Kamis, 17 Juli 2008

# d' ArGuMenTatios # opini-opini seorang anak rimba

MEMULIHKAN PENDIDIKAN DI TANAH KELAHIRAN


Seorang bocah laki-laki berdecak kagum melihat pemandangan Banda Aceh setelah sekian lama ia tidak menginjakkan kaki ke Kutaraja ini, sejak bencana alam gempa dan gelombang tsunami di akhir Desember 2004 silam. Hari itu ia dibawa orang tuanya mengelilingi ibu kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bocah itu terharu, ternyata bencana tsunami membawa berbagai dampak bagi tanah kelahirannya itu. Bangunan-bangunan sekolah di tengah kota yang dulunya tidak membuatnya tertarik untuk sekedar berpaling, kini berubah menjadi megah. Sekolah-sekolah di pinggiran kota yang dulunya tak berbeda dengan rumah yang rewot, kini berdiri tegap dan indah. Wajah-wajah bule yang dulu hanya ia lihat lewat layar kaca, kini malah berlalu lalang di depan matanya. Sangat banyak perubahan yang terjadi di bumi Serambi Mekah ini sehingga membuat sang bocah merengek-rengek kepada ayahnya karena ingin dibawa berkeliling lebih lama lagi.

Memang begitulah kondisi Banda Aceh saat ini. bencana tsunami telah mengetuk hati setiap manusia untuk tidak tinggal diam dalam membenahi kembali Aceh yang telah porak-poranda. Bersama-sama melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah diterjang gelombang. Bantuan itu datang tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Masyarakat dunia telah terketuk hatinya terhadap musibah yang menimpa bumi Iskandar Muda.

Tiga tahun yang lalu tsunami melanda Aceh. Dalam kurun waktu tiga tahun itu pula Aceh mencoba berbenah. Dengan bantuan dari berbagai pihak yang tergabung dalam Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR), ADB, dan lembaga-lembaga bantuan lainnya, Aceh bangkit dari keterpurukan. Berbagai sektor dipulihkan kembali, diantaranya adalah sektor pendidikan.

Seperti yang kita ketahui bahwa perubahan zaman terus berlangsung menuju dunia global. Oleh karena itu, peran pendidikan sangat penting agar bisa menjawab tantangan dunia yang serba kompleks dan simultan. Dari hari ke hari masalah pendidikan semakin kompleks. Pendidikan memang masalah bangsa yang sangat serius. Ia membutuhkan bukan saja semangat, tetapi juga keikhlasan untuk menegakkannya.

Betapa pentingnya pendidikan. Namun, bencana tsunami telah merusak tatanan pendidikan kita. Gelombang dahsyat itu telah menghancurkan bangunan sekolah dan menelan nyawa guru serta pelajar yang jumlahnya tidak sedikit.

Memang, mendirikan sekolah dan menegakkan pendidikan jelas merupakan dua hal yang berbeda. Yang pertama bisa dilakukan oleh mereka yang bermodal. Sementara yang kedua, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki moral. Akan tetapi, dengan adanya modal dan moral tersebut dunia pendidikan akan semakin maju. Pendidikan memang soal intergritas yang dikelola secara bersama dan memiliki makna ketika ia bisa menyentuh orang sebanyak mungkin.

Dengan adanya bantuan yang berasal dari pemerintah Indonesia sendiri atau dari masyarakat internasional telah membawa angin segar terhadap pendidikan Aceh. Hal ini ditandai dengan direkonstruksinya bangunan sekolah, didatangkannya tenaga pengajar dari luar Aceh, diselenggarakannya berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar dan anak didik, serta bantuan berbagai peralatan dan perlengkapan belajar mengajar.

Rekonstruksi dan rehabilitasi tidak hanya dilakukan di daerah yang diterjang tsunami saja, tetapi juga di seluruh wilayah Aceh. Sekolah-sekolah yang telah usang ditelan usia juga ikut dibenahi. Begitu pula dengan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar juga turut melibatkan seluruh guru di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sarana dan prasarana yang mendukung lancarnya proses belajar mengajar juga diperbaiki.

Selain itu, masih banyak bantuan yang diberikan oleh lembaga-lembaga nasional atau internasional melalui badan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) terhadap pendidikan di Aceh, seperti pengiriman mahasiswa untuk belajar di universitas ternama di negeri ini atau bahkan keluar negeri, dan pemberian beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa.

Penandatangan perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2007 silam juga ikut membantu sektor pendidikan di Aceh. Seperti yang kita rasakan bersama bahwa selama konflik pendidikan di Aceh cukup terbengkalai. Banyak sekolah yang dibakar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Proses belajar tidak dapat terlaksana karena ada kontak senjata anatara kedua belah pihak, teror-meneror terjadi dimana-mana. Namun, setelah penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) tersebut situasi Aceh menjadi aman dan kondusif kembali. Hal ini tidak terlepas dari rahmat Allah Yang Maha Esa dan juga bantuan berbagai pihak baik nasional maupun internasional.

Penulis merasakan sendiri bahwa kehadiran lembaga-lembaga baik pemerintah atau non-pemerintah memberikan banyak dampak positif terhadap pemulihan kembali Aceh khususnya di bidang pendidikan. Semangat dan etos kerja yang ditunjukkan oleh staf lembaga tersebut membuat penulis semakin optimis terhadap pendidikan Aceh ke depan.

Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Dalam pelaksanaan rekonstruksi di bidang pendidikan ini masih terdapat banyak kekurangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak terjadi penyelewengan dana rekonstruksi oleh berbagai pihak. Seperti pada pembangunan sekolah. Banyak sekolah yang dindingnya kembali retak ketika gempa, cat di dinding mengelupas jika terkena hujan, atapnya bocor, dan lantai yang mudah retak.

Dalam pelaksanaan training terhadap tenaga didik, tidak semua guru mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kualitasnya. Beasiswa yang disalurkan sering tidak kepada pihak yang berhak mendapatkannya. Peralatan dan perlengkapan sekolah hanya bisa untuk beberapa kali pakai selebihnya menjadi rusak.

Penulis sendiri tidak bisa menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas penyelewengan ini. Praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme seolah telah menjadi kebiasaan sosial yang memang harus dilakukan. Manipulasi data telah menjadi pekerjaan. Ketika ada pihak yang berbuat jujur malah disalahkan. Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi.

Namun, penulis mengakui bahwa tidak semua pihak melakukan penyelewengan. Masih ada pihak-pihak lain yang masih terjaga dirinya dari perbuatan keji tersebut. Buktinya, masih banyak bangunan sekolah yang dibangun dengan bahan baku yang berkualitas, banyak korban tsunami yang tetap mendapatkan beasiswa pendidikan, begitu pula dengan tenaga pengajar yang mengikuti berbagai pelatihan yang menunjang untuk meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, mahasiswa dan guru yang dikirimkan keluar daerah atau keluar negeri untuk menuntut ilmu. Akan tetapi, ibarat kata pepatah gara-gara setitik nila rusak susu sebelangga.

Dengan kenyataan yang demikian, penulis mengharapkan agar berbagai pihak yang membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh untuk meninjau langsung ke lapangan untuk mengantisipasi kecurangan dan penyelewengan yang kerap dilakukan. Semoga ini menjadi batu loncatan kita bersama untuk menyadari bahwa rekonstruksi Aceh tidak hanya pada fisik saja tetapi juga pada mental dan moral rakyat Aceh. Ini semua dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates