Selasa, 17 Februari 2009

# d' ArGuMenTatios # goresan pena seorang LIZA

ZINDAGI MIGZARA

Zendagi Migzara. Sebuah kalimat yang mungkin ngga asing lagi di telinga kita. Namun, aku yakin, banyak diantara kita yang tidak tahu artinya. Aku juga ngga bakal tau artinya atau bahkan ngga tau kata-kata tersebut sebelum membaca novel karyanya Khaled Hoseini " The Kite Runner ". Sebuah novel yang menceritakan kisah hidup Amir di Afganistan. Oke, sebelum aku berkisah tentang Sang Pengejar Layang-Layang itu, biar ngga membuat semuanya bingung tentang arti ZINDAGI MIGZARA (kalo udah tahu diam aja yaaa,..hehhehe ini khusus untuk yang belum tau :)), pernah dengar Life Goes On? Atau Hidup Terus Berjalan? Nah itulah arti Zindagi Migzara.

Waktu luang ketika libur semester kali ini kumanfaatkan untuk bekerja dan membaca. Ada beberapa novel tergeletak di kamarku. Satu The Kite Runner yang kupinjam dari FLP dan satu lagi Dunia Bahagi yang kusewa disebuah taman bacaan. Sekarang aku akan menceritakan sedikit tentang The Kite Runner, sebuah novel dengan ketebalan 600an halaman dan kuhabiskan dalam waktu sehari.

The Kite Runner, Sang Pengejar Layang-Layang.

Novel ini merupakan karya pertama Khaled Hoseini tentang Afganistan (two thumbs for this novel). Memuat banyak filosofi kehidupan dengan penyampaian yang begitu mengalir dan tidak menggurui (kapan ya aku bisa seperti Agha Khaled?)

Berkisah tentang perjalanan hidup Amir sejak kecil hingga dewasa. Dengan seting Afganisatan sebelum, pada dan sesudah masa taliban. Amir bukanlah seorang anak pemberani dan mandiri ketika kecil, haus kasih sayang ayah yang sangat maskulin.

Banyak tingkah laku Amir ketika kecil yang terkadang kita juga sering melakukannya, membuat kita berkaca bahwa kita juga sering mnecuri. Mencuri. Satu-satunya bentuk kejahatan yang berulang-ulang disindir dalam buku ini.
"Semua sumber kejahatan adalah mencuri. Ketika seseorang berbohong, maka sesungguhnya Ia mencuri kesempatan orang lain untuk mendapat kebenaran,"
ucap Baba (ayahnya Amir) yang sering kali diingatnya.

Buku ini bercerita bahwa meski sederet dosa dilakukan, hal tersebut adalah sebuah kewajaran sebagai manusia, tak perlu menghukum diri seumur hidup dengan lari dari kenyataan sebenarnya. Amir melarikan diri dari rasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan Hassan, sahabat setianya. Terkadang Amir juga merasa iri dengan kasih saying yang diberikan Baba untuk Hasan, seorang anak pelayan, yang menurutnya sangat berlebihan. Namun akhirnya terungkap bahwa ternyata Hasan adalah saudara tirinya.

Namun kembalinya dia ke Afganistan (setelah 15 tahun menetap di Amerika sejak pecahnya perang Afganistan melawan Soviet)membuatnya harus melakukan perubahan besar terhadap dirinya sendiri. yaitu menebus rasa bersalahnya dengan menyelamatkan Shohrab, anak Hassan dari keganasan perang Taliban.

Ada beberapa pesan yang bisa kutangkap dari novel ini, salah satunya adalah
saat rasa bersalah menggerakkan seseorang melakukan kebaikan itulah penebusan dosa sejati.

Ayah Amir memang melakukan kesalahan dengan menutupi kesalahannya dengan menghamili Saunubar (wanita Hazara yang akhirnya dinikahi Ali), dan Hassan sebagai anak kandungnya. Namun dia berusaha menebusnya dengan mendirikan panti asuhan dan perbuatan amal baik. Karena toh..masa lalu tak akan bisa di ulang kembali.
Hal itulah pelajaran terakhir yang di pelajari Amir dari Ayahnya, dan dia meneruskannya dengan jujur pada dirinya sendiri.

Jujur, ketika membaca buku ini aku menangis. Ketika Khaled menggambarkan bagaimana kepengecutan Amir yang rela membiarkan Hassan sahabat sejatinya diperkosa di depan matanya. Dan kelakuan Amir yang menuduh Hassan sebagai pencuri dengan tujuan agar diusir dari rumahnya.

Selain itu, gambaran kekejaman taliban, ketika Amir kembali ke Afganistan, sangat menyedihkan. Perbandingan antara gambaran Afganistan di masa kecil Amir, dan ketika masa Taliban, membuat pilu.
bagaimana bisa sebuah motivasi untuk menegakkan agama yang Rahmatan alamin bisa begitu penuh darah. . Menghacurkan peradaban dengan sehancur-hancurnya

The Kite???
Pengejar layang-layang adalah garis merah dalam cerita ini. Budaya bermain dan mengejar layang-layang adalah simbol dimana suatu masa, Afganistan tidak memperdulikan ras dan agama, syiah atau sunni, tetapi hanya sebuah kebersamaan, kegembiraan. Sebuah masa dambaan seorang Amir...dan kupikir juga masa-masa yang didambakan banyak orang.

10 komentar:

  1. salam kenal,trims.

    BalasHapus
  2. novel ni udah difilmkan juga za..
    ijal belum pernah baca novelnya tapi udah nonton filmnya..

    Baba (Ayah Amir) memang beda, ia memang tak pernah mencuri tapi tidak shalat dan suka minum minuman keras..menurut dia slama tidak mencuri..tidak ada masalah..

    sedikit banyak film ini mengkritik islam juga (terutama islam ala thaliban afganistan)

    ya..kedamaian, kerukunan, kebahagiaan mgkn itulah nilai yang ingin ditularkan pada dunia lewat novel ini..

    BalasHapus
  3. Afganistan, negara yang tercabik perang...
    Sumber roamtika kehidupan anak manusia

    BalasHapus
  4. Kok dmata dan telinga gw masih asing asing ya tentang ZINDAGI MIGZARA, apa karena gw masih Gaptek

    BalasHapus
  5. Wow...sebuah novel yang luar biasa yang patut dibaca dan dimiliki....Thanks banget atas sharing dan Infonya nona Liza

    BalasHapus
  6. Oh ya...yang lebih luar biasa lagi yang review novel ini...saya harus belajar banyak ama Cut Kak Liza

    BalasHapus
  7. @ for All : ijal bener bgt,..ada beberapa hal yang cukup menggelitik jika dipautkan dengan islam,.. So, silakan baca novelnya,..dijamin sangat mengharu biru

    BalasHapus
  8. Afganistan yang dalam kemelut konflik ternyata menyimpan banyak cerita...

    thx ya Liza :)

    BalasHapus
  9. Judul postingan droe neuh....mengingatkan long akan bahasa India Zindegi Pyar Keh Ti Hay.... :)

    BalasHapus
  10. It's a nice blog. Salam kenal ya....

    BalasHapus

Follow Us @soratemplates