Rabu, 28 Januari 2009

Aku Bangga Jadi Orang Indonesia

Januari 28, 2009 34 Comments

Ya, aku sangat bangga dilahirkan di negeri yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Kenapa mesti malu coba? Bukankah hubbul watani minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) ?

Pak H. Rosihan Anwar, seorang wartawan nasional pernah mengungkapkan dalam puisinya betapa ia tidak malu menjadi orang Indonesia.

Aku tidak malu jadi orang Indonesia ... Biar orang bilang apa saja, biar, biar ... Indonesia negara paling korup di dunia Indonesia negara gagal Indonesia negara lemah Indonesia melanggar HAM Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan Presiden-presiden Indonesia dilecehkan humoris
Biar saja orang-orang menghujat Negara Indonesia ini dengan berbagai hujatan, dijuluki dengan bebagai julukan.Terserah! “Kalau kamu benci dengan negeri ini, kenapa tidak angkat kaki saja? Kenapa tetap saja mengais rezeki dan mempertahankan hidup di negeri yang kamu benci ini? Kenapa tetap menggunakan Bahasa Indonesia? Tetap memakai fasilitas Negara?” Kata-kata itu sangat layak diucapkan untuk mereka yang ngakunya “benci” dengan Indonesia.

Aku sangat bangga bertanah airkan Indonesia. Karena di dunia ini hanyalah Indonesia yang bernama Indonesia, berbahasa Indonesia, memiliki ribuan pulau, berbagai macam suku, sumber daya alam yang melimpah ruah, dan merupakan negara tropis.

Aku bangga menjadi rakyat Indonesia. Rakyat dari sebuah negara yang kaya raya, yang memiliki total penduduk seratus juta lebih, yang hampir setiap tahunnya dilanda bencana. Bayangkan saja kalau Indonesia tidak terdapat banyak bencana, maka pusat penelitian bencana akan berpindah ke negara-negara lain. Eitss,. Bukan bermaksud senang dengan bencana di negara ini. Dari pada bersusah, mending kita mengambil hikmahnya sambil terus membenah diri. Betul ngga?

Namun, di balik kebanggaanku aku merasa miris dengan sikap teman-temanku yang mengaku sebagai “RAKYAT” Indonesia juga. Tak jarang makian terus saja terlontar untuk negeri ini. Sangat beragam. Pantaskah Indonesia mendapatkan semua itu? Seandainya negaraku berwujud seorang ibu, maka matanya pasti kering karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Telah kering air itu.

Coba kita telaah lebih lanjut. Indonesiakah yang salah? Saya rasa kalau Anda menjawab “Ya”, maka Anda salah besar! Indonesia hanya sebuah Negara, bukan manusia. Jadi yang salah adalah kita semua. Ya, kita semua yang masih berwujud manusia dan hidup di tanah air Indonesia.
Kenapa?

Kita bisa saja berdalih kalau kita hanyalah rakyat kecil yang menjadi korban para penguasa. Siapakah yang memilih penguasa? Kita juga kan? Kita-rakyat Indonesia.

“Wah, ngga fair itu. Saya ngga tahu menahu dengan semua itu. Saya hanya korban.” Lantas kenapa ngga mau mencari tahu? Kenapa hanya ikut-ikutan? Dan mau-maunya dikorbankan? Berapa abad kita sudah dijajah Belanda ditambah beberapa tahun oleh Jepang? Nah sekarang kan sudah merdeka, kenapa tetap mau dijajah.

Kita hanya bisa berdalih, menyalahkan orang lain, mengkritik, tapi tidak mau memberikan solusi.

Korupsi merajalela, kenapa? Karena kita telah menganggapnya hal yang biasa. Sogok-menyogok juga biasa. Semua dianggap biasa. “Sudahlah, biar urusannya cepat selesai,” dalih kita.
Nah, kalau hal itu tidak diberantas dan tetap menjadikannya sebagai hal yang biasa. Maka siapa yang salah?

Kritik boleh-boleh saja. Tapi negeri ini bukanlah miliknya para penguasa saja. Bukan milik para pejabat. Bukan hanya milik segelintir orang. Tapi, kita yang mengaku jadi rakyat Indonesialah pemiliknya. Jadi, jangan hanya mengkritik! Tapi berikanlah solusinya. Jangan hanya mengharap, tapi terjunlah bersama-sama membangun negeri ini.

Jadi jangan malu dengan keadaan negeri kita, tapi merasa malulah pada diri sendiri dan malu kepada Tuhan, serta malulah berkumpul bersama-sama dengan orang yang tidak mengerti arti hidup, orang yang tidak bisa menerima hidup ini dengan iklas, malulah berkumpul dengan orang-orang Indonesia yang tidak dapat jujur pada dirinya sendiri, suka bohong, menipu, maling (apapun bentuknya, lebih-lebih maling berdasi), yang harus Anda malu adalah jika Anda berkumpul bersama dengan para pejabat negara, dan para selebriti yang senang berfoya-foya, yang memiliki gaya hidup gengsi yang tinggi.

Mari kita lihat Negara Ethiopia dan negara miskin kerontang lainya. Atlet mereka tidak malu untuk terus berlari membawa bendera negaranya merebut emas marathon turun temurun. Mengapa kita musti ngomong malu tapi tidak bergerak dan hanya menjadi penonton atau komentator yg memalukan sambil memajang foto diri. Orang malu kan mustinya gak mau keliatan wajahnya.

Akan tetapi, saya yakin, ditengah bobroknya kondisi bangsa, masih banyak orang-orang yang sangat mencintai negeri ini. Orang-orang yang senantiasa saling menjaga dalam kebaikan masih ada, dan akan terus bertambah. Orang-orang yang yang mau bangkit dan bergerak, serta bisa menjadi solusi.

Mereka tidaklah seperti air yang menggenang, yang hanya diam saja dan menjadi sarang penyakit. Mereka adalah air yang mengalir, air yang bermanfaat bagi sekitarnya. Dan tentu saja mereka bukanlah orang-orang yang berkerumun tidak beraturan.

Menyehatkan Bangsaku

Januari 28, 2009 17 Comments
Apa yang telah kau berikan untuk negerimu? Sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik, membuatku sadar, dan kembali bertanya “apa yang telah kuberikan?” Nothing. Tidak ada yang bisa kusumbangkan untuk negeriku selama aku hidup di bumi pertiwi ini.

Memalukan memang. Dua decade aku menjadi bagian dari negeri ini, tapi aku hanya numpang saja tanpa mampu balas saja. Kalau dihitung dalam detik, menit, dan jam sungguh tak sanggup kulakukan. Bukanlah sebuah alasan jika aku berdalih kalau aku tak lebih dari seekor semut di negeri ini. Wajar saja aku tidak bisa berbuat sesuatu. Aku sangat kecil di negeri yang sangat besar.

Sebuah alasan yang sangat tidak rasionalis, dan sangat kelihatan dibuat-buat.

Sering ketika menjawab soal-soal kewarganeraan tentang hal-hal apasaja yang dilakukan anak negeri untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini, maka aku akan menjawab : Belajar dengan tekun dan menghargai jasa pahlawan. Sebuah jawaban yang memang telah terdikte dan termaktub dalam buku-buku. Itu saja. Tidak lebih. Dapat nilai bagus, sudah cukup.

Semakin beranjak dewasa, aku semakin sadar. Memang keberadaanku takkan bisa merobohkan benteng keterpurukan negeri ini. Tapi aku yakin, kedua tanganku mampu meringankan beban saudaraku yang memerlukannya. Ya, aku yakin itu.

Kita tidak perlu menjadi hebat dalam bertindak, tapi berbuatlah untuk menjadi hebat. Aku, yang mengecap ilmu kedokteran merasa yakin bisa memberikan sumbangsih yang besar untuk negeriku. Kemampuanku sebagai dokter nantinya bisa membantu meringankan angka kesakitan di negeri ini.

Sehat adalah dambaan setiap orang di seluruh pelosok dunia. Karena cara paling cepat masuk kubur adalah dengan mati. Cara paling cepat mati adalah dengan sakit-sakitan. Adalah fakta jika kebanyakan orang tidak ingin cepat mati. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bukan jika orang-orang rela menghabiskan seluruh hartanya biar tetap sehat?

Sehat bukan hanya merefleksikan prospek untuk hidup lebih lama, bahkan juga menjadi fondasi untuk hidup lebih produktif secara sosial maupun ekonomi. Jadi, bebas penyakit adalah syarat utama untuk hidup lebih maju. Maka wajar saja kalau di negara-negara maju, angka kematian sangat kecil. Bandingkan saja, dari 1000 kelahiran bayi di Indonesia, 33 diantaranya meninggal. Sementara Malaysia, tetangga kita, hanya 8 yang meninggal dari 1000 kelahiran (UNDP, 2003).

Kebutuhan akan sehat tidak hanya diperoleh dengan cara hidup sehat, tapi juga dengan adanya pelayanan kesehatan. Adalah tugas negara untuk membuat rakyatnya sehat dengan membuka akses kesehatan secara maksimal. Kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan dipandang sebagai hak paling asasi dari rakyat. Maka tidak boleh tidak, pemerintah harus menyediakan rumah sakit, dokter, perawat, obat-obatan, perlengkapan serta pelayanan lainnya dengan mutu dan standar yang optimum.

Namun pada kenyataannya, pelayanan kesehatan di masyarakat kita masih jauh untuk dapat dikaatakan memadai, terlebih lagi jika hal itu telah menyangkut rakyat miskin, masyarakat yang justru mendominasi negeri ini. Tidak jarang kita melihat banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama menyangkut program-program yang ditawarkan pemerintah untuk memudahkan mereka dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Nah, dengan kemampuan yang kumiliki, ingin rasanya mengabdi untuk negeri ini. Bukan ingin, tapi aku harus mengabdi. Sekarang aku hanya seorang mahasiswa kedokteran yang sebentar lagi memasuki semester enam, semester delapan nantinya aku akan mengikuti kepanitraan klinik di rumah sakit, satu setengah tahun lagi aku akan menjadi dokter. Yeah, kalau diakumulasikan lebih kurang tiga tahun lagi aku resmi menjadi dr. Liza Fathiariani (amiiin, mudahkanlah jalanku ya Rabb!)

Kalau sekarang, aku belum bisa menerapkan ilmu yang kumiliki untuk masyarakat. Karena memang peraturannya seperti itu. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari kampus jika ketahuan. Lantas, apa yang bisa kulakukan? Yupz, aku bisa mengabdi untuk negeriku dengan bersungguh-sungguh belajar, aku juga bisa menyuarakan aspirasi saudaraku dengan lidah dan penaku. Ya pasti bisa. Insyaallah.

Jika aku manjadi dokter nanti, ingin rasanya aku mengikuti jejak Patch Adams, seorang revolusioner sosial, DOKTER, badut, dan pria dengan segudang prestasi. Patch adalah pendiri Gesundheit! Institute, klinik pengobatan gratis di West Virginia ang telah merawat lebih dari 15.000 pasien (lengkapnya buka http://liza-fathia.blogspot.com/2009/01/dokter-atau-badut.html). Menjalankan profesiku tanpa harus membebankan saudaraku. Semoga engkau mengabulkannya ya Allah. Amien..

“The people that are trying to make this world worse are not taking a day off — how can I? — Light up the darkness.” (I Am Legend)

Selasa, 27 Januari 2009

Mengais Rezeki di Gerbong Kapitalis

Januari 27, 2009 18 Comments
 

Lelaki tua itu terus membereskan sayur dagangannya. Sesekali ia menyeka keringat di dahi yang mengucur dengan tangannya. Kemudian ia duduk dan menunggu pembeli datang. Pagi itu, hari Minggu (18/1/09), trotoar tempat ia menjajakan dagangannya tampak sepi. Begitu juga dengan badan jalan, hanya ada satu-dua kendaraan yang berlalu lalang.

“Hari Minggu begini memang sepi. Siang pun masih tetap sepi,” ujarnya dalam Bahasa Aceh yang sangat kental sambil mengambil beberapa daun melinjo tua dan kemudian membuangnya ke dalam kantong plastik yang memang telah disediakannya.

Aku hanya mengangguk saja. Dalam diam aku melihat sayur dagangannya. Daun melinjo, melinjo, asam sunti, sirih, dan daun jeruk berjejeran di atas plastik biru berukuran setengah meter. Semuanya adalah sayuran khas Aceh.


“Abdul Wahab,” jawab lelaki itu ketika kutanyakan namanya. Sambil tersenyum ramah, ia menjelaskan asal usulnya. Delapan puluh tahun silam ia lahir di Lambaro Angan, sebuah desa di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. “Watee jameun Belanda, lon ikot prang chit,” paparnya dengan semangat.

Kerutan di wajah, gigi-geligi yang telah tanggal, uban yang telah tumbuh menutupi batok kepala, dan tubuh yang semakin ringkih membuktikan bahwa usianya telah senja. “Saya telah jualan sayur sejak Jepang telah angkat kaki dari Aceh. Waktu itu saya jualannya di Pasar Peunayong bersama istri sampai musibah tsunami tahun 2004 lalu,” Pak Abdul memulai kisahnya sebagai pedagang sayur, "setelah tsunami, saya pindah ke sini. Sedangkan istri tetap di Peunayong.”

Bapak dari lima orang anak itu kemudian menunjuk ke bangunan di belakangnya. Bangunan itu begitu megah dengan tulisan makanan khas Italia Pizza Hut di pamfletnya. “Dulu waktu saya mulai jualan di sini, toko pizza ini belum ada,” jelasnya, “sengaja saya pindah ke sini karena di Peunayong sudah banyak penjual sayur yang lain. Setahun yang lalu, setelah rumah kami selesai dibangun di Lambaro Angan, saya menyuruh istri saya untuk di rumah saja. Biar saya saja yang mencari rezeki. “Aneuk mit pih ka leuh meukawen mandum.”

Kehadiran Abdul Wahab yang berprofesi sebagai penjual sayur di trotoar jalan Simpang Lima memang sangat kontras dibandingkan dengan kondisi sekitar, sehingga menjadi pusat perhatian pengguna jalan. Betapa tidak, di tengah maraknya para peminta-minta yang memadati kawasan Simpang Lima dan semakin merajalelanya kapitalisme yang tampak jelas dari bangunan-bangunan yang lebih “wah” dibandingkan bangun-bangunan lain dengan menawarkan berbagai macam jenis makanan cepat saji, namun lelaki itu tetap saja mencoba bertahan.

***

Matahari semakin terik pagi itu. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB. Itu artinya sudah dua setengah jam lebih Abdul Wahab menjajakan dagangannya. Namun, belum satu pun pembeli yang nongol. Setelah selesai shalat subuh lelaki paruh baya dengan peci hitam yang melekat di kepala itu telah beranjak dari rumahnya menuju Simpang Lima. Ia harus menghabiskan waktu selama satu jam lebih untuk untuk sampai ke tujuan dengan menggunakan labi-labi.

“Biasanya berapa banyak sayur yang terjual sehari?” aku kembali bertanya.

Lagi-lagi ia tersenyum sambil memamerkan gusinya yang tak lagi bergeligi. “Kadang-kadang hana ureung bloe, neuk!” jawabnya tetap tersenyum.

“Tapi, tiap hari pasti ada orang yang ngasih. Bahkan pernah sehari sampai seratus ribu,” jelas lelaki dengan postur tubuh agak sedikit pendek itu seolah mengetahui keherananku. ”Waktu megang, ada saja orang yang memberikan sedekah. Ada yang ngasih kain sarung, beras, gula, bahkan uang.”

Melihat dagangan yang ia jual, pastinya orang-orang lebih memilih ke pasar untuk membeli sayur-mayur yang lebih lengkap dan banyak pilihannya. Namun, semangatnya yang membara membuat orang tak segan-segan untuk memberinya puluhan ribu rupiah. “Dari pada ngasih ke pengemis,” ucap Ade, seorang mahasiswa ketika kutanyakan alasannya.

“Saya udah tua, Nak! Mau ke sawah sudah tidak sanggup lagi. Dari pada hanya diam di rumah, mending saya mencari rezeki di sini. Yang jelas saya tidak mau mengemis. Hana guna nyan, Neuk! Peumale droe mentong.” Setidaknya lelaki tua yang berjualan di trotoar itu telah berusaha untuk mencari rezeki. Bukankah tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah?

“Pergilah ke jalan yang lurus, Nak! Beu meutuah beh,” pesannya kepadaku ketika aku berpamitan.

Sabtu, 24 Januari 2009

Perahu Kertas Liza

Januari 24, 2009 10 Comments
Sore ini, setelah membaca novel Perahu Kertas-nya Dee aku mencoba menflashback memori kecilku tentang perahu kertas. Pengalaman yang unforgetable memang jika mengingat masa-masa indah ketika kita masih belum begitu tertipu oleh dunia. Ketika seorang bocah kecil dengan adik lelaki semata wayangnya sedang bermain hujan-hujanan di belakang rumah sambil melepaskan perahu kertasnya satu persatu di saluran air yang dijadikan petani untuk mengairi sawah mereka. Rumah ke bocah perempuan itu memang langsung berbatasan dengan sawah.

Aliran air ketika jujan cukup deras, membuat perahu kertas mereka terapung-apung dan hanyut terbawa arus. Sangat senang rasanya ketika perahu itu terbawa air, seolah ada sebuah beban yang pergi bersamanya.

Sore ini, aku tinggal sendiri di ruangan kantorku. Tak ada lagi Kak Riza dan juga Bang Isra, Kontributor Majalah AER. Ketika membaca novel itu, aku begitu hanyut dibawa kenangan masa kecilku.

Memang, inti cerita dari novelnya Dee bukanlah tentang perehu kertas. Tapi kebiasaan tokoh utamanya Kugy, yang suka bermain perahu kertas itu membuatku ingin segera menghabiskannya. Tak peduli berjam-jam sudah aku didepan monitor komputer, dan tak peduli apakah masih ada orang di bawah (kantorku di lantai dua). Namun yang sangat disayangkan, aku tidak mendapatkan full versionnya. Maklumlah, hanya ebook gratis.

Namun, aku seolah melihat sosok Kugy itu ada pada diriku. 1. Aku sangat sukai air dan zodiakku Aquarius. Kugy juga begitu.
2. Aku suka nulis tapi ngga bisa menggambar. Duh,..tobat deh kalo disuruh menggambar. sejak SD sampai sekarang aku sanagt tidak bisa menggambar. Seoalah tidak ada koneksi yang baik anata tangan dan imajinasiku. Dari dulu dulu setiap di suruh menggambar, aku hanya melukiskan 2 puncak gunung, sepetak sawah, dan sebuah rumah. Hanya itu lukisanku yang tidak abstrak. Selebihnya? kalo aku menggambar ayam, jadinya han ya sebuah batu pecah. (cukuplah, jadi malu sendiri). Nah, kugy dalam cerita itu persis sepertiku. Pintar nulis tapi ngga bisa gambar. Tapi Kugy punya Keenan yang mau mengilustrasikan tulisannya dalam bentuk lukisan. Sedangkan aku? (Hopeless)
3. Kugy punya semangta yang tinggi dan cuek,. kalo ini sih kurang lebih sama
4. Kugy kuliah di jurusann sastra, ini sangat berbeda, aku kuliah di jurusan pendidikan dikter.

But,..karakter tokoh kugy disini membuatku seperti bercermin

Rabu, 21 Januari 2009

GILA… AKU TERSESAT DI RUMAH SAKIT JIWA

Januari 21, 2009 20 Comments
Pagi itu udara begitu dingin jika dibandingkan dengan panasnya Banda Aceh saban harinya. Jelas saja, dinginnya pagi membuat orang-orang akan tetap bermalas-malasan keluar untuk beraktivitas seperti biasanya. Atau mungkin hanya aku saja yang merasa seperti itu? Entahlah, may be yes, may be no, kata Ringgo dalam sebuah iklan rokok. Aku belum bisa memabaca pikiran orang, jadi anggap saja hanya aku yang menderita kemalasan saat itu.

Namun, walau bagaimanapun aku harus tetap beranjak keluar dari kamar. Mandi dan menjalankan kegiatan pagiku dengan berjalan sekitar seratus meter menuju kampus tercinta. Menelusuri trotoar jalan dan menatap langit yang diselubungi awan hitam pertanda hujan akan datang.

Pukul 7.50 aku baru beranjak dari rumah kost menuju kampus. Jelas saja itu tidak membuatku telat, meskipun sepuluh menit lagi kuliah akan dimualai. Dalam tempo lima menit, aku sudah tiba di sana. Jalanku memang cepat. “Kalo jalan lurus terus, ngga liat kiri kanan,” kata temanku. Jadi, its okay. Aku kemungkinan besar (setidaknya 50-50 lah) untuk telat.

Tapi, tidak untuk pagi itu. Tahu kenapa? Karena aku harus menuju Rumah Sakit Jiwa yang jaraknya lebih kurang (lebih malah) 30 menit dengan labi-labi. Malamnya temanku telah mengirimkan sms kalau kami harus ngumpul jam 7.30 di depan RSJ. But, the fact?
1. Pukul 7.50 : Berangkat ke kampus
2. Pukul 7.55 : Tiba di kampus dan melihat tak ada satupun teman sekelasku di seputaran kampus (Ya iyalah, you’re very late Liza) yang kutemui hanya teman-temanku yang belum dapat giliran untuk visit ke RSJ
3. Pukul 8.00 : Labi-labi belum satu pun yang nongol, kalau pun ada semuanya menuju ke Tungkop bukan ke Kota Banda Aceh
4. Pukul 8.05 : Aku masih sedikit santai walaupun telah panic seperempat mati. (biasanya setengah mati kan?)
5. Pukul 8.10 : Sebuah labi-labi berhenti dan aku menumpanginya sampai ke depan Rumah Sakit Zainal Abidin.
6. Pukul 8.30 : Aku baru tiba di RSUZA, lumayan cepat dari perkiraan karena angkotnya melaju lumayan kencang

Telat..

So, aku telat satu jam!!! Saat itu aku sudah membayangkan ceramah apa yang akan kudapatkan dari dokter-dokter spesialis jiwa itu.
Dokter A : Kamu kenapa telat? Kamu tau sekarng jam berapa? Sudah satu jam kamu terlambat. Mau jadi dokter macam apa kamu? Berapa banyak pasien yang bakalan mati karena keterlambatan kamu?
(Sekarang aku kan tidak menangani pasien emergency, aku hanya mewawancara pasien gangguan jiwa. Ngga mungkin mereka bisa meninggal gara-gara itu. Logis dikit dong dokter)
Dokter B : Jangan kamu pikir karena ini bukan pasien emergency kamu bisa sesuka hati. Pasien psikosis (waham=gila) ini bisa saja kalau kita telat menangani akan melakukan bunuh diri. Dimana naluri kemanusiaan kamu? Sekarang kamu ngga bisa masuk! Akan saya laporkan ke PBL kalau kamu tidak lulus mata kuliah ini
(Wah, dokter B hebat!! Bisa baca pikiranku. Tapi ngga ada tuh pasien yang meninggal? Ngga ada kan? semua pasien di bangsal manapun tetap fit aja walau mengalami gangguan mental organic. Jangan bawa-bawa naluri kemanusiaan dok! Gini-gini saya masih punya perasaan untuk sesama. Untuk hewan aja saya sangat sayang, apalagi manusia. What? Saya ngga lulus mata kuliah ini? serius dok? Tega banget dokter. saya kan ngga sengaja telat. Dokter, jangan gitu dong. Kasihanilah saya..hiks hiks)

Hmmm,..syukur itu hanya pikiran bodohku.

Sekarang, di depan RSUZA aku kembali kebingungan. Jarak RSJ masih jauh ke sana. Tidak ada angkutan umum yang melintasi Jl. Kakap itu. Segera kupanggilkan becak untuk mengantarkanku ke tujuan. Pukul 8.40 aku tiba di halaman depan RSJ.

Di sana aku kembali memikirkan hukuman yang akan diberikan dokter spesialis jiwa itu kepadaku. Bagaimana kalau itu memang benar terjadi? Ya Allah, help me. Ini semua benar-benar keteledoranku. Aku sangat kurang menghargai waktu. Kemarin-kemarin Allah masih memberikan kesempatan bagiku untuk tidak mengulangi kebiasaan burukku yang kadang-kadang kumat (Misalnya waktu presentasi lomba essay itu). Nah, sekarang aku melakukan kesalahan itu lagi. TELAT LAGI!!!

Tersesat


Aku benar-benar asing dengan suasana RSJ. Walaupun sudah beberapa kali melintasinya, tapi baru kali ini aku singgah dalam waktu yang lumayan lama. Tak bisa kubedakan yang mana pasien dan yang mana buruh bangunan yang sedang merenovasi rumah sakit itu. Karena tidak semua pasien memakai pakaian rumah sakit, ada sebagian yang memakai pakaian sehari-hari mereka di rumah. Aku memasang muka lilin. (gimana bentuknya ya? Aku sendiri ngga tau, hehe). Kukurangi sifat ramahku. Hanya dokter dan perawat yang kutegur (walau dengan sedikit curiga kalau mereka beneran dokter/perawat atau pasien yang berobsesi menjadi dokter/perawat).

Tak lama berada di halaman rumah sakit, aku berpas-pasan dengan Wanda, teman seangkatanku namun tidak sekelas.
“Wanda, teman-teman sekelas Liza dimana?”
“Ngga tau juga, Za. Wanda kena di UGD. Nomer absent Liza berapa?”
“9”
“Mungkin kelompok 3. soalnya kita dibagi menjadi beberapa kelompok. Udah dulu ya Za. Wanda mau fotokopi status nih.”
“Thanks, Da,” ucapku dengan sedikit lega.

Nah, dimanakah kelompokku itu berada? di ruangan mana? Aku sama sekali tidak familiar dengan RSJ. Aku pun memutuskan untuk menuju UGD yang terletak tidak begitu jauh dari tempatku berada sekarang. Kutanyakan dimana kelompokku berada pada dokter-dokter muda yang sedang co-ass pada bagian itu. Tapi nihil. Mereka juga tidak tahu. Kemudian tiba-tiba seorang dokter menghampiriku, aku mulai berpikir macam-macam. Jangan-jangan dokter itu akan memarahiku. (Tenang Liza. Calm down!)
“Coba kamu ke bagian poli, lurus saja ke depan kemuadian naik tangga. Di situ cari aja ibu xxx (lupa namanya). Kamu tanyakan dimana kelompokmu.”

Syukurnya dokter itu baik. Tidak seperti pemikiranku. Langsung saja kutemui ibu yang dimaksud. (Yang lebih sialnya hari itu, aku kehabisan pulsa untuk menelpon teman sekelompokku).
Setelah menemui ibu itu, aku langsung mencari RUANGAN REHABILITASI, tempat teman-temanku berkumpul. Untuk mencapai ruangan itu aku harus menempuh beberapa bangsal yang dipenuhi oleh orang-orang yang terganggu jiwanya.
“Bu Dokter sini dong!”
“Hai Bu Dokter Cinta.”
Dan lain-lain.

Berbagai panggilan nyeleneh dilontarkan pasien-pasien itu. Ada yang cuek bebek, ada yang melamun, ada yang sedang tidur-tiduran, ada juga yang iseng. Aku tetap memasang “wajah lilin”, kaku, tak ada ekspresi. Seperti yang kubaca dari sebuah literature, begitulah muka penderita Parkinson. Mask face, tak ada ekspresi. Naudzubillah.

Aku terus berjalan menelusuri koridor RSJ. Berjalan dan menatap lurus ke depan tanpa melihat kiri kanan (karena di situ ada pasien). Ketika melihat gerombolan manusia yang memakai baju puti (perawat.red) aku langsung menanyakan di mana ruang itu berada.

Tiba-tiba aku berpas-pasan dengan dokter spesialis jiwa yang kebetulan menjadi pembimbing kelompokku.
“Dok, maaf saya telat.”
“Kenapa bisa telat?” tanyanya ramah.
“Labi-labinya dok…” aku memutuskan ucapanku. Saya memang telah telat dari rumah dan ditambah lagi labi-labinya agak sedikit lelet, dok.

Syukurnya dokter itu tidak menanyakan panjang lebar alasanku dan menyuruhku langsung menganamnesis salah satu pasien.
“Kenapa kamu? Kesasar ya?” Tanya dokter umum yang mengatur jadwal wawancara kami.
Aku hanya tersenyum dan langsung memasuki ruangan rehabilitasi itu.

Aku melihat teman-temanku sedang mewawancara pasien-pasien gangguan jiwa satu orang satu pasien. Duduk berhadapan, tanpa ada meja sebagai penghalang. Weiks… semua pasien laki-laki. Ada yang sudah lansia, dan ada juga yang masih muda. (hmm, lumayan cakep…:p )

Wawancara Pasien psikosis

“Sekarang kamu wawancara pasien ini,” suruh dokter jiwa yang berpas-pasan denganku tadi.
Dan duduklah seorang lelaki, berumur 23 tahun, dengan kulit sawo matang, dan tinggi proposional di depanku. Jarak kami hanya 30 cm. glekk!! Bismillah. Aku mulai mewawancarainya.

“Bapak saya tidak sanggup kasih makan lagi, makanya saya dibawa ke sini. Di sini saya mau belajar ilmu hitam dari roh para leluhur. Saya tidak gila, makanya saya ngga mau pake baju seperti mereka. (pasien itu memakai kemeja dengan rompi dan celana jeans belel).”

“Dokter mau xxxxx (sensor).” (ternyata pikirannya mesum)

“Kalau saya keras kepala, saya di setrum sama dokter itu (ia menunjuk dokter jiwa). Setiap hari saya dikasih obat merah. Kalau saya mulai keras kepala saya di suntik,” ia menunjukkan lokasi tempat disuntik.
Aku ketakutan sendiri menghadapi pasien ini. Ketika menoleh kea rah teman-temanku, mereka fine-fine saja. kemudian aku menanyakan ia sakit apa? Langsung saja dia dia mengetuk-ngetuk kepalanya, kemudian menggeleng-gelengkanya, dan menatapku dengan tajam kemudian tertawa.

Sesaat kemudian, pasien di depanku itu diam. “Kenapa diam?”
“Arwah leluhur sedang keluar dari badan saya. Yang tadi ngomong itu arwah leluhur dari Medan dan Jawa Barat.”

Aku melihat matanya begitu sayu. Mungkin efek dari obat-obatan penenang yang diberikan untuknya.
“Liza fathi a riani,” lelaki itu membaca namaku yang tertulis di Badge nama yang pasang pada kerudungku. Kemudian menatapku dengan pandangan yang dalam. Aku mencoba mengalihkannya pada makanan yang kubawa dari rumah.
“Saya kenyang.”
“Dokter mau nikah sama saya?”
Glekkkk!!! Dokter muda yang dari tadi mondar-mandir tersenyum sendiri melihat tingkah pasienku. Memang kalau kita perhatikan, tingkah pasien jiwa itu tak beda seperti pelawak di televisi. Namun, tanpa kita sadari bisa saja mereka melakukan sesuatu yang dapat membahayakan jiwanya sendiri atau orang di sekitar.
“Bohong!!!” suara pasienku meninggi ketika kujawab kalau aku sudah menikah. Aku merinding sendiri. Jarak pasien itu dengan ku semakin dekat. Aku menggeser kursiku kebelakang lagi. Sehingga jarak kami semakin jauh.
“Maaf, saya belum nikah. Tapi mana mungkin orang mau sama kamu kalau kamu tetap disini? Kamu harus sembuh dulu. Minum obat yang teratur. Baru pulang. Dan nikah.”
“Saya mau pulang kalau Bapak jemput. DAN NIKAH. HAHAHHA”

Ketegangan pun mereda. Kemudian ia tersenyum padaku. “Makasih ya bu dokter Liza fathiariani, toss dulu lah!”

Akhirnya selesai juga aku mewawancara pasien itu. setelah kupaparkan permasalahannya ke dokter yang membimbingku, ia mengatakan bahwa kalau dilihat dari masalah yang kusampaikan, pasien itu masih mengalami gangguan. Seperti ilusi dan halusinasinya untuk menjadi dukun ilmu hitam. Sedangkan teman-temanku tidak memaparkan keluhan yang berarti karena memang pasien yang dirawat di ruang rehabilitasi itu sudah sembuh 60-80%.




SYARIAT ISLAM : SOLUSI ATAU POLEMIK ?

Januari 21, 2009 14 Comments
“Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).

Tanpa terasa syariat Islam di Aceh telah berusia tujuh tahun semenjak dideklarasikan. Namun, sampai hari ini pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang perlu dicarikan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persolan-persoalan lain yang timbul yang ikut menghadang pemberlakuan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam ini.

Sejarah Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang disalin dalam dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.
Dengan peraturan inilah Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam kala itu, dibantu dengan fatwa-fatwa dari ulama kenamaan Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang saat itu menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahapan berikutnya, ajaran Islam telah menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, dan lainnya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,” Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “ Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.

Pada masa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah pun terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya. Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959), keputusan tersebut terkenal dengan nama keputusan Missi Hardi. Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang; agama, pendidikan dan peradatan, sehingga Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa.

Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar layak dipercaya pernah diberikan, ini karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan syariat Islam di seluruh wilayah Aceh.

Pada masa pemerintahan Orde Baru tidak kalah menyedihkan lagi. Betapa tidak, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang- Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan syariat yang menjadi salah satu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.

Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa dengan keistimewaan agama di dalamnya, pemerintah daerah tetap berupaya untuk menjalankan keistimewaan tersebut, ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan dearah yang berkenaan dengan penerapan syariat Islam.

Pada masa Reformasi, Presiden BJ Habibie menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan. Mengenai keistimewaan bidang agama didefinisikan dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.

Pada masa pemerintahan Megawati juga lahir Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Dan undang-undang ini juga membenarkan pembentukan Mahkamah Syari’ah baik pada tingkat rendah ataupun tingkat tinggi, wewenangnya meliputi seluruh bidang syari’at yang berkaitan dengan peradilan dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 merupakan momentum penerapan syariat Islam secara kaffah di bumi yang bersyariat, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan syariat Islam secara kaffah.

Mengaktualisasi penerapan syariat Islam secara kaffah, lahirlah beberapa qanun yang menjadi pegangan secara yuridis formal dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Namun harus diakui bahwa qanun-qanun tersebut masih banyak terdapat kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan syariat Islam seperti yang kita rasakan sekarang ini. Bahkan Al Yasa’ Abu Bakar mengatakan bahwa qanun-qanun yang ada sekarang harus direvisi karena isi qanun tersebut masih banyak kekurangan, serta perlu menyusun qanun yang lebih baik.

Penerapan Syariat Islam

Pada permulaan diterapkannya syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, banyak sinyal positif yang kita dapatkan. Ini terlihat melalui maraknya kegiatan religius dan adanya islamisasi pada pamflet perkantoran ataupun pertokoan yang ditambahkan dengan tulisan Arab-Jawi yang menjadi trend tersendiri pada masa itu. Walaupun itu bukanlah salah satu bentuk penerapan syariat Islam yang diharapkan, tetapi itu bisa menjadi salah satu proses untuk menggugah masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, penerapan syariat Islam telah menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Ketika syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera terbayang kepada hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan berbagai hukuman lainnya. Sekiranya kita mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman di atas bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari syariat Islam itu sendiri. Karena itu adalah bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.

Selain itu terdapat terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh oknum polisi Syariah).

Seperti yang dituliskan Teuku Reiza Yuanda dalam reviewnya tentang “Penerapan Syariat Islam di Aceh”, salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh, penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh masyarakat melalui sweping di jalan-jalan negara yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, dan di kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan. Kenyataannya, dalam pelaksanaan syariat Islam justru terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan, apakah korupsi dan manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibadah shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan oleh Islam? Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar syariat Islam, padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim Bak kata pepatah lama Aceh, “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah shalat Ied).

Seharusnya menjadi prioritas utama dalam penerapan Syariat Islam adalah penanaman akidah. Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi dengan batang-batang yang kuat dan kokoh akan langsung tumbang diterpa angin jika akarnya tidak kokoh. Begitu juga dengan akidah, seseorang yang berkeyakinan benar akan melewati jalan yang benar dan kemudian menggapai hasil yang benar. Aqidah adalah landasan utama dari dakwah Islam. Ketika awal mula menyiarkan Islam yang diajarkan nabi kepada penduduk Mekah adalah sisi akidah. Ini menunjukkan betapa urgennya aqidah dalam pengaplikasian syariat Islam.

MS dan WH untuk Apa?

Alamsyah, seorang terhukum cambuk yang dieksekusi pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman Mesjid Jami’ Kabupaten Bireun, mengusung poster yang ditulis dengan sanubari, ditulis dengan jeritan hati, mengapa dia dicambuk? Sedangkan yang lain hanya menonton di warung kopi. “Jangan kami rakyat kecil saja yang harus menerima hukuman cambuk di depan umum, orang orang kaya atau para pejabat yang melakukan pelanggaran hukum pun harus dicambuk dan ditonton masyarakat umum,” demikian protes Alamsyah setelah menerima hukuman cambuk sebanyak enam kali karena divonis melanggar qanun maisir.


Jika ditinjau lebih lanjut, polemik syariat Islam tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi asas atau yang lebih dikenal dengan qanun pelaksanaan syariat Islam sampai sekarang masih menyisakan masalah besar. Banyak qanun yang masih bersengketa dengan KUHAP sebagai rujukan tunggal pelaksanaan hukum. Di samping itu, banyak qanun yang dibuat tidak melalui kajian akademik bahkan terkesan tergesa-gesa hanya untuk mencari payung hukum penerapan syariat Islam. Seperti yang diakui Al-Yasa’ Abu Bakar bahwa qanun-qanun syariat Islam masih banyak yang harus direvisi. Hal ini jelas saja semakin menimbulkan daftar masalah yang membuat masyarakat semakin bingung dengan penerapan syariat Islam.

Zarkasyi menuliskan dalam bukunya “ Menuju Syariat Islam Kaffah” (2008), hal lain yang terjadi dalam penerapan syariat Islam di Aceh adalah harmonisasi peran ulama dan umara. Ulama terkesan kurang dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkenaan dengan implementasi syariat Islam, terutama dalam pembuatan qanun agar qanun yang dibuat sesuai dengan aturan syara’. Padahal dalam sejarah Aceh, ulama memiliki peran sebagai penyebar ilmu dan dakwah serta pendamping kekuasaan sultan. Selama ini ulama hanya sebagai join partner umara yang dibutuhkan jika memberikan manfaat. Keharmonisan hubungan ulama dan umara akan memperkuat penerapan syariat Islam. Ulama memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat, secara tidak langsung setiap perkataan ulama akan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut.

Tidak hanya ulama, lembaga yang mengurus dan mengontrol penegakan syariat
juga tidak luput dari kelemahan dan sorotan, lembaga itu lahir seiring lahirnya “izin” penerapan syariat Islam. Kehadiran lembaga tersebut masih menganut teori trial and error. Lembaga itu di antaranya adalah Wilayatul Hisbah (WH) dan juga Mahkamah Syari’ah.

Mahkamah Syari’ah (MS) telah lahir jauh sebelum penerapan syariat islam berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam ( sejak tahun 1947). Proses pengadilan hukum di MS mengalami banyak polemik yang terkesan berbelit-belit. Jika ada sebuah kasus, maka setelah mendapat laporan kasus disidik oleh polisi, kemudian dituntut oleh jaksa dan pada akhirnya baru disidangkan dan diputuskan MS.

Sebenarnya ada dua hal yang menjadi ketimpangan dalam proses ini. Pertama, secara hirarki MS berada pada urutan terakhir, artinya Mahkamah Syari’ah tidak bisa berbuat banyak jika belum selesai urusan di tingkat sebelumnya, meskipun permasalahan tersebut murni pelanggaran syariat.

Kedua, polisi dan jaksa merupakan perangkat hukum umum, bukan bagian dari perangkat hukum syariat Islam. Tentu kedua unsur ini berbeda dengan Mahkamah Syari’ah yang menggunakan hukum syara’ sebagai aturan dalam menjalankan tugasnya. Jadi, tidak heran jika ada kasus pelanggaran syariat yang proses hukumnya berlarut larut bahkan terkesan dipetieskan.

Lain halnya dengan Wilayatul Hisbah (WH). Tugas WH menimbulkan berbagai persepsi dalam masyarakat, sehingga WH dinilai tidak kompeten dan impoten dalam menjalankan fungsi dan perannya. Menurut Al Yasa’ Abu Bakar, WH sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah untuk melakukan sosialisasi syariat Islam, WH bukan polisi dan tugasnya bukan untuk merazia. Di mata masyarakat, tugas WH di lapangan lebih dari itu, WH identik dengan polisi syariat yang bertugas merazia bukan melakukan sosialisasi. Penyimpangan tugas WH ini menimbulkan polemik besar dan aksi aksi protes terhadap WH pun dilancarkan kendati tidak secara langsung.

Namun perlu direnungkan, dewasa ini tindakan tegas WH dalam amar makruf dan nahi mungkar sangat diperlukan. Ini karena kesadaran masyarakat untuk melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar telah berkurang. Kelemahan lain adalah belum ada payung hukum yang kuat bagi WH dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosisalisasi syariat Islam semata.

Penutup

Penerapan syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin. Ditakutkan konsekuensi di kemudian hari, masyarakat akan takut terhadap pelaksanaan syariat Islam. Namun bukanlah takut akan hukuman Allah, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Seharusnya pelaksana atau pemegang kebijakan dapat memberikan penyadaran moral kepada masyarakat melalui penerapan syariat Islam untuk mencapai ridha Allah SWT secara jangka panjang. Bukan hasil pemikiran jangka pendek karena asumsi Aceh sebagai Negeri Serambi Mekah dan kepentingan politik semata. Amin.

“Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Kamis, 15 Januari 2009

Telat Lagi...

Januari 15, 2009 2 Comments
 
Finally, aku harus bolos pleno (presentasi tutorial kelas B4 dan B5) karena telat. Yupz, yang menjadi komentator (haiya, udah seperti acara adu bakat saja pake komentator) adalah dr. Krisna W. Sucipto, Sp.PD KEnd. Semestinya aku sudah bisa insaf dan sadar kalau dokter itu in time, bukan lagi on time. Ngga boleh telat semenit pun (kalo sedetik bisa dunk!!!) apalagi ngaret. Ketika beliau memberikan aba-aba, " TUTUP PINTU SEMUANYA!!!" Jangan harap kamu bisa lolos ke dalam kelas, " Kamu yang keluar, atau saya?" kalimat itulah yang akan keluar dari sang dokter.
Ini kali pertama aku bolos pelajaran beliau. Syukurnya, kemarin hanya presentasi kembali hasil diskusi kami dan membandingkan dengan kelas tutorial lainnya. Bayangkan saja kalau aku sempat ngga masuk kuliah beliau? Naudzubillah. jangan sampe.. Tobat za...\!!!!

Dan yang sangat konyol adalah ketika sorenya (pleno jam 14.00-16.00) yaitu ketika aku harus ke Pema Unsyiah untuk melihat siapa-siapa saja yang masuk 5 besar lomba essay yang diadakan Unsyiah Fair. Dan kelima peserta tersebut harus mempresentasikan essaynya sore itu juga. Dengan santainya aku pergi bersama Putri, teman satu kostku. Acaranya jam 16.30 WIB, dan aku datang jam 17.00 WIB. Alasannya? 1. Hujan. 2. Belum tentu aku masuk lima besar, 3. Labi-labinya jalan sama seperti seafood (siput maksudnya) :)
 
Sesampainya di Pema, aku masih berleha-leha dan say hi untuk orang-orang yang kukenali. Baru setelah itu aku mencari tempat acara itu. Nah, kamu tahu apa yang terjadi??? ketika aku masuk, sang MC sedang berkata " Karena Liza Fathiariani tidak hadir, maka kita panggilkan finalis selanjutnya..."

Aku yang merasa namaku disebut bingung sendiri, " Aku masuk final?" dan spontan dari belakang penonton dan peserta lainnya aku berteriak, " Liza hadir bang! Ini Liza!"

Bayangkan saja apa yang terjadi? Yupz, aku menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju padaku. Bak seorang pahlawan yang tiba-tiba datang dan menghunus pedang ke leher musuh. I'm coming... kataku pada mereka yang mengharapkan kedatanganku. (Tapi itu hanya halusinasiku)

"Wakakakakakakaka...Hahahhahahahha" semua mata memang tertuju kepadaku, tapi mereka menertawai aksiku. Tapi, aku tidak jadi dieliminasi. Alhamdulillah. Walhasil, aku dengan groginya maju ke depan. Dan dengan harus dan "terpaksa" harus mempresentasikan essayku. Yeah, syukurnya aku telah mempersiapkan sekadarnya untuk presentasi. Walaupun slidenya agak buram dan tidak begitu kelihatan.


AKU NGEFANS SAMA KAMU

Januari 15, 2009 13 Comments
Ayoo! Apakah kamu termasuk dalam daftar orang-orang yang kukagumi? Silakan di check di bawah ini ya..
1. Rasullullah Saw, tentunya yang karena jasa beliau yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata membuatku tak henti-hentinya memuji beliau.
2. Mamaku. Aku sangat mengagumi semangat yang selalu membara mama. Membuatku tak pernah putus asa, dan selalu ingin menjadi yang terbaik untuknya dan tak ingin mengecewakannya
3. Bapakku. Semangat yang ditularkannya untukku sampai sekarang masih membekas di diri ini. Membuatku tak lagi cengeng dalam menghadapi masalah dan menjadikan hidupku lebih hidup
4. Pak Anwar Affan, guru bahasa Indonesiaku ketika SMA. Semangatnya yang sangat tinggi untuk mengajari kami walaupun penyakit yang menggerogoti jiwanya semakin parah membuatnya pantas untuk kukagumi. Bahkan, aku urung untuk bolos sekolah kalau beliau yang ngajar.
5. dr. Kurnia F.Jamil. cerita-ceritanya tentang dunia kedokteran dan perjuangan hidupnya sampai menjadi seoarang dokter membuatku semakin yakin dengan keputusanku untuk menjadi seorang dokter.
6. Patch Adam, bukunya inspiratif banget untuk calon dokter sepertiku.

Nah, ini adalah segelintir orang-orang yang kukagumi. Pada intinya, aku akan dengan mudah mengagumi orang yang memiliki semangat tinggi dalam menjalani hidup ini. Pantang menyerah, tetap berusaha bangkit walaupun telah sering terjatuh. Mungkinkah kamu masuk dalam deretan orang yang aku kagumi?

Sabtu, 10 Januari 2009

Dokter Atau Badut???

Januari 10, 2009 7 Comments
Siang itu saya merasa kesal sendiri dengan pernyataan dosenku, “ Kita harus memanage waktu seefektif mungkin. Ketika cluenya sudah dapat, segera alihkan pembicaraan dengan pasien. Ingat, selain dia masih banyak pasien lain yang sedang antri di belakang.”jelasnya ketika memberikan instroduksi anamnesis psikiatrik kepada kami. Memang tidak ada yang salah dengan kata-katanya. Kalau kita hanya terfokus pada satu pasien, maka kita telah mengabaikan pasien yang lain. Jadi kesimpulannya adalah bagaimana caranya kita harus bisa meresepkan obat kepada semua pasien. That’s all. Lantas dimanakah hubungan terapeutik antara dokter dan pasien disini? Kalau sang dokter hanyalah penulis resep, bukan rekan, mitra, ataupun orang yang dianggap mampu memberikan solusi yang mantap?
Dalam praktik kedokteran, menyembuhkan merupakan interaksi anatara manusia yang harus penuh dengan kasih sayang, dan bukan transaksi bisnis. Ketika seorang dokter atau perawat mengulurkan tangan mereka kepada pasien yang mengeluhkan rasa sakit atau kerapuhan mereka, maka ini bisa mnejadi dasar sebuah ikatan sejati, bahkan persahabatan. Tapi dalam kenyataannya, sedikit sekali dokter atau pasien yang merasakan kedekatan ini. Saya merasa yakin bahwa dengan hilangnya hubungan ini telah memicu banyaknya kritik terhadap dunia kedokteran, klaim malpraktek, dan menimbulkan ketidakleluasaan paramedic untuk memberikan pelayanan kesehatan.
 

Sekarang dapat kita lihat betapa ilmu kedokteran telah berpindah dari tataran komunitas ke tataran perusahaan sehingga menjadi industri nomer wahid hampir di setiap negara. Padahal kita tahu bahwa perawatan kesehatan itu tidak bisa dijadikan sebuah industri. Bagaimana suami-istri, keluarga, kelompok, komunitas, negara, atau dunia bisa kuat kalau kesehatan atau kesejahteraan mereka bukan sebuah prioritas? Yang terjadi saat ini lebih menitikberatkan pada bisnis ketimbang pelayanan sehingga menyebabkan banyak kesulitan, biaya pengobatan yang tinggi, ataupun tuntutan malpraktik.

Kita, baik itu dokter atau pasien memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dapat melalui saat-saat terburuk dalam hidup jika kita bersikap sebagai teman dekat dan saling menghormati. Hidup itu lebih besar dari penyakit, diagnosis, pengobatan atau mekanisme penyakit.

Berubah Menjadi Badut


Inilah yang dilakukan Patch Adams, seorang revolusioner sosial, DOKTER, badut, dan pria dengan segudang prestasi. Patch adalah pendiri Gesundheit! Institute, klinik pengobatan gratis di West Virginia ang telah merawat lebih dari 15.000 pasien. Patch melakukan pendekatan hubungan personal kepada pasien untuk membantu mereka sembuh, bukan semata pendekatan klinis yang diterapkan rumah sakit pada umumnya. Dia sering kali memakai hidung badut berwarna merah untuk menghibur anak-anak kecil yang sakit ataupun mengajak mereka yang gelisah berjalan-jalan menuruni perbukitan.

Sungguh perbuatan yang sangat mulia. Pertanyaannya, adakah klinik pengobatan gratis di tempat kita? yang tenaga medisnya dengan tulus melayani pasiennya 24 jam seperti di Gesundheit Institute? Seorang dokter yang berubah menjadi badut dan melakukan berbagai atraksi yang dilakukan badut umumnya agar pasiennya tersenyum dan tidak ketakutan?

Jujur, setelah membaca kisah inspiratifnya Patch Adams, seorang dokter eksentrik yang menyembuhkan dengan humor dan kebahagiaan. Aku seperti ingin menyelami dunia yang dilakukan Patch. Memang, aku tidak mungkin menjadi badut, tapi aku bisa menjadi apapun itu yang pada akhirnya dapat membuat pasienku merasakan kalau aku adalah sahabatnya.

Kamis, 01 Januari 2009

LOWONGAN KERJA

Januari 01, 2009 5 Comments

Aceh Economic Review, sebuah majalah ekonomi yang bernaung di bawah Biro Ekonomi Setda Nanggroe Aceh Darussalam, membutuhkan  :
  1. Freelance Reporter,.
Bertugas meliput berita-berita seputar ekonomi daerah yang mencakup :
i.                           Wilayah Timur, meliputi : Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Langsa.
ii.                         Wilayah Barat, meliputi : Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Subussalam
iii.                        Wilyah Tengah, meliputi : Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara.
iv.                       Sabang
Syarat - syarat:
a.       Memiliki pengalaman di bidang jurnalistik
b.      Bertugas meliput berita dari wilayah yang telah ditetapkan
c.       Isi berita mencakup kondisi perekonomian NAD
d.      Mengirimkan surat lamaran melalui email ke redaksi@aernews.com
  1. Pakar Ekonomi (peneliti, pengamat, akademisi) untuk mengisi Kolom Pakar pada majalah Aceh Economic Review.
  1. Redaksi juga menerima tulisan opini dari pembaca Aceh Economic Review, yang membahas tentang masalah ekonomi, atau masalah umum lainnya yang ditinjau dari perspektif ekonomi.
Syarat penulisan :
a.       Penulis dilengkapi dengan identitas yang jelas
b.      Penulis berasal dapat dari pakar ekonomi atau pelaku ekonomi
c.       Tidak ada batasan tulisan, sepanjang memuat poin yang diangkat
d.      Boleh yang telah dimuat di media lain dengan catatan : tulisan harus dikirim oleh penulisnya sendiri dan mendapat izin/sepengetahuan penerbitan sebelumnya
Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi:
 Redaksi Majalah Aceh Economic Review
Alamat Redaksi :
  1. Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi NAD
Jl. T. Nyak Arief No. 219 Banda Aceh
  1. Kantor AITD
Jl. Tgk. Chik Di Pineung Raya No. 64
Gp. Pineung, Banda Aceh 23116
  1. Contact :
Telp : 0651-7552586

Follow Us @soratemplates