Tampilkan postingan dengan label opini-opini seorang anak rimba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini-opini seorang anak rimba. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Januari 2009

Aku Bangga Jadi Orang Indonesia

Januari 28, 2009 34 Comments

Ya, aku sangat bangga dilahirkan di negeri yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Kenapa mesti malu coba? Bukankah hubbul watani minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) ?

Pak H. Rosihan Anwar, seorang wartawan nasional pernah mengungkapkan dalam puisinya betapa ia tidak malu menjadi orang Indonesia.

Aku tidak malu jadi orang Indonesia ... Biar orang bilang apa saja, biar, biar ... Indonesia negara paling korup di dunia Indonesia negara gagal Indonesia negara lemah Indonesia melanggar HAM Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan Presiden-presiden Indonesia dilecehkan humoris
Biar saja orang-orang menghujat Negara Indonesia ini dengan berbagai hujatan, dijuluki dengan bebagai julukan.Terserah! “Kalau kamu benci dengan negeri ini, kenapa tidak angkat kaki saja? Kenapa tetap saja mengais rezeki dan mempertahankan hidup di negeri yang kamu benci ini? Kenapa tetap menggunakan Bahasa Indonesia? Tetap memakai fasilitas Negara?” Kata-kata itu sangat layak diucapkan untuk mereka yang ngakunya “benci” dengan Indonesia.

Aku sangat bangga bertanah airkan Indonesia. Karena di dunia ini hanyalah Indonesia yang bernama Indonesia, berbahasa Indonesia, memiliki ribuan pulau, berbagai macam suku, sumber daya alam yang melimpah ruah, dan merupakan negara tropis.

Aku bangga menjadi rakyat Indonesia. Rakyat dari sebuah negara yang kaya raya, yang memiliki total penduduk seratus juta lebih, yang hampir setiap tahunnya dilanda bencana. Bayangkan saja kalau Indonesia tidak terdapat banyak bencana, maka pusat penelitian bencana akan berpindah ke negara-negara lain. Eitss,. Bukan bermaksud senang dengan bencana di negara ini. Dari pada bersusah, mending kita mengambil hikmahnya sambil terus membenah diri. Betul ngga?

Namun, di balik kebanggaanku aku merasa miris dengan sikap teman-temanku yang mengaku sebagai “RAKYAT” Indonesia juga. Tak jarang makian terus saja terlontar untuk negeri ini. Sangat beragam. Pantaskah Indonesia mendapatkan semua itu? Seandainya negaraku berwujud seorang ibu, maka matanya pasti kering karena tak ada lagi air mata yang bisa keluar. Telah kering air itu.

Coba kita telaah lebih lanjut. Indonesiakah yang salah? Saya rasa kalau Anda menjawab “Ya”, maka Anda salah besar! Indonesia hanya sebuah Negara, bukan manusia. Jadi yang salah adalah kita semua. Ya, kita semua yang masih berwujud manusia dan hidup di tanah air Indonesia.
Kenapa?

Kita bisa saja berdalih kalau kita hanyalah rakyat kecil yang menjadi korban para penguasa. Siapakah yang memilih penguasa? Kita juga kan? Kita-rakyat Indonesia.

“Wah, ngga fair itu. Saya ngga tahu menahu dengan semua itu. Saya hanya korban.” Lantas kenapa ngga mau mencari tahu? Kenapa hanya ikut-ikutan? Dan mau-maunya dikorbankan? Berapa abad kita sudah dijajah Belanda ditambah beberapa tahun oleh Jepang? Nah sekarang kan sudah merdeka, kenapa tetap mau dijajah.

Kita hanya bisa berdalih, menyalahkan orang lain, mengkritik, tapi tidak mau memberikan solusi.

Korupsi merajalela, kenapa? Karena kita telah menganggapnya hal yang biasa. Sogok-menyogok juga biasa. Semua dianggap biasa. “Sudahlah, biar urusannya cepat selesai,” dalih kita.
Nah, kalau hal itu tidak diberantas dan tetap menjadikannya sebagai hal yang biasa. Maka siapa yang salah?

Kritik boleh-boleh saja. Tapi negeri ini bukanlah miliknya para penguasa saja. Bukan milik para pejabat. Bukan hanya milik segelintir orang. Tapi, kita yang mengaku jadi rakyat Indonesialah pemiliknya. Jadi, jangan hanya mengkritik! Tapi berikanlah solusinya. Jangan hanya mengharap, tapi terjunlah bersama-sama membangun negeri ini.

Jadi jangan malu dengan keadaan negeri kita, tapi merasa malulah pada diri sendiri dan malu kepada Tuhan, serta malulah berkumpul bersama-sama dengan orang yang tidak mengerti arti hidup, orang yang tidak bisa menerima hidup ini dengan iklas, malulah berkumpul dengan orang-orang Indonesia yang tidak dapat jujur pada dirinya sendiri, suka bohong, menipu, maling (apapun bentuknya, lebih-lebih maling berdasi), yang harus Anda malu adalah jika Anda berkumpul bersama dengan para pejabat negara, dan para selebriti yang senang berfoya-foya, yang memiliki gaya hidup gengsi yang tinggi.

Mari kita lihat Negara Ethiopia dan negara miskin kerontang lainya. Atlet mereka tidak malu untuk terus berlari membawa bendera negaranya merebut emas marathon turun temurun. Mengapa kita musti ngomong malu tapi tidak bergerak dan hanya menjadi penonton atau komentator yg memalukan sambil memajang foto diri. Orang malu kan mustinya gak mau keliatan wajahnya.

Akan tetapi, saya yakin, ditengah bobroknya kondisi bangsa, masih banyak orang-orang yang sangat mencintai negeri ini. Orang-orang yang senantiasa saling menjaga dalam kebaikan masih ada, dan akan terus bertambah. Orang-orang yang yang mau bangkit dan bergerak, serta bisa menjadi solusi.

Mereka tidaklah seperti air yang menggenang, yang hanya diam saja dan menjadi sarang penyakit. Mereka adalah air yang mengalir, air yang bermanfaat bagi sekitarnya. Dan tentu saja mereka bukanlah orang-orang yang berkerumun tidak beraturan.

Selasa, 27 Januari 2009

Mengais Rezeki di Gerbong Kapitalis

Januari 27, 2009 18 Comments
 

Lelaki tua itu terus membereskan sayur dagangannya. Sesekali ia menyeka keringat di dahi yang mengucur dengan tangannya. Kemudian ia duduk dan menunggu pembeli datang. Pagi itu, hari Minggu (18/1/09), trotoar tempat ia menjajakan dagangannya tampak sepi. Begitu juga dengan badan jalan, hanya ada satu-dua kendaraan yang berlalu lalang.

“Hari Minggu begini memang sepi. Siang pun masih tetap sepi,” ujarnya dalam Bahasa Aceh yang sangat kental sambil mengambil beberapa daun melinjo tua dan kemudian membuangnya ke dalam kantong plastik yang memang telah disediakannya.

Aku hanya mengangguk saja. Dalam diam aku melihat sayur dagangannya. Daun melinjo, melinjo, asam sunti, sirih, dan daun jeruk berjejeran di atas plastik biru berukuran setengah meter. Semuanya adalah sayuran khas Aceh.


“Abdul Wahab,” jawab lelaki itu ketika kutanyakan namanya. Sambil tersenyum ramah, ia menjelaskan asal usulnya. Delapan puluh tahun silam ia lahir di Lambaro Angan, sebuah desa di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. “Watee jameun Belanda, lon ikot prang chit,” paparnya dengan semangat.

Kerutan di wajah, gigi-geligi yang telah tanggal, uban yang telah tumbuh menutupi batok kepala, dan tubuh yang semakin ringkih membuktikan bahwa usianya telah senja. “Saya telah jualan sayur sejak Jepang telah angkat kaki dari Aceh. Waktu itu saya jualannya di Pasar Peunayong bersama istri sampai musibah tsunami tahun 2004 lalu,” Pak Abdul memulai kisahnya sebagai pedagang sayur, "setelah tsunami, saya pindah ke sini. Sedangkan istri tetap di Peunayong.”

Bapak dari lima orang anak itu kemudian menunjuk ke bangunan di belakangnya. Bangunan itu begitu megah dengan tulisan makanan khas Italia Pizza Hut di pamfletnya. “Dulu waktu saya mulai jualan di sini, toko pizza ini belum ada,” jelasnya, “sengaja saya pindah ke sini karena di Peunayong sudah banyak penjual sayur yang lain. Setahun yang lalu, setelah rumah kami selesai dibangun di Lambaro Angan, saya menyuruh istri saya untuk di rumah saja. Biar saya saja yang mencari rezeki. “Aneuk mit pih ka leuh meukawen mandum.”

Kehadiran Abdul Wahab yang berprofesi sebagai penjual sayur di trotoar jalan Simpang Lima memang sangat kontras dibandingkan dengan kondisi sekitar, sehingga menjadi pusat perhatian pengguna jalan. Betapa tidak, di tengah maraknya para peminta-minta yang memadati kawasan Simpang Lima dan semakin merajalelanya kapitalisme yang tampak jelas dari bangunan-bangunan yang lebih “wah” dibandingkan bangun-bangunan lain dengan menawarkan berbagai macam jenis makanan cepat saji, namun lelaki itu tetap saja mencoba bertahan.

***

Matahari semakin terik pagi itu. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB. Itu artinya sudah dua setengah jam lebih Abdul Wahab menjajakan dagangannya. Namun, belum satu pun pembeli yang nongol. Setelah selesai shalat subuh lelaki paruh baya dengan peci hitam yang melekat di kepala itu telah beranjak dari rumahnya menuju Simpang Lima. Ia harus menghabiskan waktu selama satu jam lebih untuk untuk sampai ke tujuan dengan menggunakan labi-labi.

“Biasanya berapa banyak sayur yang terjual sehari?” aku kembali bertanya.

Lagi-lagi ia tersenyum sambil memamerkan gusinya yang tak lagi bergeligi. “Kadang-kadang hana ureung bloe, neuk!” jawabnya tetap tersenyum.

“Tapi, tiap hari pasti ada orang yang ngasih. Bahkan pernah sehari sampai seratus ribu,” jelas lelaki dengan postur tubuh agak sedikit pendek itu seolah mengetahui keherananku. ”Waktu megang, ada saja orang yang memberikan sedekah. Ada yang ngasih kain sarung, beras, gula, bahkan uang.”

Melihat dagangan yang ia jual, pastinya orang-orang lebih memilih ke pasar untuk membeli sayur-mayur yang lebih lengkap dan banyak pilihannya. Namun, semangatnya yang membara membuat orang tak segan-segan untuk memberinya puluhan ribu rupiah. “Dari pada ngasih ke pengemis,” ucap Ade, seorang mahasiswa ketika kutanyakan alasannya.

“Saya udah tua, Nak! Mau ke sawah sudah tidak sanggup lagi. Dari pada hanya diam di rumah, mending saya mencari rezeki di sini. Yang jelas saya tidak mau mengemis. Hana guna nyan, Neuk! Peumale droe mentong.” Setidaknya lelaki tua yang berjualan di trotoar itu telah berusaha untuk mencari rezeki. Bukankah tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah?

“Pergilah ke jalan yang lurus, Nak! Beu meutuah beh,” pesannya kepadaku ketika aku berpamitan.

Rabu, 21 Januari 2009

SYARIAT ISLAM : SOLUSI ATAU POLEMIK ?

Januari 21, 2009 14 Comments
“Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).

Tanpa terasa syariat Islam di Aceh telah berusia tujuh tahun semenjak dideklarasikan. Namun, sampai hari ini pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang perlu dicarikan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persolan-persoalan lain yang timbul yang ikut menghadang pemberlakuan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam ini.

Sejarah Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang disalin dalam dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.
Dengan peraturan inilah Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam kala itu, dibantu dengan fatwa-fatwa dari ulama kenamaan Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang saat itu menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahapan berikutnya, ajaran Islam telah menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, dan lainnya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,” Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “ Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.

Pada masa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah pun terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya. Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959), keputusan tersebut terkenal dengan nama keputusan Missi Hardi. Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang; agama, pendidikan dan peradatan, sehingga Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa.

Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar layak dipercaya pernah diberikan, ini karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan syariat Islam di seluruh wilayah Aceh.

Pada masa pemerintahan Orde Baru tidak kalah menyedihkan lagi. Betapa tidak, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang- Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan syariat yang menjadi salah satu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.

Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa dengan keistimewaan agama di dalamnya, pemerintah daerah tetap berupaya untuk menjalankan keistimewaan tersebut, ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan dearah yang berkenaan dengan penerapan syariat Islam.

Pada masa Reformasi, Presiden BJ Habibie menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan. Mengenai keistimewaan bidang agama didefinisikan dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.

Pada masa pemerintahan Megawati juga lahir Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Dan undang-undang ini juga membenarkan pembentukan Mahkamah Syari’ah baik pada tingkat rendah ataupun tingkat tinggi, wewenangnya meliputi seluruh bidang syari’at yang berkaitan dengan peradilan dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 merupakan momentum penerapan syariat Islam secara kaffah di bumi yang bersyariat, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan syariat Islam secara kaffah.

Mengaktualisasi penerapan syariat Islam secara kaffah, lahirlah beberapa qanun yang menjadi pegangan secara yuridis formal dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Namun harus diakui bahwa qanun-qanun tersebut masih banyak terdapat kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan syariat Islam seperti yang kita rasakan sekarang ini. Bahkan Al Yasa’ Abu Bakar mengatakan bahwa qanun-qanun yang ada sekarang harus direvisi karena isi qanun tersebut masih banyak kekurangan, serta perlu menyusun qanun yang lebih baik.

Penerapan Syariat Islam

Pada permulaan diterapkannya syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, banyak sinyal positif yang kita dapatkan. Ini terlihat melalui maraknya kegiatan religius dan adanya islamisasi pada pamflet perkantoran ataupun pertokoan yang ditambahkan dengan tulisan Arab-Jawi yang menjadi trend tersendiri pada masa itu. Walaupun itu bukanlah salah satu bentuk penerapan syariat Islam yang diharapkan, tetapi itu bisa menjadi salah satu proses untuk menggugah masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, penerapan syariat Islam telah menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Ketika syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera terbayang kepada hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan berbagai hukuman lainnya. Sekiranya kita mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman di atas bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari syariat Islam itu sendiri. Karena itu adalah bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.

Selain itu terdapat terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh oknum polisi Syariah).

Seperti yang dituliskan Teuku Reiza Yuanda dalam reviewnya tentang “Penerapan Syariat Islam di Aceh”, salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh, penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh masyarakat melalui sweping di jalan-jalan negara yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, dan di kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan. Kenyataannya, dalam pelaksanaan syariat Islam justru terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan, apakah korupsi dan manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibadah shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan oleh Islam? Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar syariat Islam, padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim Bak kata pepatah lama Aceh, “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah shalat Ied).

Seharusnya menjadi prioritas utama dalam penerapan Syariat Islam adalah penanaman akidah. Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi dengan batang-batang yang kuat dan kokoh akan langsung tumbang diterpa angin jika akarnya tidak kokoh. Begitu juga dengan akidah, seseorang yang berkeyakinan benar akan melewati jalan yang benar dan kemudian menggapai hasil yang benar. Aqidah adalah landasan utama dari dakwah Islam. Ketika awal mula menyiarkan Islam yang diajarkan nabi kepada penduduk Mekah adalah sisi akidah. Ini menunjukkan betapa urgennya aqidah dalam pengaplikasian syariat Islam.

MS dan WH untuk Apa?

Alamsyah, seorang terhukum cambuk yang dieksekusi pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman Mesjid Jami’ Kabupaten Bireun, mengusung poster yang ditulis dengan sanubari, ditulis dengan jeritan hati, mengapa dia dicambuk? Sedangkan yang lain hanya menonton di warung kopi. “Jangan kami rakyat kecil saja yang harus menerima hukuman cambuk di depan umum, orang orang kaya atau para pejabat yang melakukan pelanggaran hukum pun harus dicambuk dan ditonton masyarakat umum,” demikian protes Alamsyah setelah menerima hukuman cambuk sebanyak enam kali karena divonis melanggar qanun maisir.


Jika ditinjau lebih lanjut, polemik syariat Islam tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi asas atau yang lebih dikenal dengan qanun pelaksanaan syariat Islam sampai sekarang masih menyisakan masalah besar. Banyak qanun yang masih bersengketa dengan KUHAP sebagai rujukan tunggal pelaksanaan hukum. Di samping itu, banyak qanun yang dibuat tidak melalui kajian akademik bahkan terkesan tergesa-gesa hanya untuk mencari payung hukum penerapan syariat Islam. Seperti yang diakui Al-Yasa’ Abu Bakar bahwa qanun-qanun syariat Islam masih banyak yang harus direvisi. Hal ini jelas saja semakin menimbulkan daftar masalah yang membuat masyarakat semakin bingung dengan penerapan syariat Islam.

Zarkasyi menuliskan dalam bukunya “ Menuju Syariat Islam Kaffah” (2008), hal lain yang terjadi dalam penerapan syariat Islam di Aceh adalah harmonisasi peran ulama dan umara. Ulama terkesan kurang dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkenaan dengan implementasi syariat Islam, terutama dalam pembuatan qanun agar qanun yang dibuat sesuai dengan aturan syara’. Padahal dalam sejarah Aceh, ulama memiliki peran sebagai penyebar ilmu dan dakwah serta pendamping kekuasaan sultan. Selama ini ulama hanya sebagai join partner umara yang dibutuhkan jika memberikan manfaat. Keharmonisan hubungan ulama dan umara akan memperkuat penerapan syariat Islam. Ulama memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat, secara tidak langsung setiap perkataan ulama akan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut.

Tidak hanya ulama, lembaga yang mengurus dan mengontrol penegakan syariat
juga tidak luput dari kelemahan dan sorotan, lembaga itu lahir seiring lahirnya “izin” penerapan syariat Islam. Kehadiran lembaga tersebut masih menganut teori trial and error. Lembaga itu di antaranya adalah Wilayatul Hisbah (WH) dan juga Mahkamah Syari’ah.

Mahkamah Syari’ah (MS) telah lahir jauh sebelum penerapan syariat islam berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam ( sejak tahun 1947). Proses pengadilan hukum di MS mengalami banyak polemik yang terkesan berbelit-belit. Jika ada sebuah kasus, maka setelah mendapat laporan kasus disidik oleh polisi, kemudian dituntut oleh jaksa dan pada akhirnya baru disidangkan dan diputuskan MS.

Sebenarnya ada dua hal yang menjadi ketimpangan dalam proses ini. Pertama, secara hirarki MS berada pada urutan terakhir, artinya Mahkamah Syari’ah tidak bisa berbuat banyak jika belum selesai urusan di tingkat sebelumnya, meskipun permasalahan tersebut murni pelanggaran syariat.

Kedua, polisi dan jaksa merupakan perangkat hukum umum, bukan bagian dari perangkat hukum syariat Islam. Tentu kedua unsur ini berbeda dengan Mahkamah Syari’ah yang menggunakan hukum syara’ sebagai aturan dalam menjalankan tugasnya. Jadi, tidak heran jika ada kasus pelanggaran syariat yang proses hukumnya berlarut larut bahkan terkesan dipetieskan.

Lain halnya dengan Wilayatul Hisbah (WH). Tugas WH menimbulkan berbagai persepsi dalam masyarakat, sehingga WH dinilai tidak kompeten dan impoten dalam menjalankan fungsi dan perannya. Menurut Al Yasa’ Abu Bakar, WH sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah untuk melakukan sosialisasi syariat Islam, WH bukan polisi dan tugasnya bukan untuk merazia. Di mata masyarakat, tugas WH di lapangan lebih dari itu, WH identik dengan polisi syariat yang bertugas merazia bukan melakukan sosialisasi. Penyimpangan tugas WH ini menimbulkan polemik besar dan aksi aksi protes terhadap WH pun dilancarkan kendati tidak secara langsung.

Namun perlu direnungkan, dewasa ini tindakan tegas WH dalam amar makruf dan nahi mungkar sangat diperlukan. Ini karena kesadaran masyarakat untuk melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar telah berkurang. Kelemahan lain adalah belum ada payung hukum yang kuat bagi WH dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosisalisasi syariat Islam semata.

Penutup

Penerapan syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin. Ditakutkan konsekuensi di kemudian hari, masyarakat akan takut terhadap pelaksanaan syariat Islam. Namun bukanlah takut akan hukuman Allah, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Seharusnya pelaksana atau pemegang kebijakan dapat memberikan penyadaran moral kepada masyarakat melalui penerapan syariat Islam untuk mencapai ridha Allah SWT secara jangka panjang. Bukan hasil pemikiran jangka pendek karena asumsi Aceh sebagai Negeri Serambi Mekah dan kepentingan politik semata. Amin.

“Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Kamis, 17 Juli 2008

MEMULIHKAN PENDIDIKAN DI TANAH KELAHIRAN

Juli 17, 2008 0 Comments

Seorang bocah laki-laki berdecak kagum melihat pemandangan Banda Aceh setelah sekian lama ia tidak menginjakkan kaki ke Kutaraja ini, sejak bencana alam gempa dan gelombang tsunami di akhir Desember 2004 silam. Hari itu ia dibawa orang tuanya mengelilingi ibu kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bocah itu terharu, ternyata bencana tsunami membawa berbagai dampak bagi tanah kelahirannya itu. Bangunan-bangunan sekolah di tengah kota yang dulunya tidak membuatnya tertarik untuk sekedar berpaling, kini berubah menjadi megah. Sekolah-sekolah di pinggiran kota yang dulunya tak berbeda dengan rumah yang rewot, kini berdiri tegap dan indah. Wajah-wajah bule yang dulu hanya ia lihat lewat layar kaca, kini malah berlalu lalang di depan matanya. Sangat banyak perubahan yang terjadi di bumi Serambi Mekah ini sehingga membuat sang bocah merengek-rengek kepada ayahnya karena ingin dibawa berkeliling lebih lama lagi.

Memang begitulah kondisi Banda Aceh saat ini. bencana tsunami telah mengetuk hati setiap manusia untuk tidak tinggal diam dalam membenahi kembali Aceh yang telah porak-poranda. Bersama-sama melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah diterjang gelombang. Bantuan itu datang tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Masyarakat dunia telah terketuk hatinya terhadap musibah yang menimpa bumi Iskandar Muda.

Tiga tahun yang lalu tsunami melanda Aceh. Dalam kurun waktu tiga tahun itu pula Aceh mencoba berbenah. Dengan bantuan dari berbagai pihak yang tergabung dalam Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR), ADB, dan lembaga-lembaga bantuan lainnya, Aceh bangkit dari keterpurukan. Berbagai sektor dipulihkan kembali, diantaranya adalah sektor pendidikan.

Seperti yang kita ketahui bahwa perubahan zaman terus berlangsung menuju dunia global. Oleh karena itu, peran pendidikan sangat penting agar bisa menjawab tantangan dunia yang serba kompleks dan simultan. Dari hari ke hari masalah pendidikan semakin kompleks. Pendidikan memang masalah bangsa yang sangat serius. Ia membutuhkan bukan saja semangat, tetapi juga keikhlasan untuk menegakkannya.

Betapa pentingnya pendidikan. Namun, bencana tsunami telah merusak tatanan pendidikan kita. Gelombang dahsyat itu telah menghancurkan bangunan sekolah dan menelan nyawa guru serta pelajar yang jumlahnya tidak sedikit.

Memang, mendirikan sekolah dan menegakkan pendidikan jelas merupakan dua hal yang berbeda. Yang pertama bisa dilakukan oleh mereka yang bermodal. Sementara yang kedua, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki moral. Akan tetapi, dengan adanya modal dan moral tersebut dunia pendidikan akan semakin maju. Pendidikan memang soal intergritas yang dikelola secara bersama dan memiliki makna ketika ia bisa menyentuh orang sebanyak mungkin.

Dengan adanya bantuan yang berasal dari pemerintah Indonesia sendiri atau dari masyarakat internasional telah membawa angin segar terhadap pendidikan Aceh. Hal ini ditandai dengan direkonstruksinya bangunan sekolah, didatangkannya tenaga pengajar dari luar Aceh, diselenggarakannya berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar dan anak didik, serta bantuan berbagai peralatan dan perlengkapan belajar mengajar.

Rekonstruksi dan rehabilitasi tidak hanya dilakukan di daerah yang diterjang tsunami saja, tetapi juga di seluruh wilayah Aceh. Sekolah-sekolah yang telah usang ditelan usia juga ikut dibenahi. Begitu pula dengan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar juga turut melibatkan seluruh guru di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sarana dan prasarana yang mendukung lancarnya proses belajar mengajar juga diperbaiki.

Selain itu, masih banyak bantuan yang diberikan oleh lembaga-lembaga nasional atau internasional melalui badan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) terhadap pendidikan di Aceh, seperti pengiriman mahasiswa untuk belajar di universitas ternama di negeri ini atau bahkan keluar negeri, dan pemberian beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa.

Penandatangan perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2007 silam juga ikut membantu sektor pendidikan di Aceh. Seperti yang kita rasakan bersama bahwa selama konflik pendidikan di Aceh cukup terbengkalai. Banyak sekolah yang dibakar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Proses belajar tidak dapat terlaksana karena ada kontak senjata anatara kedua belah pihak, teror-meneror terjadi dimana-mana. Namun, setelah penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) tersebut situasi Aceh menjadi aman dan kondusif kembali. Hal ini tidak terlepas dari rahmat Allah Yang Maha Esa dan juga bantuan berbagai pihak baik nasional maupun internasional.

Penulis merasakan sendiri bahwa kehadiran lembaga-lembaga baik pemerintah atau non-pemerintah memberikan banyak dampak positif terhadap pemulihan kembali Aceh khususnya di bidang pendidikan. Semangat dan etos kerja yang ditunjukkan oleh staf lembaga tersebut membuat penulis semakin optimis terhadap pendidikan Aceh ke depan.

Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Dalam pelaksanaan rekonstruksi di bidang pendidikan ini masih terdapat banyak kekurangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak terjadi penyelewengan dana rekonstruksi oleh berbagai pihak. Seperti pada pembangunan sekolah. Banyak sekolah yang dindingnya kembali retak ketika gempa, cat di dinding mengelupas jika terkena hujan, atapnya bocor, dan lantai yang mudah retak.

Dalam pelaksanaan training terhadap tenaga didik, tidak semua guru mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kualitasnya. Beasiswa yang disalurkan sering tidak kepada pihak yang berhak mendapatkannya. Peralatan dan perlengkapan sekolah hanya bisa untuk beberapa kali pakai selebihnya menjadi rusak.

Penulis sendiri tidak bisa menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas penyelewengan ini. Praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme seolah telah menjadi kebiasaan sosial yang memang harus dilakukan. Manipulasi data telah menjadi pekerjaan. Ketika ada pihak yang berbuat jujur malah disalahkan. Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi.

Namun, penulis mengakui bahwa tidak semua pihak melakukan penyelewengan. Masih ada pihak-pihak lain yang masih terjaga dirinya dari perbuatan keji tersebut. Buktinya, masih banyak bangunan sekolah yang dibangun dengan bahan baku yang berkualitas, banyak korban tsunami yang tetap mendapatkan beasiswa pendidikan, begitu pula dengan tenaga pengajar yang mengikuti berbagai pelatihan yang menunjang untuk meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, mahasiswa dan guru yang dikirimkan keluar daerah atau keluar negeri untuk menuntut ilmu. Akan tetapi, ibarat kata pepatah gara-gara setitik nila rusak susu sebelangga.

Dengan kenyataan yang demikian, penulis mengharapkan agar berbagai pihak yang membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh untuk meninjau langsung ke lapangan untuk mengantisipasi kecurangan dan penyelewengan yang kerap dilakukan. Semoga ini menjadi batu loncatan kita bersama untuk menyadari bahwa rekonstruksi Aceh tidak hanya pada fisik saja tetapi juga pada mental dan moral rakyat Aceh. Ini semua dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan.

Senin, 02 Juni 2008

INDONESIA, MARI KITA MEROKOK

Juni 02, 2008 1 Comments
Mungkin inilah pesan yang tersirat dari setiap iklan rokok yang kerap kita lihat di rumah melalui media elektronik seperti televisi, kita dengar melalui radio, ataupun di jalan-jalan protokol yang sering kita lewati melalui media reklame. Pesan-pesan tersebut dengan mudah kita temukan dan jelas terpampang di mana-mana.

Sebut saja iklan dari salah satu merek rokok terkenal yang sering menyajikan pesan-pesan yang menggelitik seperti, “ Taat Cuma Kalo Ada Yang Liat”, “Jalan Pintas Dianggap Pantas”, “Gali Lubang Tutup Lupa”, “Kalo Masih Banyak Celah Kenapa Harus Nyerah”, “Terus Terang, Terang Ga Bisa Terus-terusan”, “Mau Pintar KoMahal?”, “Susah Ngeliat Orang Seneng, Seneng Ngeliat Orang Susahatau pesan berbau religius ketika di bulan Ramadhan, sepertiNgobrol Jangan Cuma Setahun Sekali!” atauMalu Sama Yang di Atas!”, dan semua kalimat tersebut diakhiri dengan “Tanya Kenapa?”

Pesan-pesan yang ringan namun memiliki makna yang dalam dan tajam. Berisikan kritikan moral terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan sikap kita sehari-hari. Menggugat hal-hal yang sering kita anggap sebagai sesuatu yang “ biasatetapi harus diubah. Menyadarkan kita untuk berinstorpeksi diri dengan pertanyaan akhir “ Tanya Kenapa?”.
Tidak dipungkiri bahwa pesan moral yang disampaikan melalui iklan produk rokok tersebut cukup menggelitik. Tetapi tanpa kita sadari ternyata semua itu hanyalah tak tik dari perusahaan rokok dengan tim kreatif dan marketingnya yang tidak pernah kehilangan akal terhadap kebijakan pemerintah yang membatasi kesempatan dalam memasarkan/ mengiklankan produknya. Seperti pelarangan memasarkan produk rokok serta tidak boleh menjadi sponsor kegiatan pada institusi pendidikan. Tidak menampilkan wujud rokok serta aktivitas merokok baik itu dalam visualisasi berupa gambar atau film pada media televisi, internet, reklame, ataupun suara pada media radio. Pembatasan waktu pemasaran di atas jam setengah sepuluh malam sampai jam lima pagi, dengan asumsi bahwa anak-anak tidak menggunakan media elektronik pada waktu tersebut (PP No.38 Tahun 2000). Dalam pemasarannya jugawajibmenyertakan peringatan pemerintah bahwa merokok dapat merusak kesehatan.

Selain itu, sosialisasi yang dilakukan oleh para pakar, praktisi, dan akitivis kesehatan pada masyarakat umum tentang bahaya rokok bagi kesehatan, seperti pemaparan informasi atau pengetahuan tentang asap rokok yang mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia dengan tiga komponen utama, yaitu: nikotin yang menyebabkan ketergantungan/ adiksi, tar (benzo-a-piren, piren) yang bersifat karsinogenik dan karbon monoksida yang afinitasnya sangat kuat terhadap hemoglobin sehingga kadar oksigen dalam darah. Jika hal tersebut terakumulasi akan menimbulkan penyakit kanker, impotent, atau merusak jantung, paru-paru, janin, dan lain-lain.
Jelas saja, sosialisasi tersebut akan membuat para perokok atau orang yang hendak merokok akan berpikir dua kali untuk merokok. Karena merokok dapat merusak kesehatan dan menyebabkan kematian. Dan semua itu akan merugikan perusahaan-perusahaan rokok
Namun, perusahaan rokok tidak tinggal diam begitu saja. Sebagai respon dari peraturan pemerintah dan sosialisasi dari berbagai pihak tersebut di atas membuat perusahaan rokok mencari ide kreatif dalam hal pempromosian produk rokoknya untuk tetap menarik perhatian masyarakat. Selain pesan-pesan moral berupa kritik yang telah penulis sebutkan di atas, masih banyak lagi pesan yang disampaikan oleh berbagai perusahaan rokok di negri ini. Sebut saja pesan, “Apa Obsesimu?” disertai dengan slogan “Bikin Hidup Lebih Hidup” , “U are U !” (baca: kamu adalah kamu), “X-presikan Aksimu!” dan masih banyak lagi yang lain. Pesan-pesan tersebut merupakan pesan-pesan hidup yang juga mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.

Dan dengan iklan yang sangat kreatif dan sama sekali tidak menampilkan kesan negative dari rokok, perusahaan rokok berhasil menjerat hati rakyat Indonesia. Rokok hadir di masyarakat sebagai teman yang siap menolong kapan dibutuhkan. Rokok hadir sebagai sahabat yang mampu menasehati kita di saat teman-teman kita hilang entah kemana. Padahal semua itu tidak telepas dari propaganda yang dilakukan perusahaan rokok agar kita, masyarakat umum bisa menerimanya. Lihat saja berapa banyak beasiswa yang ditawarkan untuk institusi pendidikan, sumbangan-sumbangan yang mereka berikan untuk masyarakat miskin dan korban bencana alam, serta menjadi sponsor dalam berbagai kegiatan?

Semua itu dilakukan agar kita persimif/mentolerir rokok yang notabene merusak kesehatan dan mematikan tetap berkembang di negara ini. Agar kita bimbang terhadap untuk menilai yang baik dan yang buruk. Sebuah marketing yang sangat baik untuk menarik konsumen. Hingga pada akhirnya kita semua menerima rokok dan tergantung padanya.

Ada sebuah lelucon yang menarik tentang marketing, “ Marketing adalah bagaimana cara kita menjual sate babi, di kampung Arab dan laku!”. Maksudnya, babi mungkin bisa enak, mengenyangkan dan laku dijual. Namun, tetap saja babi haram di konsumsi (salah satunya adalah merusak kesehatan) bagi orang Arab (Islam.red). Begitu juga dengan merokok, ia bisa menjadi teman dikala kita sedang sendiri atau dalam keadaan stress, tetapi rokok dapat merusak kesehatan dan dapat mematikan.

BBM OH BBM

Juni 02, 2008 0 Comments
Harga BBM (bahan bakar minyak) kembali naik! Begitulah yang dituliskan pada setiap headline surat kabar, diberitakan di setiap media massa, diperbincangkan setiap orang, dikecam oleh berbagai lapisan termasuk di dalamnya mahasiswa, dan diresahkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia dalam beberapa hari ini.
Kenaikan BBM kembali menjadi polemik yang menarik untuk didiskusikan. Setelah pada awal Maret dan Oktober 2005 pemerintah menaikkan bahan bakar ini, sekarang kembali kebijakan serupa akan dilaksanakan, yakni menaikkan BBM sebesar 30% per 24 Mei 2008 karena harga minyak dunia yang melonjak tinggi.
Tidak dipungkiri bahwa undang-undang yang mengatur tentang kenaikkan harga BBM ada di tangan pemerintah. Maka ketika negara sedang mengalami kesulitan seperti saat ini, alternatif yang paling mudah untuk yang dilakukan para pemimpin bangsa untuk mengatasinya adalah dengan menaikkan harga BBM. Para anggota DPR, yang merupakan wakil rakyat, mestinya menentang kebijakan ini. Memang secara formal, DPR tidak bisa menerima atau menolak, karena ini mutlak kebijakan pemerintah. Namun, sebagai orang yang diamanahkan rakyat Indonesia, anggota dewan harusnya mampu melobi pemerintah agar hal ini tidak terjadi.
Lihatlah bagaimana nasib rakyat Indonesia pasca kenaikan harga BBM 2005 silam. BBM yang dijanjikan naik sebesar 30 persen, ternyata naik 128 persen Penduduk miskin semakin bertambah karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Subsidi yang diberikan hanya sedikit mengurangi kekhawatiran dan banyak tidak tepat sasaran. Minyak tanah yang mahal mengakibatkan harga sambako juga melonjak. Ongkos kendaraan umum semakin tinggi. Semua menjadi serba mahal. Lantas, mengapa kita harus membayar mahal untuk hidup di tanah air kita sendiri ?
Sekarang, kebijakan serupa akan dikeluarkan kembali oleh pemerintah dengan menaikkan harga BBM sebesar 30 persen. Namun, saya yakin kejadian tiga tahun yang lalu akan berulang kembali. Mau jadi sebanyak apa penduduk miskin di Indonesia ini ? Berapa banyak usaha-usaha kecil yang terpaksa gulung tikar karena biaya produksinya tidak sesuai dengan ukuran kantong yang pada akhirnya menghasilkan pengangguran ? Seberapa drastis harga sembako dan minyak yang akan melonjak ? Ongkos angkutan umum yang gila-gilaan?
Mari kita beranalogi, misalnya ongkos angkutan umum sekarang adalah Rp.3000. Seandainya harga BBM dinaikkan 30 persen, maka ongkosnya menjadi Rp.3900. Tetapi, apakah semua yang kita perkirakan ini akan berlaku di lapangan ? Sama sekali tidak ! Bisa jadi ongkos tersebut naik dua kali atau bahkan tiga kali lipat. Karena seiring melonjaknya harga BBM, maka berbagai keperluan sehari-hari lainnya juga akan naik.
Memang, dampak dari kenaikan minyak dunia ini tidak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain. Mereka juga telah mengambil kebijakan dengan menaikkan harga BBM. Namun, apakah sama kondisi rakyat Indonesia dengan rakyat negara-negara tersebut ?
Negara Indonesia adalah negara yang kaya raya. Di bumi kita terkandung sumber daya alam yang jumlahnya melimpah. Tetapi mengapa harga BBM terus saja menyengsarakan rakyat ? Bukankah bumi, tanah dan air di negeri ini digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Begitu juga dengan sektor pendapatan BBM yang jelas-jelas berasal dari bumi Indonesia, mestinya digunakan sepenuhnya untuk memakmurkan rakyat, bukan sebaliknya.
Mari kita melihat kembali rencana – rencana pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga BBM seperti yang dituliskan Imam Sugema (Kompas, 12 Mei 2008). Selama tiga tahun belakangan pemerintah menghimbau untuk menghemat energi, tapi itu hanyalah imbauan kosong yang tidak pernah terealisasi. Produksi minyak bukannya naik, malahan turun menjadi hanya 927.000 barrel per hari. Keinginan untuk mengkonversi ke batu bara gagal total. Begitu pula dengan konversi ke gas juga tidak berjalan mulus. Pembangunan pembangkit listrik tersendat oleh perebutan kue. Program energi alternatif seperti biofuel, angin, dan ombak telah lenyap bersama gulungan angin. Padahal, jika salah satu rencana itu bisa direalisasikan tentunya konsumsi terhadap BBM akan menurun, volume BBM yang disubsidi juga berkurang sehingga negara tidak membuat rakyat tidak kelabakan seperti sekarang.
Sama seperti tiga tahun yang lalu, pemerintah juga berencana akan memberikan kompensasi bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Namun, seperti yang dituliskan Imam, data base yang digunakan masih data base tahun 2005. Apakah pemerintah yakin kalau semua penduduk miskin pada tahun 2005 itu tetap miskin pada tahun 2008? Tidak adakah di antara mereka yang kehidupannya menjadi baik, meninggal dunia, atau jumlah penduduk miskin semakin bertambah ? Apakah pemerintah dapat bahwa memastikan setiap penduduk miskin akan memperoleh BLT tersebut? Dan pertanyaan terakhir, cukupkah BLT itu untuk memenuhi hajat hidup rakyat seluruhnya ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang telah mengganjal dipikiran penulis selama ini, telebih lagi ketika desas-desus kenaikan BBM semakin banyak dibicarakan. Bantuan langsung tunai (BLT) tesebut menurut penulis hanyalah bantuan ganti rugi yang sama sekali tidak sesuai dengan kerugian yang pemerintah berikan untuk rakyat. Rakyat kecil tidak pernah menerima keuntungan menjadi warga negara ini. Semua bantuan yang diberikan hanyalah ganti rugi.
Pada akhirnya, pemerintah seharusnya tidak menyalahkan masyarakat yang memilih alternatif lain untuk dijadikan pengganti minyak tanah seperti kayu bakar. Karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan kerugian yang dialami. Mungkin sedikit menyinggung PP No.2 2008 tentang kebijakan pemrintah yang mengizinkan perusahaan pertambangan untuk melakukan pertambangan di kawasan hutan lindung yang harga sewa permeternya lebih murah dari sepotong pisang goreng. Secara kasarnya, mestinya pemerintah juga tidak melarang rakyat yang juga ikut menggerogoti hutan Indonesia, karena toh hutan itu milik negara dan berhak dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan keadaan sekarang saja rakyat belum makmur,diperparah lagi dengan kenaikan BBM. Jadi, wajarkan kalau mereka mencari lain kemakmuran di bumi mereka sendiri?
Kesimpulannya, rakyat kecillah yang menjadi korban dari segala kebijakan pemerintah. Penulis sangat tidak setuju dengan pernyataan salah satu pemimpin partai besar di negara ini yang menyatakan kalau rakyat miskinlah yang paling diuntungkan dengan kenaikan harga BBM ini, karena subsidinya semakin besar. Mana buktinya ?
Sebagai mahasiswa-generasi penerus bangsa ini-penulis sangat mengharapkan pemerintah mengkaji ulang kembali kebijakannya untuk menaikkan harga BBM. Kasihanilah rakyat kecil yang selalu menjadi korban. Keluarkanlah kebijakan yang membuat kami bangga menjadi warga Indonesia. Begitu juga dengan para anggota dewan, kalian adalah wakil rakyat. Segala amanah kami titipkan dipundakmu. Meskipun undang-undang mengenai kenaikan BBM ini adalah kebijakan pemerintah, janganlah kalian semua tinggal diam dalam menyikapi semua ini. Memang, pemilu 2009 semakin dekat. Tetapi, kalian masih memegang amanah kami selama beberapa bulan ke depan. Jangan jadikan kami menyesal telah memilihmu sebagai wakil kami.
Salam Mahasiwa!!



Jumat, 30 November 2007

November 30, 2007 1 Comments
OPTIMALISASI PEMIKIRAN


Manusia adalah sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt.. Sebagi makhluk terbaik, manusia dianugrahkan akal oleh Sang Khalik. Dengan akal tersebut manusia dituntut untuk berpikir. Berbeda dengan binatang yang hanya diberikan nafsu tanpa diberikan akal. Sehingga apa pun yang dilakukan binatang adalah kodratnya sebagai akhluk yang tak berakal. Akallah yang membedakan manusia dengan binatang.
Berpikir merupakan penggunaan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah alasan yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Seperti kalimat yang diungkapkan dalam sebuah iklan di televise, “Pikir dong, pake otak!”. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contohnya adalah saat pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Komputerlah yang memeriksa hasil ujian. Nilai yang dihasilkan oleh komputer merupakan penetu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya.
Kembali pada manusia sebagai makhluk yang berpikir, meski dalam agama, kita dihadapkan dengan konsep "dengar dan kerjakan", namun hal yang demikian hanya terbatas pada ajaran-ajaran agama yang sudah pasti dan tak dapat mengalami perubahan sampai kapan pun. Sangat banyak, bahkan lebih dominan agama menganjurkan untuk tetap memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Kecenderungan seseorang dalam mengeksploitasi kata "kemanusiaan" sering berdampak menghilangkan jati diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berpikir. Demi kemanusiaan, hilanglah kemampuan berpikir manusia yang justru membedakan kita dengan makhluk lainnya. Kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir sebenarnya tak mungkin hilang, tetapi bisa saja terjadi ketika manusia tidak menggunakan otaknya untuk berpikir.
Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir akan menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah.
Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan. Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah.
Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Akan tetapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus.
Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral. Contoh kecil adalah saat penentuan kenaikan kelas atau kelulusan harus dilandasi cara-cara ilmiah, yakni dengan melihat perolehan nilai siswa secara komprehensif. Penilaian harus secara paripurna, bukan penilaian insidentil saat ujian saja yang waktunya 2 jam setiap pelajaran yang diujikan.
Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah "musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.
Saat ini, banyak prilaku tidak ilmiah yang justru ditampilkan oleh pemimpin yang semestinya lebih ilmiah dari masyarakat biasa. Saat tunjangan DPRD baru diwacanakan, maka dengan gesitnya Pemda mengucurkan tunjangan tersebut karena ada kedekatan kepentingan yang tidak ilmiah, meskipun akhirnya meka harus mengembalikannya.
Pertanyaannya sekarang adalah: Mengapa mereka tidak bersifat ilmiah, padahal mereka adalah manusia sebagai makhluk ilmiah? Ataukah mereka bukan manusia? Mereka sering bersifat ilmiah, tapi tak jarang mereka melupakannya. Mereka dan kita semua secara ilmiah pernah melakukan hal yang sama, yakni pernah berbuat dan berprilaku ilmiah dan pernah juga tidak ilmiah. Secara ilmiah itu adalah hal yang manusiawi, namun sifat manusiawi tak dapat kita jadikan sebagai tameng untuk melegalkan tindakan yang merugikan orang lain. Keputusan ataupun tindakan yang secara langsung melibatkan orang lain tak dapat ditolak haruslah ilmiah. Kesalahan pada masalah ini tak dapat ditoleransi dengan kata manusiawi, tetapi harus mendapat tindakan, sekurang-kurangnya tindakan etika. Kita dan siapapun yang telah mengetahui hakekat ilmiah dan sebenarnya kita pernah atau sering melakukan hal yang ilmiah, akan mampu menilai diri kita sendiri atau seseorang, terutama pemimpin kita apakah dalam bertindak kita atau dia ilmiah atau tidak.

Jumat, 08 Juni 2007

Ketika Kejujuran Dipertanyakan

Juni 08, 2007 2 Comments
OLEH : LIZA FATHIARIANI
Kejujuran adalah sebuah fenomena, sebagaimana UAN (Ujian Akhir Nasioanal) adalah sebuah fenomena. Keduanya adalah fenomena yang unik. Karena di suatu sisi, UAN dengan segala polemik yang terjadi di dalamnya, tetap disahkan oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu tolak ukur kecerdasan intelektual siswa. Sedang kejujuran, di satu sisi dibela, sedangkan di sisi yang lain diinjak-injak.
Inilah fenomena yang dapat kita saksikan sekarang. Saat ujian nasional yang mestinya dijadikan sebagai ajang evaluasi kemampuan siswa setelah mengecap pendidikan sepanjang hitungan tahun, justru menjadi arena pertunjukan pendidikan Indonesia yang menggelikan sekaligus mengiris. Mulai dari kasus bocornya soal, pencurian soal oleh kepala sekolah, hingga kunci jawaban yang beredar di kalangan peserta ujian. Ironisnya, perbuatan yang sudah jelas salah itu bukannya dihentikan malahan sebagian besar pihak yang memiliki otoritas dalam masalah ini memilih bersikap apatis, atau bahkan mendukung, meskipun tidak secara terang-terangan.
Lebih tragisnya lagi, pihak yang menentang atau mencoba jujur dan bersikap murni dalam pelaksanaan UAN ini justru dianggap sok bersih, diejek, dan dijadikan cemoohan. Akibatnya, siswa yang jujur justru yang paling banyak mengalami tekanan. Sedangkan pihak-pihak yang berbuat curang justru melenggang santai dengan dukungan dari banyak pihak; pengawas, kepala sekolah, guru-guru, bahkan orangtuanya sendiri. Lantas dimanakah yang dinamakan kebenaran? Apakah kebohongan dan kepalsuan lebih layak didukung dari pada kejujuran dan sikap bersih?
Sangat disayangkan, sekolah yang harusnya menjadi dasar pembentukan moral dan budi pekerti yang baik, justru menjadi salah satu pionir kerusakan moral. Di satu sisi guru mengajarkan kejujuran dan menyuruh siswa menjauhi segala bentuk kejahatan seperti mencuri, berdusta, dan korupsi dalam pelajaran PPKn, agama, ataupun dalam wacana sehari-hari. Namun saat pelaksanaan UAN ini berlangsung, guru malah dengan santainya menganjurkan siswa mencontek, membagi kunci jawaban, dan mencari bocoran soal dengan segala cara. Padahal, bukankah dengan mencontek berarti siswa sudah melakukan satu kebohongan? Ia mengklaim bahwa hasil yang tertera di kunci jawaban itu adalah miliknya sendiri, padahal sepatutnya nilai itu dibagi dua dengan teman di sebelahnya. Bukankah dengan mencari bocoran soal sebenarnya ia telah melakukan pencurian rahasia negara? Apakah mencontek dan mendapatkan bocoran bukan merupakan salah satu bentuk korupsi?
Memang ini sebuah polemik. Di satu sisi pemerintah ingin mencetak generasi-generasi cerdas yang mempu menembus standar kelulusan. Namun di sisi yang lain, tanpa sadar pemerintah telah mencetak siswa-siswa yang memiliki jiwa kerdil; jiwa koruptor, jiwa pengecut, dan jiwa maling kelas teri. Pemerintah terus maju dengan menaikkan standar kelulusan dari tahun ke tahun, tanpa menyempatkan diri melakukan evaluasi; siapkah siswa untuk menembusnya, sedang fasilitas dan SDM guru yang tersedia sangat minim? Apa sajakah efek dari tekanan standar kompetensi ini terhadap psikologi siswa? Dan apakah kenaikan standar kompetensi ini benar-benar efektif dalam memacu pendidikan Indonesia?
Sayangnya, pemerintah kita tidak berpikir sejauh itu. Pemerintah Indonesia hanya ingin mengejar nama besar di mata dunia Internasional. Yah, nama besar yang ditunjukkan dari standar kelulusan. Bayangkan saja, jika dilihat dari skala internasional pendidikan Indonesia pun sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan, di tahun 2003 Indonesia menduduki rangking 106 tingkat pendidikan dunia setelah Vietnam. Hal ini merupakan hal yang sangat memalukan karena negara yang selalu dirundung konflik seperti Vietnam mampu menyaingi kita.
Akhirnya pemerintah berbuat nekat. Maju untuk menyaingi negara-negara lain walau tanpa data lapangan yang valid dengan menetapkan standar kelulusan di atas kemampuan anak didik. Maju walau banyak siswa yang depresi, membakar sekolah, bahkan sampai bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian nasional. Pemerintah ingin terus maju. Ibarat orang balapan kuda. Ia naik kuda yang sudah tua, kelaparan, dan sakit. Ia berharap dapat jadi juara dengan mencambuk kudanya agar terus lari sekencang-kencangnya. Tapi apa yang ia dapat? Kudanya malah mati. Dan ia tidak pernah sampai ke garis finish, apalagi jadi juara. Dan inilah yang akan terjadi jika pemerintah terus memaksakan ‘kudanya’ berlari tanpa persiapan yang memadai.
Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Pemerintahan Indonesia dituntut oleh pihak internasional untuk meningkatkan standar pendidikan secara tidak langsung. Kemudian pemerintahan pusat menuntut pemerintahan daerah, pemerintah daerah menuntut setiap sekolah, dan setiap sekolah menuntut para siswanya untuk bisa maju dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan tersebut. Pada akhirnya, pihak-pihak yang terkait tersebut kelabakan dan menggunakan segala cara agar standar itu bisa terpenuhi.
Yang menyedihkan, cara-cara yang ditempuh tidaklah sepenuhnya bersih. Memang, pemerintah telah mensubsidi dana untuk pendidikan yang jumlahnya tidak sedikit. Akan tetapi, masih ada saja pihak-pihak yang mengkorupsi dana tersebut sehingga sarana dan prasarana sekolah tidak pernah memadai. Kemudian dari segi pendidik alias guru. Para cek gu itu memang setiap hari mengajar, tetapi apakah semuanya mengajar dengan sepenuh hati sehingga para anak didiknya bisa menerima segala yang diajarkannya? Tidak. hanya segelintir guru yang demikian. Sedangkan yang lain hanya mengejar kurikulum yang telah ditargetkan, setelah selesai, selesai pula urusan mereka dan kalau ujian nasional tiba maka mereka akan memberikan jawaban cuma-cuma kepada siswa. Kalau siswa banyak yang lulus ujian, itu akan membuktikan kualitas mereka. Selanjutnya dari segi siswa, mereka dengan seenaknya menjadikan siswa yang lain yang lebih pandai sebagai gacok untuk membantu mereka dalam menempuh ujian. Sangat sedikit di antara mereka yang mau berlaku jujur.
Sekarang, dimanakah kejujuran itu akan kita dapatkan? Setelah tempat yang mengajarkan kejujuran itu tidak lagi berlaku jujur? Apakah ini bertanda semakin muramnya masa depan Indonesia, karena apa yang dilakukan oleh generasinya saat ini sangatlah memalkan bangsa. Mahatma Gandhi pernah berkata “ the future depends on what we do in the present”. Oleh karena itu, marilah kita merubah semua tatanan pendidikan kita yang tidak baik menjadi baik untuk masa depan negara tercinta ini.

Follow Us @soratemplates