Kamis, 14 Mei 2009

KEGETIRAN SEORANG HAFIZH

Mei 14, 2009 36 Comments
Bocah nelayan itu menatap hamparan laut dengan pilu. Kemudian ia memalingkan pandangannya pada bukit nan rimbun yang terletak berhadapan dengan kumpulan air terbesar di dunia. “Dulu, sebelum tsunami, saya, ayah dan mak, serta adik saya tinggal di sini,” tuturnya.

Ujung Pancu, nama daerah tempat ia berada sekarang. Sebuah perkampungan penduduk yang terletak di Peukan Bada Aceh Besar. Kampung itu memiliki kenangan sendiri di benak anak laki-laki yang bernama Muhammad Hafizh Rihanda.

“Dulu saya sering bermain di pinggir pantai bersama teman-teman sepulang sekolah. Bermain bola, mencari kepiting. Banyak pokoknya.”

Putra dari pasangan Muhand Abdullah dan Ida Yulianti ini seolah memutar kembali memorinya ke saat-saat di mana ia berada di perkampungan nelayan itu. Sebuah senyuman tergurat dari bibirnya.

Namun, beberapa menit kemudian wajahnya menjadi murung. Matanya yang mulai mengeluarkan butiran bening kembali menatap laut. “Sekarang semua itu tidak ada lagi,” ucapnya terbata.

Pantai yang indah Ujung Pancu kini telah tenggelam oleh permukaan air laut yang semakin naik akibat tsunami. Rimbunan Pinus mercusi yang dulunya menghiasi bibir pantai tumbang dihanyutkan gelombang.

“Pagi itu saya sedang mengangkut air untuk membantu mak yang sedang mencuci,” ungkap bocah hitam manis itu, “Terus tiba-tiba gempa. Kuat sekali gempanya. Karena takut kena reruntuhan rumah saya langsung keluar. Mak mengambil dek Adha yang waktu itu masih bayi.”

Hafizh mencoba mengingat-ingat kembali hal-hal yang dialaminya pada hari yang menjadi catatan sejarah penting dalam buku agenda dunia. “Waktu keluar rumah, saya melihat semua orang kampung telah berkumpul di depan rumah masing-masing. Kami melihat air laut tiba-tiba surut ratusan meter. Ikan-ikannya kelihatan semua. Ada yang mengambil ikan itu, ada juga yang melihat saja.”

Hafizh berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya. “Tapi, tiba-tiba gelombang laut datang lagi, tinggi sekali. Setinggi pohon kelapa. Orang-orang kampung berlarian ke bukit.”

Hafizh yang saat itu masih berumur lima tahun juga digendong ayahnya menaiki bukit. Begitu pula dengan ibu dan adiknya yang masih bayi.

Dia yang sangat ketakutan hingga menangis tersedu-sedu. Tidak hanya Hafizh yang merasa takut, seluruh penduduk kampung pun demikian. “Ada yang berdoa, menangis, macam-macam pokoknya. Kami semua ketakutan seolah-seolah mau mati.”

Selama di bukit, lelaki kecil itu harus berpuas dengan mengunyah dedaunan dan meminum air payau untuk mengisi perutnya. Ia sadar, di saat genting seperti itu pasti tidak ada nasi dan lauk pauk lezat seperti yang sering dihidangkan ibunya. Beras yang telah bercampur dengan air asin pun menjadi begitu nikmat kala itu. Ketakutan telah melenyapkan lapar dan dahaga mereka.

“Adik sempat sakit waktu di bukit karena kekurangan makanan,”cerita Hafizh tentang keadaan adik laki-lakinya yang bernama M. Adha Zaifullah yang waktu itu masih berumur satu tahun.

Namun setelah dua hari tiga malam Hafizh dan seluruh penduduk kampung berada di bukit, mereka memutuskan untuk turun dan menuju perkampungan terdekat untuk mencari perlindungan dan makanan. Akhirnya mereka pun tiba di Simpang Dodik yang letaknya tiga kilometer dari Ujung Pancu. Setiba di sana mereka sadar kalau bukan hanya Ujung Pancu yang menjadi sasaran amukan tsunami, tetapi seluruh Banda Aceh mengalaminya. Kemudian mereka di tempatkan di pengungsian yang terletak di Kecamatan Lampeuneurut.

“Tidak enak di pengungsian. Kalau malam banyak nyamuk, dan kalau hujan, banjir. Saya dan ayah sering tidak tidur kalau malam karena harus jaga-jaga biar air tidak masuk ke dalam tenda,”tutur Hafizh. “Waktu di barak Siron Lambaro, sudah enak. Tempatnya lebih bagus dibanding waktu di tenda.”

Wajah polos Hafizh tidak bisa menyembunyikan betapa merananya tinggal di pengungsian. Hidup dengan segala keterbatasan. Namun, anak kedua Muhand Abdullah ini tetap bersyukur karena ia masih bisa melanjutkan sekolah dan tetap berkumpul bersama kedua orangtua dan adiknya. “Tapi,” guratan riang lenyap tiba-tiba. “Kak Feby tidak selamat.”

Feby Putri Handayani, kakak yang sangat disayang Hafizh menjadi salah satu korban amukan gelombang tsunami yang sangat dahsyat itu. “Kak Feby tinggal di Blang Oi bersama nenek. Semua keluarga di sana tidak ada yang selamat.”

Akan tetapi, Hafizh sadar semua itu adalah kehendak Allah dan ia harus menerimanya. Setelah dua tahun lebih tinggal di barak, Hafizh bersama orang tuanya memilih tinggal di Blang Oi, di rumah nenek Hafizh yang tidak berpenghuni lagi. Ia tidak tinggal lagi di Ujung Pancu, tapi sesekali ia tidak lupa untuk sekadar mampir dan mengunjungi rumahnya yang dulu serta bermain bersama teman-temannya.

Sekarang, Hafizh telah duduk di kelas tiga SD Blang Oi. Bencana tsunami memberikan kenangan tersendiri baginya. Perasaan trauma yang dialaminya ketika melihat laut pun hilang seiring berjalannya waktu. Kesedihan karena ditinggal pergi sang kakak pun memudar hari demi hari. Ia yakin Allah Maha Adil. Dan sekarang Sang Maha Adil itu telah memberikan pengganti kakaknya dengan seorang adik perempuan yang sangat lucu. “Mulina Putri Handayani, namanya,” seru Hafizh sambil tersenyum ceria.


Ujung Pancu, Mei 2009


sumber gambar : http://picasaweb.google.com/lh/photo/fSO2pAG2enZQNG9Gx9zc4w

Kamis, 07 Mei 2009

KEMELUT DAN AIR MATA

Mei 07, 2009 10 Comments
Mengapa harus dengan letupan senjata
Kalau kau ingin menghapus air mata?
Mengapa harus dengan aliran darah
Kalau kau ingin membasuh luka lara
Mengapa?
Mengapa?
Tanyaku pada malam yang tak lagi hening
Mengapa?
Mengapa?
Tanyaku pada subuh yang tak lagi teduh


( Lueng Putu, 2003)
Sepenggal sajak di atas adalah kenangan yang masih tersimpan rapi di buku catatan harianku tentang pancarian jawaban terhadap kemelut yang melanda Tanah Rencong beberapa dasawarsa lalu.

Tak ada akhir yang indah dari sebuah kemelut. Peperangan, pertumpahan darah, kemiskinan, ketakutan, kebencian, kematian, dan air mata. Semua bercampur menjadi sebuah buku kehidupan yang tak ingin dikenang. Namun, perselisihan antar umat manusia seolah tak akan pernah lenyap dari muka bumi ini, meskipun pertentangan terhadapnya selalu digemparkan. Konflik, begitu orang-orang menyebutnya. Dan Serambi Mekahku juga tak luput dari konflik tersebut.

Ketika aku masih kecil, aku tidak mengerti mengapa kaum lelaki dari desaku berbondong-bondong menuju markas TNI. Aku sama sekali tidak tahu arah pembicaraan mereka. Sesekali di tengah perjalanan, aku mendengar makian dalam bahasa Indonesia. Aku dan ibu yang saat itu sedang membeli obat nyamuk di kios yang letaknya sekitar 50 meter dari rumah bergegas pulang. Aku tidak paham, kenapa ibu terburu-buru.

Keesokan harinya para istri dari suami yang dibawa aparat pada malam itu dan para ibu dari anak lelaki yang di juga ikut serta bersama rombongan menangis histeris. Aku hanya bisa melihat iba, tanpa tahu apa maksudnya.

Pertengahan tahun 1998, seluruh penduduk Tangse-sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie-diwajibkan mengungsi. Semua sangat tiba-tiba. Tak ada yang tahu pasti siapa yang menyuruh kami mengungsi. Aparatkah? Atau GAM? Atau hanya sebuah “kabar burung” yang tidak tahu dari mana asalnya karena beberapa desa lain di “Kota Dingin” itu telah mengungsi lebih dahulu.

Mengapa harus mengungsi? Tanyaku pada ibu. Sepengetahuanku desa Pulo Mesjid II, tempat tinggalku tidak mengalami keributan seperti di desa-desa lain. Aman-aman saja.

Aku sangat kasihan melihat ibuku saat itu. Setahun yang lalu, bapak telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa karena penyakit kencing manis yang dideritanya. Dan sekarang dalam situasi yang rumit, ibu harus mengurus kepergian, tepatnya pengungsian kami seorang diri. Tak ada saudara yang datang membantu, apalagi menawarkan tumpangan untuk kami. Semua nafsi-nafsi.

Sedih rasanya, sampai-sampai ibu ingin tetap saja tinggal di desa. “Biarlah Allah yang menjadi penolong kita kalau nantinya terjadi sesuatu,” desisnya. Namun, akhirnya kami tetap ikut mengungsi. Ternyata ditengah kemelut itu masih ada manusia yang prihatin terhadap kami dengan memberikan tumpangan di mobilnya.

Tangse begitu sepi kala itu. Hanya ada beberapa mobil patroli polisi yang terlihat. Padi di sawah yang telah menguning dan siap panen harus ditelantarkan begitu saja oleh pemiliknya menjadi pemandangan yang mengiris hati. Betapa tidak, padi di sawah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat harus ditinggalkan untuk sebuah pengungsian yang tidak jelas alasannya. Bau bangkai hewan ternak begitu menyengat hidung dan tak bisa dielakkan selama perjalanan.

Tanah kelahiranku telah disulap menjadi kota mati. Tak ada riuh dan tawa. Hanya ada kesunyian dan ketakutan yang sangat mengganggu jiwa.

Di sebuah Meunasah Kecamatan Beureunun yang jaraknya memerlukan waktu 1 jam lebih dari Tangse kami mengungsi. Tak ada kenikmatan di pengungsian, semua serba darurat. Nyamuk yang bagaikan bala tentara di medan perang, penyakit-penyakit yang mewabah akibat sanitasi lingkungan yang tidak bersih. Dengan makanan ala kadarnya yang terkadang musti mengharap belas kasihan penduduk sekitar. Tidak ada hal indah yang layak dicatat dalam memori saat-saat di pengungsian, terlebih lagi di pengungsian yang tidak jelas alasannya kenapa.

Karena keamanan yang tidak kondusifkah ? Tapi mengapa penduduk yang berasal dari kecamatan tetangga bisa dengan leluasa menjarah hasil bumi tempat tinggal kami dengan leluasa? Mengapa mereka tidak terbunuh kalau memang tempat tinggal kami tidak aman?

Aku yang waktu itu baru saja naik di kelas enam sekolah dasar tidak tahu harus melanjutkan sekolah dimana, begitu juga dengan yang lainnya. Pegawai-pegawai kantoran terpaksa libur karena ikut juga mengungsi. Para pedagang dan petani tak bisa membanting tulang seperti biasa.

Akhirnya, setelah kurang lebih tiga bulan hidup di pengungsian yang tidak jelas ujung pangkalnya membuat masyarakat kampungku nekad kembali ke rumah masing-masing. Kalaupun harus meninggal di ujung senapan, mereka sudah pasrah. Semuanya diserahkan kepada Sang Pemilik alam semesta.

Dua tahun setelah di pengungisian, tepatnya tahun 2000, aku melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Dayah Jeumala Amal, Kecamatan Lueng Putu, Pidie Jaya. Konflik bersenjata masih saja berlangsung, malah kian menjadi-jadi. Apalagi setelah dilaksanakannya pawai besar-besaran untuk menuntut referendum Aceh. Keberadaan kaum adam di rumah membawa ketakutan tersendiri. Mereka yang tidak berkerja di kantor pemerintah dicurigai sebagai pemberontak oleh aparat keamanan. Dan yang menjadi abdi negara dianggap sebagai pecundang oleh GAM dan kerap menjadi sasaran pemerasan.

Hanya saja semua dampak konflik waktu itu tak kurasakan secara langsung. Di keluargaku hanya adikku yang laki-laki sehingga tak ada yang menjadi sasaran kecurigaan baik dari aparat atau pun GAM.

Awal tahun 2003, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang kini menjabat sebagai Presiden RI, memutuskan untuk menetapkan status Aceh menjadi Daerah Darurat Sipil, sebuah peralihan dari status Darurat Militer karena perjanjian gencatan senjata antara TNI dan GAM tak jua terlaksana. Zona-zona aman yang disepakati tetap saja dilanggar oleh kedua belah pihak.

Tidak ada perbedaan antara Darurat Sipil dan Darurat Militer ini. Cuma nama saja yang berbeda, konflik tetap saja berlangsung dan seakan tak akan pernah ada ujung pangkalnya.

Saat itu aku sedang duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah Dayah Jeumala Amal. Sebuah dayah (pondok pesantren) yang dibangun tepat di pinggir jalan menuju Banda Aceh-Medan. Di seberangnya terdapat kantor-kantor pemerintahan yang telah dialihfungsikan menjadi markas aparat. Di belakang dayah, terdapat perkampungan penduduk yang sering dilewati oleh GAM.

Maka di masa itu, jadilah dayah kami sebagai benteng perperangan antara aparat dan GAM. Setiap saat semua santri harus bersiap siaga kalau saja terjadi kontak senjata. Tiarap dimana saja kami bisa untuk menghindari timah panas yang tak mengenal siapa sasarannya.Tidur malam tak lagi nyenyak seperti biasa. Proses belajar mengajar hanya formalitas semata. Kehidupan berlangsung seadanya saja. Karena rasa was-was telah meracuni jiwa.

Pada hari pelaksanaan Ujian Akhir Nasional, kontak senjata menyambutnya bagaikan pesta tahun baru yang sangat meriah. Lembaran-lembaran kertas ujian tetap kuisi sambil tiarap di tengah-tengah peluru yang berterbangan. Pecahan kaca jendela, membuatku dan teman-teman menjadi khawatir, tapi semangat kami tetap menyala. Ujian tetap berlangsung.

Detik-detik terakhir keberadaanku di dayah begitu hampa. Tak ada pesta perpisahan yang mengiringi kepergianku dan santri lain seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Hanya ada suara peluru dan dentuman bom yang dengan setia mengiringi. Yang lebih menyedihkan, tepat pada hari seluruh santri harus meninggalkan dayah, ibu tidak bisa menjemputku pulang. Sweeping terjadi dimana-mana. Entah itu yang dilakukan aparat keamanan ataupun GAM. KTP merah putih menjadi jimat yang mujarab ketika sweeping dilakukan aparat. Sebaliknya, KTP tersebut menjadi sumber malapetaka ketika GAM mensweeping. Semua menjadi serba salah. Masyarakat memilih diam saja di rumah karena takut. Angkutan umum mogok untuk mengangkut penumpang karena tidak ingin mengambil resiko.

Aceh benar-benar menjadi kota mati saat itu. Tak ada kehidupan, yang terlihat hanya aparat yang melakukan pratoli dengan tank-tank yang berisikan senjata dan peluru.
Satu persatu temanku dijemput oleh orang tuanya dengan menggunakan sepeda motor ataupun becak. Modal nekadlah yang mereka miliki saat itu. Apapun akan ditempuh asalkan bisa berkumpul lagi bersama-sama keluarga. Namun, aku harus berpuas diri untuk tetap berada di dayah selama beberapa hari setelah kelulusanku. Ibu tak mungkin menjemputku. Mau menjemput dengan kendaraan apa? Sepeda motor tak punya, tak ada becak di Tangse. Menyewa ojek juga tidak mungkin. Jarak Tangse-Lueng Putu tidak dekat, butuh waktu 2 jam lebih dan harus melalui pegunungan yang tidak ada yang bisa menjamin keamanannya. Angkutan umum masih tetap mogok. Aku benar-benar dituntut untuk lebih mandiri saat itu. Aku harus sabar dan tabah.

Akhirnya aku bisa menumpangi sebuah labi-labi “nekad” yang membawaku ke Sigli. Rumah sepupuku menjadi tujuan. Hari-hari di Sigli sangat jauh berbeda dibandingkan ketika aku masih di dayah. Kontak senjata hanya sesekali terdengar, sedangkan di Lueng Putu bunyi letupan senjata bagaikan santapan setiap hari.
Aku mengisi hari libur dengan mengurus segala urusan sekolahku. Mulai dari pendaftaran ke SMA, Bolak-balik Lueng Putu-Sigli untuk mengurus ijazah hingga suatu hari aku dapat kembali ke kampung halaman. Ya, aku bisa kembali ke Tangse dengan menumpangi sebuah mobil pick up milik penduduk Tangse yang sedang membeli sembako di Beureunun.

Namun, konflik benar-benar membuat semua orang menderita termasuk diriku. Aku tidak bisa kembali ke Sigli untuk mengikuti ujian masuk SMA. Semua kendaraan kembali di sweeping. Modal nekad tidak dapat diandalkan lagi. Hanya ambulans yang diizinkan untuk berpergian untuk membawa pasien. Dan Allah Maha Pengasih, di hari yang naas itu aku diizinkan menumpangi ambulans yang akan membawa pasien ke kota Sigli. Tak masalah harus duduk berdesakan. Sampai di Sigli dan mengikuti tes ujian masuk SMA Modal Bangsa adalah tujuan utamaku.

Aku diterima di SMA Modal Bangsa yang letaknya di Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Alangkahkah berbedanya suasana Aceh Besar dan Banda Aceh dengan Lueng Putu ataupun Tangse. Semua aktivitas penduduk berjalan normal. Hanya di pedalamannya saja yang memerlukan penjagaan yang ketat pihak keamanan. Selebihnya tidak. Jarang sekali terdengar letupan peluru.

26 Desember 2004, Aceh kembali diuji dengan bencana gempa dan tsunami. Rakyat kembali berduka, tidak sedikit korban yang berjatuhan baik dari korban jiwa atau pun finansial. Namun, setiap musibah pasti ada hikmahnya. Musibah dahsyat itu ternyata tidak sepenuhnya membawa luka lara bagi rakyat Aceh, tetapi juga mengahasilkan sebuah kenikmatan. Perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia, bagaikan angin segar bagi rakyat Aceh. Betapa tidak, dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding) tersebut, maka berakhir pula konflik yang berkepanjangan di Nanggroe Aceh Darussalam. Tak ada lagi peperangan, kematian, dan semua kesengsaraan.
Semoga damai ini tetap terjaga dan tak ada yang menodainya. Amin.


Senin, 04 Mei 2009

Namanya Juga Anak-anak (Part 1)

Mei 04, 2009 5 Comments
Setiap masa memiliki arti tersendiri bagi kita. Entah itu masa ketika kita masih kecil, remaja, dewasa, atau bahkan saat usia ini telah beranjak tua. Bagiku semua masa itu sangat berharga. Terlebih ketika usia ini masih kecil dan belum begitu paham tentang dunia ini.

Yupz, aku sangat merindukan masa-masa kecilku yang sudah tentu ngga bakal kugapai lagi. Kalau direfresh kembali, maka otakku akan mengingat hari ketika adikku dilahirkan. Saat itu aku masih berumur 3 tahun. Selebihnya aku ngga ingat apa-apa lagi diusia tersebut.

Kemudian di umur empat tahun, aku diantar mama untuk masuk taman kanak-kanak. Ya, aku masih mengingat jelas masa itu. Waktu itu mama menggendong adik yang masih bayi. Kami pergi bersama Cut dan ibunya. Saking senangnya, aku terus saja berlari-lari tak sabar ingin segera tiba di TK kecamatan yang berjarak sekitar setengah kilo dari rumah.


Di sana aku bertemu dengan Bu Nong yang kata-katanya selalu kuingat, “Jangan ribut ya, nanti ibu kunci mulutnya.” Saat itu aku benar-benar membayangkan seorang Bu Nong, yang merupakan keturunan Aceh-Medan itu mengambil kunci lemari lalu mengunci mulut kami. Bu Nong yang bahasa Acehnya kurang lancar itu sering menggunakan Bahasa Indonesia untuk berinteraksi dengan kami. Walhasil, aku yang dengan kemampuan bahasa yang pas-pasan hanya mengangguk-angguk saja ketika beliau berbicara. Sedangkan teman-teman yang tinggal di kecamatan memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang cukup baik, malahan banyak di antara mereka adalah anak-anak tentara yang sama sekali tidak bisa bahasa aceh.

Selain Bu Nong, ada juga Bu Rohana yang rambutnya dikeriting. Saat itu rambut keriting memang sangat ngetrend lho, mamaku yang dulu sempat membuka salon selalu mendapat pelanggan yang hendak mengkriwil-kriwilkan rambutnya. Duh, aku paling benci saat-saat itu. Bau obat untuk membrekelekan rambut sangat menyengat. Ngga tahann…

Bu Rohana berasal dari Meulaboh, beliau sering banget pulkam. Jadinya kami ngga begitu dekat dengannya. Ada juga Bu Halimah. Ibu itu sedikit judes, jadi aku kurang menyukainya. Jadi di antara ke tiga guru TK ku itu, Bu Nong is the best..

Ada satu lagi nilai plus Bu Nong. Apakah itu ? Yupz, Bu Nong dengan senang hati selalu membelikan kue bakwan untuk kami. Pastinya setelah mengumpulkan Rp 25 dari setiap murid. Sebelum makan, ia selalu mengajak kami untuk berdoa bersama. “Allahumma bariklana fiimaa razaqtana waqina ‘aza bannar. Siapa yang ngga baca doa, maka dia makan ???”

“Pajoh jeen (makan setan) buuu,“ jawab kami serentak.

Ketika TK aku termasuk murid yang cuek. Teman-temanku cowok semua. Sering aku bersama Zul mengganggu murid-murid yang lemah. Pernah sekali kami menakut-nakuti anaknya Pak Camat yang mengalami retadarsi mental. Tanpa merasa bersalah kami usir dia dari tempat duduk yang menjadi daerah kekuasaan kami. Kemudian menakut-nakutinya dengan menarik bibir kami menyerupai monster berbibir besar sampai akhirnya dia ngga mau lagi masuk sekolah.

Karena sering bergaul dengan cowok, aku menolak langsung ketika Bu Rohana memintaku untuk menari dengan yang lain. “Han ek buk (ngga mau Bu) !!!” tolakku tegas lalu berlari keluar.

“Kalo ngga nari, kamu ngga bisa ikutan ke Sigli, Liza!” rayu Bu Rohana. Namun aku tetap ngga mau. Aku paling benci menari. Dan hanya merasa sedikit menyesal ketika Cut, teman yang rumahnya dekat dengan rumahku memamerkan fotonya ketika menari di Sigli. Egp eikkzzzz.

Ada beberapa nama teman-teman TK yang masih membekas di otakku. Seperti Zulfikar, Kak Rifka Junina, Nafsul Muthmainnah, Cut Rauzatul Jannah, Adi, Heri Finaldi, Irdawati, Fajar, Tina, Eric, Ayu, Maida, dan yang lainnya aku lupa. Aku tidak bersama mereka lagi ketika duduk di bangku SD kecuali Cut. Aku dimasukkan ke SD yang ada di desaku. Alasannya? “1. SD kecamatan jauh, 2. walaupun SD kampung, tapi kualitasnya cukup bagus.” Jelas papaku.

Follow Us @soratemplates