Tanpa terasa sudah seabad Cut Nyak Dhien, salah satu pahlawan perempuan asal Aceh meninggalkan dunia ini. Sebagai bangsa yang besar dan merhargai jasa pahlawannya, tentu peringatan 100 tahun wafatnya Cut Nyak Dhien menjadi sebuah momentum tersendiri untuk mengingatkan kita akan peran dan perjuangan yang beliau lakukan sepanjang hayatnya. Dengan merefleksikan peran dan perjuangan Cut Nyak Dhien harusnya semakin menyadarkan besarnya peran yang dapat di emban oleh kaum perempuan dalam perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Sosok yang dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang wilayah VI Mukim pada tahun 1848 itu dikenal sebagai wanita yang memiliki watak yang keras, berani, tegar, mandiri, dan visioner. Sifatnya yang keras terlihat dari kata-katanya ketika Belanda di bawah pimpinan Kohler berhasil menguasai dan membakar Mesjid Raya Baiturrahman : “Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan lah atu sebab mengapa tentara Belanda harus mengalami perang berkepanjangan. Zentgraaf yang berkebangsaan Belanda itu tidak memuji Jenderal Kohler, Schmidt, dan beberapa jenderal Belanda lainnya yang pernah bertugas di Aceh. Ia sangat memuji keperkasaan Cut Nyak Dhien dan pahlawan perempuan Aceh lain yang pernah memebuat tentara Belanda gemetar.
Perempuan Aceh Dalam Konteks Kekinian
Perempuan pada saat ini diharapkan sebagai sosok yang berpendidikan, berkualitas moral dan akhlak yang tinggi dan mulia. Rasulullah SAW mendudukkan perempuan ke tingkat yang mulia sehingga diharapkan karyanya mensejahterakan bangsa dan negara. Perempuan adalah tiang negara. Apabila ia baik maka baiklah negara dan apabila ia buruk maka hancurlah negara. Oleh karena itu, sejauh mana perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berperan aktif, apakah sebagai pekerja sosial, tokoh pendidikan, atau bahkan penegak hukum, tokoh politik, dan jajaran pemerintahan, sejauh itulah perempuan memiliki eksistensi sebagai pilar- pilar negara sehingga keberadaannya dianggap penting di setiap segi kehidupan bangsa dan negara.
Tidak dipungkiri bahwa dalam membedakan sosok perempuan, khususnya perempuan Aceh pada masa penjajahan dengan sekarang adalah perkara yang tidak gampang. Arus westernisasi belumlah berkembang pada zaman Cut Nyak Dhien menghadang Belanda. Suasana yang perjuangan menghadapi penjajah menjadi lahan yang subur untuk melahirkan para pionir. Dalam suasana perang, setiap saat semangat wanita Aceh bisa saja berkobar
Sedangkan pada era sekarang ini yang terjadi malah sebaliknya. Pada zaman yang semakin mengedepankan demokrasi dengan nilai-nilai keterbukaan dan kebebasan serta memberikan peluang yang besar bagi perempuan dalam menciptakan perubahan-perubahan di masyarakat menjadi lebih besar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.menjadikan kaum hawa ini terjebak dalam perangkap modernitas yang mengedepankan tampilan luar dan melupakan nilai-nilai dasar yang lebih esensial. Hal inilah yang menurut amatan penulis melanda Aceh saat ini, terutama pada kaum muda.
Namun demikian, keterbukaan dan kebebasan bukan hal untuk ditolak, tetapi kita harus mengupayakan agar keterbukaan dan kebebasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri. Sehingga dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Dalam konteks kekinian, hal ini tentunya menjadi sesuatu tantangan besar bagi perempuan Aceh dalam memanage keterbukaan dan kebebasan yang dimiliki oleh Aceh saat ini agar dapat dimanfaatkan ke arah yang baik. Kecenderungan sebagian perempuan muda Aceh saat ini yang lebih senang menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat (seperti jalan-jalan atau nongkrong di café) harus diarahkan kepada sesuatu yang mampu memberdayakan diri mereka dan juga memberdayakan masyarakat sekitarnya.
Suatu hal yang juga perlu diintropeksi oleh para perempuan Aceh adalah ketika masih banyak partai di Aceh yang belum mampu memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif. Padahal era keterbukaan dan kebebasan ini seharusnya menjadi momentum bagi perempuan Aceh untuk lebih aktif dan partisipatif dalam dunia perpolitikan.
Mari kita melihat kilas balik perjuangan Cut Nyak Dhien dan pejuang perempuan lainnya di Aceh yang telah mampu membuktikan bahwa perempuan Aceh juga memiliki potensi untuk berperan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan hal ini telah berlangsung jauh sebelum perang meletus. Pada tahun 1641-1675 M, kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Ratu Safiatuddin, putri Sultan Iskandar Muda yang menjadi wanita Aceh pertama yang pengangkatannya menjadi ratu didukung oleh ulama terkenal, Syaikh Abdurrauf Singkel atau Syiah Kuala. Selama tiga periode berikutnya (1675-1699 M), Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamalat, berturut-turut menjadi pemegang tampuk tertinggi kerajaan Aceh. Kajayaan, kemakmuran, dan rasa segan bangsa lain terhadap kerajaan Aceh yang dipupuk oleh Sultan Iskandar Muda, tidak pernah luntur, saat Ratu mengambil alih kepemimpinan. Ini membuktikan bahwa kecakapan dan peran penting wanita Aceh dalam masyarakat.
Dari segi keagamaan, Cut Nyak Dhien telah membuktikan bahwa anggapan seorang Indologis Jerman Moriz Winternitz yang dikutip dalam buku The Tao of Islam, tentang perempuan selalu menjadi sahabat agama, namun agama tidak pernah menjadi sahabat perempuan yang dipahami oleh Moriz Winternitz sebagai sebuah gugatan terhadap ajaran agama yang tidak simpatik terhadap perempuan sementara perempuan telah bersikap sesimpatik mungkin terhadap agama merupakan sesuatu yang salah. Cut Nyak Dhien membuktikan bahwa perempuan dapat berperan lebih dalam masyarakat dengan tetap menjaga nilai-nilai Islam yang dianutnya.
Pemahaman seperti inilah yang seharusnya juga dicontoh oleh generasi muda perempuan Aceh. Generasi muda perempuan Aceh harus berperan lebih besar dalam masyarakat dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman yang dianut. Hal ini dibarengi juga dengan semangat juang yang tinggi untuk berbuat dan berperan dalam masyarakat. Seperti semangat perjuangan yang dicontohkan oleh Cut Nyak Dhien dan pejuang perempuan Aceh lainnya ketika melawan Belanda. Tentunya semangat perjuangan tersebut harus dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian, dimana tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dengan saat masa perjuangan dahulu. Kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan lain sebagainya tentunya menjadi musuh besar yang harus diperangi untuk saat ini.
Mengasah Kembali Semangat Cut Nyak Dhien
“Wanita adalah penjaga nyawa Aceh,” ucap mantan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Sebagai penjaga nyawa, peranan perempuan Aceh baik yang tercatat atau tidak tercatat dalam sejarah telah mereka buktikan sejak zaman Iskandar Muda sampai Cut Nyak Dhien.
Momentum 100 tahun wafatnya Cut Nyak Dhien, tentunya menjadi sebuah harapan untuk lahirnya kembali Cut Nyak Dhien-Cut Nyak Dhien baru yang tentu saja tidak menggunakan rencong sebagai alat perjuangan, melainkan kecerdasan, semangat leluhur, dan sikap budaya yang islami, untuk merubah rahmat menjadi nikmat. Munculnya Cut Nyak Dhien baru diharapkan nantinya akan mendorong lebih banyak perempuan Aceh yang berperan dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, militer, hukum, pemerintahan dan lain sebagainya.
Harapan untuk muncul Cut Nyak Dhien baru tersebut tentunya berada di pundak perempuan muda Aceh. Kenapa perempuan muda Aceh? Karena merekalah yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan yang telah dilaksanakan oleh para pendahulu. Sejarah juga telah membuktikan bahwa kaum muda selalu menjadi motor perubahan di berbagai belahan dunia. Kaum muda muncul sebagai kekuatan pendobrak yang melahirkan perubahan.
Gerakan pembebasan nasional di Turki, di awali oleh kebangkitan kaum muda yang membangkitkan nasionalisme Turki tahun 1889. Di Eropa, kondisi kehidupan pekerja yang sangat buruk di masa awal sistem kapitalisme pada masa revolusi industri, membangkitkan aliansi pekerja muda dan mahasiswa dalam gerakan menuntut pemberlakuan 8 jam kerja sehari, dan penghilangan bentuk kekerasan terhadap pekerja. Bahkan sekarang, di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia kebangkitan perlawanan rakyat berdampingan dengan kebangkitan kembali kaum muda. Kaum mudalah, di barisan terdepan dalam penolakan UU Kontrak Kerja Pertama (CPE) di Prancis, atau perlawanan terhadap rasialisme di Amerika yang semakin intensif hari ini. Semua itu adalah gejala sekaligus pembuktian bahwa sebenarnya kaum muda memiliki potensi besar untuk berperan dalam menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik.
Aceh yang dalam proses transisi pascakonflik tentunya membutuhkan energi besar. Perempuan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan juga seharusnya dapat memberikan andil yang besar dalam proses tersebut. Tentunya dengan kolaborasi yang cantik dan apik dengan kaum laki-laki. Seperti Cut Nyak Dhien yang selalu mendukung dan memberikan semangat semasa hidup suaminya Ibrahim Lamnga dan semasa hidup Teuku Umar. Begitu pula dengan Teuku Umar yang mengijinkan dan menyemangati Cut Nyak Dhien untuk ikut berjuang. Aceh butuh ribuan Cut Nyak Dhien baru yang bisa menggantikan semangat rencong dengan semangat pena dan membawa Aceh menjadi lebih baik pada masa yang akan datang.
dimuat di www.acehinstitute.org
Minggu, 23 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
senang bisa nulis bareng :)
BalasHapusmdh2an nanti kita bisa nulis bareng lagi ya..