mengharap, tapi terjunlah bersama-sama membangun negeri ini.

Jadi jangan malu dengan keadaan negeri kita, tapi merasa malulah pada diri sendiri dan malu kepada Tuhan, serta malulah berkumpul bersama-sama dengan orang yang tidak mengerti arti hidup, orang yang tidak bisa menerima hidup ini dengan iklas, malulah berkumpul dengan orang-orang Indonesia yang tidak dapat jujur pada dirinya sendiri, suka bohong, menipu, maling (apapun bentuknya, lebih-lebih maling berdasi), yang harus Anda malu adalah jika Anda berkumpul bersama dengan para pejabat negara, dan para selebriti yang senang berfoya-foya, yang memiliki gaya hidup gengsi yang tinggi.

Mari kita lihat Negara Ethiopia dan negara miskin kerontang lainya. Atlet mereka tidak malu untuk terus berlari membawa bendera negaranya merebut emas marathon turun temurun. Mengapa kita musti ngomong malu tapi tidak bergerak dan hanya menjadi penonton atau komentator yg memalukan sambil memajang foto diri. Orang malu kan mustinya gak mau keliatan wajahnya.

Akan tetapi, saya yakin, ditengah bobroknya kondisi bangsa, masih banyak orang-orang yang sangat mencintai negeri ini. Orang-orang yang senantiasa saling menjaga dalam kebaikan masih ada, dan akan terus bertambah. Orang-orang yang yang mau bangkit dan bergerak, serta bisa menjadi solusi.

Mereka tidaklah seperti air yang menggenang, yang hanya diam saja dan menjadi sarang penyakit. Mereka adalah air yang mengalir, air yang bermanfaat bagi sekitarnya. Dan tentu saja mereka bukanlah orang-orang yang berkerumun tidak beraturan.

Menyehatkan Bangsaku

Januari 28, 2009 17 Comments
Apa yang telah kau berikan untuk negerimu? Sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik, membuatku sadar, dan kembali bertanya “apa yang telah kuberikan?” Nothing. Tidak ada yang bisa kusumbangkan untuk negeriku selama aku hidup di bumi pertiwi ini.

Memalukan memang. Dua decade aku menjadi bagian dari negeri ini, tapi aku hanya numpang saja tanpa mampu balas saja. Kalau dihitung dalam detik, menit, dan jam sungguh tak sanggup kulakukan. Bukanlah sebuah alasan jika aku berdalih kalau aku tak lebih dari seekor semut di negeri ini. Wajar saja aku tidak bisa berbuat sesuatu. Aku sangat kecil di negeri yang sangat besar.

Sebuah alasan yang sangat tidak rasionalis, dan sangat kelihatan dibuat-buat.

Sering ketika menjawab soal-soal kewarganeraan tentang hal-hal apasaja yang dilakukan anak negeri untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini, maka aku akan menjawab : Belajar dengan tekun dan menghargai jasa pahlawan. Sebuah jawaban yang memang telah terdikte dan termaktub dalam buku-buku. Itu saja. Tidak lebih. Dapat nilai bagus, sudah cukup.

Semakin beranjak dewasa, aku semakin sadar. Memang keberadaanku takkan bisa merobohkan benteng keterpurukan negeri ini. Tapi aku yakin, kedua tanganku mampu meringankan beban saudaraku yang memerlukannya. Ya, aku yakin itu.

Kita tidak perlu menjadi hebat dalam bertindak, tapi berbuatlah untuk menjadi hebat. Aku, yang mengecap ilmu kedokteran merasa yakin bisa memberikan sumbangsih yang besar untuk negeriku. Kemampuanku sebagai dokter nantinya bisa membantu meringankan angka kesakitan di negeri ini.

Sehat adalah dambaan setiap orang di seluruh pelosok dunia. Karena cara paling cepat masuk kubur adalah dengan mati. Cara paling cepat mati adalah dengan sakit-sakitan. Adalah fakta jika kebanyakan orang tidak ingin cepat mati. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bukan jika orang-orang rela menghabiskan seluruh hartanya biar tetap sehat?

Sehat bukan hanya merefleksikan prospek untuk hidup lebih lama, bahkan juga menjadi fondasi untuk hidup lebih produktif secara sosial maupun ekonomi. Jadi, bebas penyakit adalah syarat utama untuk hidup lebih maju. Maka wajar saja kalau di negara-negara maju, angka kematian sangat kecil. Bandingkan saja, dari 1000 kelahiran bayi di Indonesia, 33 diantaranya meninggal. Sementara Malaysia, tetangga kita, hanya 8 yang meninggal dari 1000 kelahiran (UNDP, 2003).

Kebutuhan akan sehat tidak hanya diperoleh dengan cara hidup sehat, tapi juga dengan adanya pelayanan kesehatan. Adalah tugas negara untuk membuat rakyatnya sehat dengan membuka akses kesehatan secara maksimal. Kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan dipandang sebagai hak paling asasi dari rakyat. Maka tidak boleh tidak, pemerintah harus menyediakan rumah sakit, dokter, perawat, obat-obatan, perlengkapan serta pelayanan lainnya dengan mutu dan standar yang optimum.

Namun pada kenyataannya, pelayanan kesehatan di masyarakat kita masih jauh untuk dapat dikaatakan memadai, terlebih lagi jika hal itu telah menyangkut rakyat miskin, masyarakat yang justru mendominasi negeri ini. Tidak jarang kita melihat banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama menyangkut program-program yang ditawarkan pemerintah untuk memudahkan mereka dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Nah, dengan kemampuan yang kumiliki, ingin rasanya mengabdi untuk negeri ini. Bukan ingin, tapi aku harus mengabdi. Sekarang aku hanya seorang mahasiswa kedokteran yang sebentar lagi memasuki semester enam, semester delapan nantinya aku akan mengikuti kepanitraan klinik di rumah sakit, satu setengah tahun lagi aku akan menjadi dokter. Yeah, kalau diakumulasikan lebih kurang tiga tahun lagi aku resmi menjadi dr. Liza Fathiariani (amiiin, mudahkanlah jalanku ya Rabb!)

Kalau sekarang, aku belum bisa menerapkan ilmu yang kumiliki untuk masyarakat. Karena memang peraturannya seperti itu. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari kampus jika ketahuan. Lantas, apa yang bisa kulakukan? Yupz, aku bisa mengabdi untuk negeriku dengan bersungguh-sungguh belajar, aku juga bisa menyuarakan aspirasi saudaraku dengan lidah dan penaku. Ya pasti bisa. Insyaallah.

Jika aku manjadi dokter nanti, ingin rasanya aku mengikuti jejak Patch Adams, seorang revolusioner sosial, DOKTER, badut, dan pria dengan segudang prestasi. Patch adalah pendiri Gesundheit! Institute, klinik pengobatan gratis di West Virginia ang telah merawat lebih dari 15.000 pasien (lengkapnya buka http://liza-fathia.blogspot.com/2009/01/dokter-atau-badut.html). Menjalankan profesiku tanpa harus membebankan saudaraku. Semoga engkau mengabulkannya ya Allah. Amien..

“The people that are trying to make this world worse are not taking a day off — how can I? — Light up the darkness.” (I Am Legend)

Selasa, 27 Januari 2009

Mengais Rezeki di Gerbong Kapitalis

Januari 27, 2009 18 Comments
 

Lelaki tua itu terus membereskan sayur dagangannya. Sesekali ia menyeka keringat di dahi yang mengucur dengan tangannya. Kemudian ia duduk dan menunggu pembeli datang. Pagi itu, hari Minggu (18/1/09), trotoar tempat ia menjajakan dagangannya tampak sepi. Begitu juga dengan badan jalan, hanya ada satu-dua kendaraan yang berlalu lalang.

“Hari Minggu begini memang sepi. Siang pun masih tetap sepi,” ujarnya dalam Bahasa Aceh yang sangat kental sambil mengambil beberapa daun melinjo tua dan kemudian membuangnya ke dalam kantong plastik yang memang telah disediakannya.

Aku hanya mengangguk saja. Dalam diam aku melihat sayur dagangannya. Daun melinjo, melinjo, asam sunti, sirih, dan daun jeruk berjejeran di atas plastik biru berukuran setengah meter. Semuanya adalah sayuran khas Aceh.


“Abdul Wahab,” jawab lelaki itu ketika kutanyakan namanya. Sambil tersenyum ramah, ia menjelaskan asal usulnya. Delapan puluh tahun silam ia lahir di Lambaro Angan, sebuah desa di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. “Watee jameun Belanda, lon ikot prang chit,” paparnya dengan semangat.

Kerutan di wajah, gigi-geligi yang telah tanggal, uban yang telah tumbuh menutupi batok kepala, dan tubuh yang semakin ringkih membuktikan bahwa usianya telah senja. “Saya telah jualan sayur sejak Jepang telah angkat kaki dari Aceh. Waktu itu saya jualannya di Pasar Peunayong bersama istri sampai musibah tsunami tahun 2004 lalu,” Pak Abdul memulai kisahnya sebagai pedagang sayur, "setelah tsunami, saya pindah ke sini. Sedangkan istri tetap di Peunayong.”

Bapak dari lima orang anak itu kemudian menunjuk ke bangunan di belakangnya. Bangunan itu begitu megah dengan tulisan makanan khas Italia Pizza Hut di pamfletnya. “Dulu waktu saya mulai jualan di sini, toko pizza ini belum ada,” jelasnya, “sengaja saya pindah ke sini karena di Peunayong sudah banyak penjual sayur yang lain. Setahun yang lalu, setelah rumah kami selesai dibangun di Lambaro Angan, saya menyuruh istri saya untuk di rumah saja. Biar saya saja yang mencari rezeki. “Aneuk mit pih ka leuh meukawen mandum.”

Kehadiran Abdul Wahab yang berprofesi sebagai penjual sayur di trotoar jalan Simpang Lima memang sangat kontras dibandingkan dengan kondisi sekitar, sehingga menjadi pusat perhatian pengguna jalan. Betapa tidak, di tengah maraknya para peminta-minta yang memadati kawasan Simpang Lima dan semakin merajalelanya kapitalisme yang tampak jelas dari bangunan-bangunan yang lebih “wah” dibandingkan bangun-bangunan lain dengan menawarkan berbagai macam jenis makanan cepat saji, namun lelaki itu tetap saja mencoba bertahan.

***

Matahari semakin terik pagi itu. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB. Itu artinya sudah dua setengah jam lebih Abdul Wahab menjajakan dagangannya. Namun, belum satu pun pembeli yang nongol. Setelah selesai shalat subuh lelaki paruh baya dengan peci hitam yang melekat di kepala itu telah beranjak dari rumahnya menuju Simpang Lima. Ia harus menghabiskan waktu selama satu jam lebih untuk untuk sampai ke tujuan dengan menggunakan labi-labi.

“Biasanya berapa banyak sayur yang terjual sehari?” aku kembali bertanya.

Lagi-lagi ia tersenyum sambil memamerkan gusinya yang tak lagi bergeligi. “Kadang-kadang hana ureung bloe, neuk!” jawabnya tetap tersenyum.

“Tapi, tiap hari pasti ada orang yang ngasih. Bahkan pernah sehari sampai seratus ribu,” jelas lelaki dengan postur tubuh agak sedikit pendek itu seolah mengetahui keherananku. ”Waktu megang, ada saja orang yang memberikan sedekah. Ada yang ngasih kain sarung, beras, gula, bahkan uang.”

Melihat dagangan yang ia jual, pastinya orang-orang lebih memilih ke pasar untuk membeli sayur-mayur yang lebih lengkap dan banyak pilihannya. Namun, semangatnya yang membara membuat orang tak segan-segan untuk memberinya puluhan ribu rupiah. “Dari pada ngasih ke pengemis,” ucap Ade, seorang mahasiswa ketika kutanyakan alasannya.

“Saya udah tua, Nak! Mau ke sawah sudah tidak sanggup lagi. Dari pada hanya diam di rumah, mending saya mencari rezeki di sini. Yang jelas saya tidak mau mengemis. Hana guna nyan, Neuk! Peumale droe mentong.” Setidaknya lelaki tua yang berjualan di trotoar itu telah berusaha untuk mencari rezeki. Bukankah tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah?

“Pergilah ke jalan yang lurus, Nak! Beu meutuah beh,” pesannya kepadaku ketika aku berpamitan.

Rabu, 21 Januari 2009

SYARIAT ISLAM : SOLUSI ATAU POLEMIK ?

Januari 21, 2009 14 Comments
“Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).

Tanpa terasa syariat Islam di Aceh telah berusia tujuh tahun semenjak dideklarasikan. Namun, sampai hari ini pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang perlu dicarikan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persolan-persoalan lain yang timbul yang ikut menghadang pemberlakuan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam ini.

Sejarah Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang disalin dalam dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.
Dengan peraturan inilah Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam kala itu, dibantu dengan fatwa-fatwa dari ulama kenamaan Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang saat itu menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahapan berikutnya, ajaran Islam telah menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, dan lainnya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,” Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “ Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.

Pada masa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah pun terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya. Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959), keputusan tersebut terkenal dengan nama keputusan Missi Hardi. Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang; agama, pendidikan dan peradatan, sehingga Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa.

Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar layak dipercaya pernah diberikan, ini karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan syariat Islam di seluruh wilayah Aceh.

Pada masa pemerintahan Orde Baru tidak kalah menyedihkan lagi. Betapa tidak, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang- Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan syariat yang menjadi salah satu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.

Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa dengan keistimewaan agama di dalamnya, pemerintah daerah tetap berupaya untuk menjalankan keistimewaan tersebut, ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan dearah yang berkenaan dengan penerapan syariat Islam.

Pada masa Reformasi, Presiden BJ Habibie menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan. Mengenai keistimewaan bidang agama didefinisikan dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.

Pada masa pemerintahan Megawati juga lahir Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Dan undang-undang ini juga membenarkan pembentukan Mahkamah Syari’ah baik pada tingkat rendah ataupun tingkat tinggi, wewenangnya meliputi seluruh bidang syari’at yang berkaitan dengan peradilan dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 merupakan momentum penerapan syariat Islam secara kaffah di bumi yang bersyariat, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan syariat Islam secara kaffah.

Mengaktualisasi penerapan syariat Islam secara kaffah, lahirlah beberapa qanun yang menjadi pegangan secara yuridis formal dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Namun harus diakui bahwa qanun-qanun tersebut masih banyak terdapat kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan syariat Islam seperti yang kita rasakan sekarang ini. Bahkan Al Yasa’ Abu Bakar mengatakan bahwa qanun-qanun yang ada sekarang harus direvisi karena isi qanun tersebut masih banyak kekurangan, serta perlu menyusun qanun yang lebih baik.

Penerapan Syariat Islam

Pada permulaan diterapkannya syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, banyak sinyal positif yang kita dapatkan. Ini terlihat melalui maraknya kegiatan religius dan adanya islamisasi pada pamflet perkantoran ataupun pertokoan yang ditambahkan dengan tulisan Arab-Jawi yang menjadi trend tersendiri pada masa itu. Walaupun itu bukanlah salah satu bentuk penerapan syariat Islam yang diharapkan, tetapi itu bisa menjadi salah satu proses untuk menggugah masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, penerapan syariat Islam telah menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Ketika syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera terbayang kepada hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan berbagai hukuman lainnya. Sekiranya kita mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman di atas bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari syariat Islam itu sendiri. Karena itu adalah bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.

Selain itu terdapat terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh oknum polisi Syariah).

Seperti yang dituliskan Teuku Reiza Yuanda dalam reviewnya tentang “Penerapan Syariat Islam di Aceh”, salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh, penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh masyarakat melalui sweping di jalan-jalan negara yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, dan di kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan. Kenyataannya, dalam pelaksanaan syariat Islam justru terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan, apakah korupsi dan manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibadah shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan oleh Islam? Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar syariat Islam, padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim Bak kata pepatah lama Aceh, “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah shalat Ied).

Seharusnya menjadi prioritas utama dalam penerapan Syariat Islam adalah penanaman akidah. Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi dengan batang-batang yang kuat dan kokoh akan langsung tumbang diterpa angin jika akarnya tidak kokoh. Begitu juga dengan akidah, seseorang yang berkeyakinan benar akan melewati jalan yang benar dan kemudian menggapai hasil yang benar. Aqidah adalah landasan utama dari dakwah Islam. Ketika awal mula menyiarkan Islam yang diajarkan nabi kepada penduduk Mekah adalah sisi akidah. Ini menunjukkan betapa urgennya aqidah dalam pengaplikasian syariat Islam.

MS dan WH untuk Apa?

Alamsyah, seorang terhukum cambuk yang dieksekusi pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman Mesjid Jami’ Kabupaten Bireun, mengusung poster yang ditulis dengan sanubari, ditulis dengan jeritan hati, mengapa dia dicambuk? Sedangkan yang lain hanya menonton di warung kopi. “Jangan kami rakyat kecil saja yang harus menerima hukuman cambuk di depan umum, orang orang kaya atau para pejabat yang melakukan pelanggaran hukum pun harus dicambuk dan ditonton masyarakat umum,” demikian protes Alamsyah setelah menerima hukuman cambuk sebanyak enam kali karena divonis melanggar qanun maisir.


Jika ditinjau lebih lanjut, polemik syariat Islam tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi asas atau yang lebih dikenal dengan qanun pelaksanaan syariat Islam sampai sekarang masih menyisakan masalah besar. Banyak qanun yang masih bersengketa dengan KUHAP sebagai rujukan tunggal pelaksanaan hukum. Di samping itu, banyak qanun yang dibuat tidak melalui kajian akademik bahkan terkesan tergesa-gesa hanya untuk mencari payung hukum penerapan syariat Islam. Seperti yang diakui Al-Yasa’ Abu Bakar bahwa qanun-qanun syariat Islam masih banyak yang harus direvisi. Hal ini jelas saja semakin menimbulkan daftar masalah yang membuat masyarakat semakin bingung dengan penerapan syariat Islam.

Zarkasyi menuliskan dalam bukunya “ Menuju Syariat Islam Kaffah” (2008), hal lain yang terjadi dalam penerapan syariat Islam di Aceh adalah harmonisasi peran ulama dan umara. Ulama terkesan kurang dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkenaan dengan implementasi syariat Islam, terutama dalam pembuatan qanun agar qanun yang dibuat sesuai dengan aturan syara’. Padahal dalam sejarah Aceh, ulama memiliki peran sebagai penyebar ilmu dan dakwah serta pendamping kekuasaan sultan. Selama ini ulama hanya sebagai join partner umara yang dibutuhkan jika memberikan manfaat. Keharmonisan hubungan ulama dan umara akan memperkuat penerapan syariat Islam. Ulama memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat, secara tidak langsung setiap perkataan ulama akan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut.

Tidak hanya ulama, lembaga yang mengurus dan mengontrol penegakan syariat
juga tidak luput dari kelemahan dan sorotan, lembaga itu lahir seiring lahirnya “izin” penerapan syariat Islam. Kehadiran lembaga tersebut masih menganut teori trial and error. Lembaga itu di antaranya adalah Wilayatul Hisbah (WH) dan juga Mahkamah Syari’ah.

Mahkamah Syari’ah (MS) telah lahir jauh sebelum penerapan syariat islam berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam ( sejak tahun 1947). Proses pengadilan hukum di MS mengalami banyak polemik yang terkesan berbelit-belit. Jika ada sebuah kasus, maka setelah mendapat laporan kasus disidik oleh polisi, kemudian dituntut oleh jaksa dan pada akhirnya baru disidangkan dan diputuskan MS.

Sebenarnya ada dua hal yang menjadi ketimpangan dalam proses ini. Pertama, secara hirarki MS berada pada urutan terakhir, artinya Mahkamah Syari’ah tidak bisa berbuat banyak jika belum selesai urusan di tingkat sebelumnya, meskipun permasalahan tersebut murni pelanggaran syariat.

Kedua, polisi dan jaksa merupakan perangkat hukum umum, bukan bagian dari perangkat hukum syariat Islam. Tentu kedua unsur ini berbeda dengan Mahkamah Syari’ah yang menggunakan hukum syara’ sebagai aturan dalam menjalankan tugasnya. Jadi, tidak heran jika ada kasus pelanggaran syariat yang proses hukumnya berlarut larut bahkan terkesan dipetieskan.

Lain halnya dengan Wilayatul Hisbah (WH). Tugas WH menimbulkan berbagai persepsi dalam masyarakat, sehingga WH dinilai tidak kompeten dan impoten dalam menjalankan fungsi dan perannya. Menurut Al Yasa’ Abu Bakar, WH sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah untuk melakukan sosialisasi syariat Islam, WH bukan polisi dan tugasnya bukan untuk merazia. Di mata masyarakat, tugas WH di lapangan lebih dari itu, WH identik dengan polisi syariat yang bertugas merazia bukan melakukan sosialisasi. Penyimpangan tugas WH ini menimbulkan polemik besar dan aksi aksi protes terhadap WH pun dilancarkan kendati tidak secara langsung.

Namun perlu direnungkan, dewasa ini tindakan tegas WH dalam amar makruf dan nahi mungkar sangat diperlukan. Ini karena kesadaran masyarakat untuk melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar telah berkurang. Kelemahan lain adalah belum ada payung hukum yang kuat bagi WH dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosisalisasi syariat Islam semata.

Penutup

Penerapan syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin. Ditakutkan konsekuensi di kemudian hari, masyarakat akan takut terhadap pelaksanaan syariat Islam. Namun bukanlah takut akan hukuman Allah, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Seharusnya pelaksana atau pemegang kebijakan dapat memberikan penyadaran moral kepada masyarakat melalui penerapan syariat Islam untuk mencapai ridha Allah SWT secara jangka panjang. Bukan hasil pemikiran jangka pendek karena asumsi Aceh sebagai Negeri Serambi Mekah dan kepentingan politik semata. Amin.

“Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Sabtu, 10 Januari 2009

Dokter Atau Badut???

Januari 10, 2009 7 Comments
Siang itu saya merasa kesal sendiri dengan pernyataan dosenku, “ Kita harus memanage waktu seefektif mungkin. Ketika cluenya sudah dapat, segera alihkan pembicaraan dengan pasien. Ingat, selain dia masih banyak pasien lain yang sedang antri di belakang.”jelasnya ketika memberikan instroduksi anamnesis psikiatrik kepada kami. Memang tidak ada yang salah dengan kata-katanya. Kalau kita hanya terfokus pada satu pasien, maka kita telah mengabaikan pasien yang lain. Jadi kesimpulannya adalah bagaimana caranya kita harus bisa meresepkan obat kepada semua pasien. That’s all. Lantas dimanakah hubungan terapeutik antara dokter dan pasien disini? Kalau sang dokter hanyalah penulis resep, bukan rekan, mitra, ataupun orang yang dianggap mampu memberikan solusi yang mantap?
Dalam praktik kedokteran, menyembuhkan merupakan interaksi anatara manusia yang harus penuh dengan kasih sayang, dan bukan transaksi bisnis. Ketika seorang dokter atau perawat mengulurkan tangan mereka kepada pasien yang mengeluhkan rasa sakit atau kerapuhan mereka, maka ini bisa mnejadi dasar sebuah ikatan sejati, bahkan persahabatan. Tapi dalam kenyataannya, sedikit sekali dokter atau pasien yang merasakan kedekatan ini. Saya merasa yakin bahwa dengan hilangnya hubungan ini telah memicu banyaknya kritik terhadap dunia kedokteran, klaim malpraktek, dan menimbulkan ketidakleluasaan paramedic untuk memberikan pelayanan kesehatan.
 

Sekarang dapat kita lihat betapa ilmu kedokteran telah berpindah dari tataran komunitas ke tataran perusahaan sehingga menjadi industri nomer wahid hampir di setiap negara. Padahal kita tahu bahwa perawatan kesehatan itu tidak bisa dijadikan sebuah industri. Bagaimana suami-istri, keluarga, kelompok, komunitas, negara, atau dunia bisa kuat kalau kesehatan atau kesejahteraan mereka bukan sebuah prioritas? Yang terjadi saat ini lebih menitikberatkan pada bisnis ketimbang pelayanan sehingga menyebabkan banyak kesulitan, biaya pengobatan yang tinggi, ataupun tuntutan malpraktik.

Kita, baik itu dokter atau pasien memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dapat melalui saat-saat terburuk dalam hidup jika kita bersikap sebagai teman dekat dan saling menghormati. Hidup itu lebih besar dari penyakit, diagnosis, pengobatan atau mekanisme penyakit.

Berubah Menjadi Badut


Inilah yang dilakukan Patch Adams, seorang revolusioner sosial, DOKTER, badut, dan pria dengan segudang prestasi. Patch adalah pendiri Gesundheit! Institute, klinik pengobatan gratis di West Virginia ang telah merawat lebih dari 15.000 pasien. Patch melakukan pendekatan hubungan personal kepada pasien untuk membantu mereka sembuh, bukan semata pendekatan klinis yang diterapkan rumah sakit pada umumnya. Dia sering kali memakai hidung badut berwarna merah untuk menghibur anak-anak kecil yang sakit ataupun mengajak mereka yang gelisah berjalan-jalan menuruni perbukitan.

Sungguh perbuatan yang sangat mulia. Pertanyaannya, adakah klinik pengobatan gratis di tempat kita? yang tenaga medisnya dengan tulus melayani pasiennya 24 jam seperti di Gesundheit Institute? Seorang dokter yang berubah menjadi badut dan melakukan berbagai atraksi yang dilakukan badut umumnya agar pasiennya tersenyum dan tidak ketakutan?

Jujur, setelah membaca kisah inspiratifnya Patch Adams, seorang dokter eksentrik yang menyembuhkan dengan humor dan kebahagiaan. Aku seperti ingin menyelami dunia yang dilakukan Patch. Memang, aku tidak mungkin menjadi badut, tapi aku bisa menjadi apapun itu yang pada akhirnya dapat membuat pasienku merasakan kalau aku adalah sahabatnya.

Minggu, 21 Desember 2008

HUJAN, HUTAN, DAN BENCANA ALAM

Desember 21, 2008 3 Comments
Dulu ketika masih duduk dibangku sekolah dasar, guru saya sering bercerita tentang sebuah negeri yang kaya raya. Tidak ada tumbuhan yang tidak bisa tumbuh, beraneka jenis binatang sangat betah hidup di negeri itu. Seluruh permukaan negeri itu hijau karena ditutupi hutan atau tanah pertanian. Tanahnya sangat subur dan bisa menghasilkan rezeki yang tidak terhitung. Negeri itu merupakan hasil dari perkawinan dua sirkum besar, mediterania dan pasifik dan orang-orang sering menyebutnya sebagai zamrud khatulistiwa. Permadani hijau dunia yang penuh dengan kedamaian, kaya dan sejahtera.
Negeri itu adalah tanah airku Indonesia. Namun, itu hanyalah cerita masa lalu. Tak ada lagi zamrud khatulistiwa. Permadani hijau telah tak lagi utuh. Hutan telah menjadi malaikat maut ketika musim hujan dan kemarau tiba. Ya, malaikat maut yang mencabut nyawa siapa saja dengan longsor dan banjirnya. Tanah subur area pertanian hanya beberapa petak saja yang bersisa, selebihnya menjadi gersang akibat hutan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan air di musim panceklik. Beginilah nasib negeri ini sekarang.
Mengapa ini terjadi di zamrudku?
Sangat banyak jawaban yang mungkin timbul dari benak kita semua. Lihat saja, hutan dieksploitasi secara besar-besaran oleh negara untuk dijadikan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Berbagai upaya dilakukan untuk memanfaatkan hutan semaksimal mungkin untuk meraih keuntungan ekonomis. Secara konseptual pemanfaatan hutan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dilakukan sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak terdapat keseimbangan antara pemanfaatan dan upaya pelestarian. Setiap tahun hutan mengalami degradasi yang cukup tajam baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas. Akibatnya, bencana longsor dan banjir  setiap tahun dirasakan oleh berbagai daerah di negeri ini.
Penebangan liar dan perambahan hutan di Indonesia menyebabkan Negara ini kehilangan lebih dari 72 persen hutan alaminya, 40 persen dari angka tersebut telah hilang sama sekali. Jika dianalogikan, Indonesia telah menghancurkan sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan 300 kali luas lapangan bola setiap jamnya.
Dari berbagai keterangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya ada keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat itu sendiri. Euforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.
Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha nakal yang menyalahgunakan  hak pengusahaan hutan (HPH) diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.
Perlu kita sadari bahwa kerusakan hutan merupakan bagian dari kerusakan  republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.
Ketika banjir bandang datang, bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi
Munculnya bencana alam yang mengerikan di masa datang akibat rusaknya hutan lindung tak dipedulikan. Kerugian pemerintah akibat perusakan hutan lindung itu amat besar, jauh lebih besar ketimbang yang diraih dari “pajak dan bagi hasil” dari perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Jika hal terakhir ini menjadi pertimbangan, niscaya pemerintah akan berpikir seribu kali untuk meloloskan perizinan tersebut. Kita tahu, pada 2006, 2007, dan 2008,kawasan-kawasan yang hutan lindungnya dirusak perusahaan tambang itu dilanda banjir dan longsor yang amat hebat.
Kerugiannya mencapai triliunan rupiah, belum termasuk korban jiwa. Iming-iming ekonomi sesaat untuk merusak keberadaan hutan lindung adalah masalah klasik yang selalu terulang. Ada perbedaan kepentingan antara anggota kabinet yang membidangi perekonomian dan lingkungan, sebagaimana halnya perbedaan klasik antara pendekatan ekonomi dan pendekatan lingkungan terhadap suatu objek. Dalam pertarungan kepentingan tersebut, ternyata pendekatan lingkungan terkalahkan oleh pendekatan ekonomi.
Selain itu, kita bisa melihat masalah serius perusakan kawasan-kawasan keruk di Indonesia yang selama ini hutan lindungnya dijadikan area pertamban. Konflik sosial bahkan peningkatan angka kemiskinan. Warga kehilangan lahan, hingga mengalami gangguan kesehatan akibat lingkungan yang tercemar. Dan kini, mereka harus berhadapan dengan musim yang tidak menentu, baik untuk menanam padi di sawah atau pun menangkap ikan di laut. Warga-warga korban sekitar pertambangan inilah, yang akan menjadi salah satu korban paling rentan dampak perubahan iklim. Seperti warga korban pembangunan lainnya.
dimuat di Harian Aceh, www.harian-aceh.com

Follow Us @soratemplates