GOLPUT Ngga Ya???
Liza Marthoenis
Maret 23, 2009
8 Comments
Sore ini di kala jaringan internet kantor sedang lemot-lemotnya. Lambat banget deh!!! Ngga jauh beda dengan jalannya SIPUT (bukan seafood ya). Tiba-tiba aja sebuah inspirasi datang. Inspirasi untuk… Apa lagi kalau bukan ngeblog. Posting my blog anymore.
Kali ini aku ingin menulis tentang haramnya golput yang telah difatwakan MUI (duh MUI, kenapa harus menfatwakan haram sih?). Memang golput itu ngga ubahnya dengan tindakan mubazir. Dan orang yang suka memubazirkan sesuatu itu temannya syaitan. Innal mubazziriina kanuu ikhwanasy syayathin. Wakanusy syaithanu lirabbihi kafura. (Artinya cari sendiri ya!)
Nah, ngomong-ngomong tentang keharaman golput waktu pemilu nanti. Sebenarnya aku setuju aja sih dengan fatwa ini. Ya, satu suara kita sangat menentukan bangsa ini ke depan dan seburuk apapun pemimpin yang dihasilkan dari pemilu, itu lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali. Tapi, yang sangat disayangkan adalah fatwa yang mereka tetapkan itu mutlak. Ngga ada kompromi sama sekali. Berbeda dengan fatwa haramnya merokok yang ditujukan untuk kalangan tertentu saja. (btw, merokok bisa mengurangi resiko Parkinson disease lho, hehe)
Menarik sekali pernyataan Professor Ali Musthafa Ya’qubProfessor Ali Musthafa Ya’qub mengatakan, bahwa fatwa MUI tentang haramnya golput itu semata karena Allah. MUI bertanggung-jawab kepada Allah, bukan kepada manusia. Wilayah fatwa MUI bersifat moral, tidak bisa memaksa, apalagi sampai mengawasi. MUI bertanggung-jawab kepada Allah dengan memberikan penjelasan-penjelasan kepada Ummat sesuai Syariat Islam.
Pertanyaan untuk Professor Ali seperti yang ditulis oleh AM. Waskito dalam tulisannya Menerima atau Menolak “Fatwa” Haram Golput :
Back again to golput. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan teman-temanku yang berasal dari luar daerah dan masih ber-KTP kota tempat tinggalnya. Kasihan banget teman-temanku itu kalau harus menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk mencoblos (eits salah CONTRENG bo!) di kota asal mereka. Betapa tidak, mereka harus kembali ke kampung halaman hanya untuk tanggal 9 April. It's okay, kalau mereka berasal dari Sigli, Lhokseumawe, atau paling jauh Medan. Nah, kalau pemilih itu datang dari Padang, Jambi, Jakarta, dan kota lainnya yang ngga mungkin ditempuh dalam perjalanan sehari (kalau pun bisa, harus lewat udara yang biayanya sampe jutaan rupiah) hanya untuk pulang sehari? Gimana tuh? Belum lagi kalau kampus hanya meliburkan satu hari saja! Berabe banget. Udah dosa dunk!
Lain ceritanya kalau pemerintah (lagi-lagi p-e-m-e-r-i-n-t-a-h) ngasih ongkos PP untuk mereka,
So how ? Do you have any suggestion?
Kali ini aku ingin menulis tentang haramnya golput yang telah difatwakan MUI (duh MUI, kenapa harus menfatwakan haram sih?). Memang golput itu ngga ubahnya dengan tindakan mubazir. Dan orang yang suka memubazirkan sesuatu itu temannya syaitan. Innal mubazziriina kanuu ikhwanasy syayathin. Wakanusy syaithanu lirabbihi kafura. (Artinya cari sendiri ya!)
Nah, ngomong-ngomong tentang keharaman golput waktu pemilu nanti. Sebenarnya aku setuju aja sih dengan fatwa ini. Ya, satu suara kita sangat menentukan bangsa ini ke depan dan seburuk apapun pemimpin yang dihasilkan dari pemilu, itu lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali. Tapi, yang sangat disayangkan adalah fatwa yang mereka tetapkan itu mutlak. Ngga ada kompromi sama sekali. Berbeda dengan fatwa haramnya merokok yang ditujukan untuk kalangan tertentu saja. (btw, merokok bisa mengurangi resiko Parkinson disease lho, hehe)
Menarik sekali pernyataan Professor Ali Musthafa Ya’qubProfessor Ali Musthafa Ya’qub mengatakan, bahwa fatwa MUI tentang haramnya golput itu semata karena Allah. MUI bertanggung-jawab kepada Allah, bukan kepada manusia. Wilayah fatwa MUI bersifat moral, tidak bisa memaksa, apalagi sampai mengawasi. MUI bertanggung-jawab kepada Allah dengan memberikan penjelasan-penjelasan kepada Ummat sesuai Syariat Islam.
Pertanyaan untuk Professor Ali seperti yang ditulis oleh AM. Waskito dalam tulisannya Menerima atau Menolak “Fatwa” Haram Golput :
"Apakah orang-orang yang salah dalam memilih wakil-wakilnya, apakah mereka kelak tidak ditanya di Akhirat? Apakah yang ditanya hanya soal ikut atau tidak ikut dalam Pemilu saja? Sementara yang salah pilih, atau mendukung orang-orang yang keliru, mereka tidak ditanya?"
Back again to golput. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan teman-temanku yang berasal dari luar daerah dan masih ber-KTP kota tempat tinggalnya. Kasihan banget teman-temanku itu kalau harus menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk mencoblos (eits salah CONTRENG bo!) di kota asal mereka. Betapa tidak, mereka harus kembali ke kampung halaman hanya untuk tanggal 9 April. It's okay, kalau mereka berasal dari Sigli, Lhokseumawe, atau paling jauh Medan. Nah, kalau pemilih itu datang dari Padang, Jambi, Jakarta, dan kota lainnya yang ngga mungkin ditempuh dalam perjalanan sehari (kalau pun bisa, harus lewat udara yang biayanya sampe jutaan rupiah) hanya untuk pulang sehari? Gimana tuh? Belum lagi kalau kampus hanya meliburkan satu hari saja! Berabe banget. Udah dosa dunk!
Lain ceritanya kalau pemerintah (lagi-lagi p-e-m-e-r-i-n-t-a-h) ngasih ongkos PP untuk mereka,
"Kalo ada yang mau ngebayarin aku pulang untuk ikut pemilu, bakal kucontreng deh tuh caleg…haha"ujar salah satu temanku yang berasal dari Jambi.
So how ? Do you have any suggestion?