Selasa, 29 Juli 2008

SKENARIO BERDARAH

Malam kian larut. Sinar purnama mengalahkan redupnya lampu pijar. Suara anjing melengking seperti mengabarkan kesedihan yang kelam. Si jangkrik menangis tersedu. Air sungai gemericik mengenai bebatuan, menegakkan bulu roma. ' Inilah saat yang tepat,' batinku. Semua penduduk desa agaknya telah dibuai indahnya bunga mimpi. Jabang bayi yang baru saja keluar dari perutku, telah kubungkus dengan kain lusuh emakku. Ada iba menyelinap di hati, namun, segera ku tepis rasa itu setelah mengingat penderitaanku selama ini. Bagaimana pun jabang ini harus segera kulenyapkan. Bagiku ini bukan persoalan sulit. Sungai curam di bawah sana akan menelannya bersama gelap malam. Kusibak tirai hitam jendela rumah. Seminggu lalu aku bersama emak pindah kemari untuk menghindari ejekan tetangga yang risih melihat kehamilanku. Kulihat purnama tersenyum padaku. Kunang-kunang seperti tak sabar menunggu. Kelelawar pun melengking seperti memanggilku. ' Minah, cepat! ' Kelelawar terbang menuju jendela. ' Baiklah,' bisikku meneguhkan hati. Aku harus segera pergi.

Bau amis darah jabang bayi ini lama-lama bisa menyebar ke seluruh ruangan. Pasti emak akan terbangun dengan bau yang menyengat ini. Hidungnya sangat peka. Kuambil jabang itu. ' Aduuuuuuuh, perutku terasa perih. ' Darah mengalir dari balik rok hitamku. Segera kuoleskan ramuan minyak tanah yang dicampur irisan bawang merah ke atas perutku yang tidak lagi buncit. Dengan langkah pelan, aku membuka pintu belakang rumah. Aku tidak ingin skenario yang telah kususun rapi, gagal. Kupacu langkahku, karena segala sesuatu di luar perkiraanku bisa terjadi malam ini. Seperti merambat, aku beringsut menuju sungai. Tidak kuhiraukan nyeri di perut yang semakin menjadi. Kunang-kunang, kelelawar, dan purnama tetap setia menemaniku. ' Oh, alangkah setianya engkau wahai penjelajah malam, ' pujiku. Namun, jantungku berdegup kencang saat mendengar raungan anjing liar seperti suara wanita menangis pilu. Kupercepat langkahku. Rasanya anjing liar itu semakin mendekat ke arahku. Ah, itu tidak masalah. Barangkali ia hanya melihat makhluk halus yang juga mengiringi langkahku. ' Jangan takut Minah, makhluk halus itu takkan mengganggu skenariomu. Yakinlah, mereka akan melindungimu, ' hiburku pada diri sendiri. Anjing liar itu mengikutiku, menjilat-jilat darah yang mengalir dari tubuhku dan jabang ini. ' Hush...hush...hush,' usirku. Namun, dasar binatang. ' Menjauh dariku! ' ulangku. Binatang itu bergeming. Kuambil sebuah batu dan melemparinya, tapi tak berkutik. Oh, aku baru ingat. Anjing ini pasti mencium bau amis darah dan bangkai jabang bayi. Konon, kata Bu Naili, guru Biologiku, ' Anjing merupakan binatang yang memiliki penciuman yang sangat tajam terutama bau amis darah.' Mengapa tidak kubagi-bagikan saja orok ini. Sebagian untuk binatang sungai dan sisanya untuk anjing liar. Cukup adil, bukan? ' Tapi, bagaimana caraku membagikannya? Aku tak punya pisau. Ah, ku lemparkan saja semuanya untuk anjing. Pasti ia akan sangat senang.' Aku puas melihat jabang bayi dimakan anjing dengan lahap 'Aup...aup...aup,' bunyi mulutnya.

Entah apa yang terjadi kalau aku tetap mempertahankan jabang ini. Pasti hidupku akan semakin menderita. Betapa tidak, jabang itu ada di perutku bukan karena kehendakku. Malam itu sekelompok lelaki kekar dengan wajah bertopeng memasuki rumahku dengan paksa. Seluruhnya diobrak-abrik. ' Jangan! Jangan lakukan itu! ' Namun, telinga mereka seakan telah disumbat. Tanpa sedikit pun kata-kataku mereka pedulikan. ' Kau diam saja anak manis,' Mereka menuju ke arahku dan menanggalkan seluruh pakaianku. Aku tak kuasa memberontak. Mereka sangat kuat untuk dilawan. Mereka bagaikan setan-setan yang kehausan darah. ' Tidaaaak!!! ' mereka telah mengambi keperawananku. Lalu hilang tak tahu arah. ***.

Seminggu setelah kejadian malam itu, perutku sering mual. ' Minah, bunting! ' kata-kata itu keluar dari mulut teman-temanku. Awalnya aku tidak ambil pusing dengan tuduhan tanpa bukti yang jelas itu. Mual bisa disebabkan masuk angin. Namun, tuduhan mereka akhirnya terbukti setelah bu Nailil menyuruhku untuk mengeceknya dengan alat pengetes kehamilan. Dunia seakan berhenti berputar. Langit seakan runtuh dan menimpaku sehingga aku tak berdaya. Hasilnya positif, tapi tak seorang pun boleh mengetahuinya termasuk emak.

***

Sepandai-pandai menyimpan bangkai akhirnya tercium juga baunya. Beginilah perumpamaan kisah hidupku. Bukan hanya emak yang mengetahui kehamilanku, tetapi seluruh penduduk kampong. Berhenti sekolah dan mendekam di rumah. Itu keputusanku. Terserah apa kata orang yang penting aib ini tidak boleh dilihat siapapun. Jabang ini saban hari semakin besar di perutku. Aku tidak mau benih yang telah menghancurkan masa depanku tetap bertahan di salah satu bagian tubuhku. Aku akan menggugurkannya. Ya, aku harus menggugurkannya. ' Jangan Minah! Jangan lakukan hal yang sangat berdosa itu. Emak tidak mau kamu menjadi pembunuh.' ' Tidak mak. Bayi ini telah menimbulkan aib bagi keluarga. Ia juga telah menghancurkan masa depanku.' Air mata bercucuran keluar dati mata emak. Wanita itu baru kali ini kulihat menangis setelah kematian ayah tujuh tahun silam. ' Mak! Maafkan Minah, bukan maksud Minah menyakiti hati emak. Anak di rahim Minah ini adalah anak haram, mak! ' kurebahkan tubuhku kepangkuan wanita yang sangat mulia ini. Dibelainya rambut kusamku dengan lembut. ' Bayimu itu tidak berdosa, Minah. Orang yang telah menghamilimu itulah yang sangat berdosa,' jelasnya pelan. ' Maksud emak? Emak tahu siapa yang telah menanam benih di perut ini? ' ' Mak tidak tahu, tapi emak yakin itu bukan dari hasil perzinaan seperti yang dikatakan orang-orang kampung. ' Berzina? Sehina itukah aku di mata orang-orang? Lagi-lagi karena jabang ini. Oh Tuhan, sampai kapan jabang ini akan terus mengusik hidupku? Percuma saja aku mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada yang percaya kecuali emak. Aku sekarang menunggu diusir saja dari tanah kelahiranku ini kalau tidak menggugurkan bayi di rahimku secepatnya. ***

' Kalian harus segera pergi dari kampung ini. Saya tidak mau kampung ini tercemar oleh anak haram yang dikandung si Minah,' ucap Pak Amin, pemuka adat di kampong. Mengapa kau tak puas-puas mengganggu hidupku, bayi jahanam! ' Mak lihat sendiri kan betapa banyak bencana yang telah didatangkan bayi ini? ' tanyaku pada emak seraya menuduhnya telah melarangku menggugurkan jabang laknat ini. ' Sekali lagi Mak bilang, Minah. Bayi di kandunganmu tidak bersalah sama sekali. Nasiblah yang telah membuat kita begini. ' Aku harus pergi dari kampung halamanku. Sangat berat rasanya, tapi jabang bayi ini tidak merasakan sedikit pun dampak yang ditimbulkannya. Ia tenang saja di perutku. ' Kita akan pindah ke rumah almarhum kakekmu di kampung sebelah, Minah, ' jawab emakku setelah ku tanyakan dimana kita akan melangsungkan hidup nantinya. Rumah kakekku lumayan jauh dari kampung tempat tinggalku sekarang. Sebuah rumah yang letaknya di ujung desa yang dekat dengan sebuah sungai dan kebun penduduk. Aku pernah sekali ke sana, saat aku berumur tujuh tahun, sepuluh tahu yang lalu. Kakekku memang hebat. Rumahnya dibangun sangat strategis untuk melancarkan skenarioku. Aku sangat senang bermain ke sungai. Tidak peduli dengan penduduk kampung yang merasa aneh melihat tingkahku. Apa urusanku, hah! Di sungai aku bisa berbagi rasa dengan binatang-binatang air, mereka sangat memahamiku lebih dari siapapun. Ikan-ikan mengulurkan senyum kepadaku. Enceng gondok melambai-lambaikan tangannya ke arahku. ' Tenanglah wahai makhluk air, sebentar lagi kalian akan merasakan sebuah kenikmatan yang tiada taranya. ' Ikan-ikan kecil pun tertawa dengan gembira mendengarkan janjiku. Alangkah senangnya hatiku. Sudah seminggu aku tinggal di rumah baruku. Tidak ada yang mau bergaul denganku. Mereka terlau sinis memandangku, untungnya mereka tidak mengusirku seperti orang di kampungku dulu. Mereka sangat menghormati alamarhum kakekku. Hal ini aku ketahui dari sikap mereka yang sangat senang menerima kehadiran emak dan aku. Namun, semua itu hanya berlangsung sementara.

Apalagi setelah mereka ketahui kalau aku hamil di luar nikah. Tepat tiga bulan jabang ini membuat perutku bunting. Sangat menyiksaku. Aku tidak bisa menolong emak bekerja. Andai saja emak setuju dengan keinginanku, pasti hidup kami tidak akan semenderita ini. Aku bisa tetap sekolah dan meraih cita-citaku mejadi ahli pertanian. Tentunya itu akan sangat membantu emak dan mungkin seluruh masyarakat di desaku yang bermatapencaharian sebagai petani. Semua harapanku sirna gara-gara jabang bayi ini. Oh, semuanya karena jabang ini. Kapan ia akan berhenti mendatangkan mendatangkan petaka bagiku? Pertanyaan yang amat konyol, aku sadar itu. Ia akan terus menghantui hidupku sampai akhirnya aku mati. Aku tidak bisa menunggu lama lagi. Aku harus cepat mengambil keputusan untuk menggugurkan jabang bayiku! Aku tahu emak semakin curiga dengan tingkahku. Tetapi aku sangat hebat, semua orang pun tahu. Aku sangat lihai dalam menyembunyikan perasaanku. ' Minah, katakan sejujurnya pada emak! Memang dari dulu emak tidak pernah menanyakan hal ini kepadamu. ' ' Kenapa emak mengungkit lagi masa laluku? ' ' Apa maksud, Mak? ' tanyaku pura-pura tidak mengerti. Aku pun mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin mendengar nasihat emak yang akan membuat niatku tidak kulaksanakan. Nasihatnya sangat menyentuh di hatiku. Aku bertanya tentang segala hal yang ku anggap penting untuk lancarnya skenarioku. ' Mak, warga disini sering tidak keluar di malam hari? ' ' Desa ini kalau malam tidak ada seorang warga pun yang berani keluar rumah. Selain karena situasi yang tidak memungkinkan, mereka juga percaya pada hal-hal yang berbau mistik. ' Wajahku kembali bersemangat.

Aku bisa melenyapkan jabang bayi ini tanpa ada yang menghalangiku. Aku bergegas menuju warung yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Membeli obat penghilang rasa nyeri saat haid, itulah tujuanku. Aku yakin dengan mengkonsumsi obat tersebut bisa menyebabkanku keguguran. Aku berhasil membelinya tanpa kecurigaan dari siapapun. Kutelan lima belas butir dari obat itu. Aku ingin bayi itu cepat-cepat lenyap dari perutku. Tidak kuhiraukan lagi dampak yang ditimbulkan dari meminum obat sebanyak itu. Yang kuinginkan saat ini adalah satu, skenarioku berjalan lancer. ' Aku berhasil! ' teriaku pada diri sendiri. Aku telah melenyapkan jabang ini. Penderitaanku akan segera berakhir, dengan habisnya jabang itu ditelan anjing liar. Perutku semakin perih. Nyeri di perutku membuatku tidak sanggup berlama-lama berdiri untuk menikmati nikmatnya anjing itu melahap jabang bayiku. Pohon bambu yang sangat rimbun menjadi sasaranku. Aku merebahkan tubuhku di bawahnya. Sangat perih. Tubuhku merinding bahkan menggigil hebat. Sangat banyak darah yang keluar dari rahimku. Ini untuk yang terakhir kalinya jabang ini membuatku menderita. Setelah ini tak ada lagi penderitaan yang akan menghantui hidupku. Biarpun merupakan penderitaan yang paling hebat yang pernah aku alami selama mengandung, tapi tak seberapa dibandingkan dengan penderitaan yang ku alami bersama emakku. Perutku semakin berputar-putar, menjadikanku tak berdaya. Kunang-kunang memohon izin dariku. Kucoba melarangnya, tapi ia terus saja pergi. Suara ayam berkokok mulai terdengar di telingaku ' Sudah pagi rupanya. ' Gemercik air sungai membuat tubuhku semakin merinding. Perih. Aku tak sanggup bertahan lagi. Kupejamkan mata, ingin memimpikan sesuatu yang indah tetapi sia-sia. Tangisan bayi seakan menyumbat telingaku. Mustahil jabang bayiku menangis. ' Mustahil ia menangis. Jabang bayiku telah lenyap dari muka bumi ini,' hiburku pada diri sendiri. ' Pasti itu suara setan yang sedang menjerit-jerit.' Suara itu semakin menyiksaku, ' Tidaaaaaaaaaaaaaak! Pergi kau dari sini! ' usirku pada suara-suara itu. Namun, aku tidak didengarkan. Perutku semakin perih dibuatnya.' Mengapa kau menggangguku? Apa salahku? ' aku bertanya pada siapa? Entahlah, aku tidak tahu sedang berbicara dengan siapa. Dengan jabang bayi itukah? ' Tidak mungkin Minah, ' jelasku pada tubuh yang telah berlumuran darah ini. ' Jadi aku sedang berbicara dengan siapa? Jawab! Dengan siapa? ' Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Kupaksakan tubuhku untuk berdiri dan mencari siapa yang telah menggangguku. Aduh ....,aku tak sanggup. Kakiku terlalu lemah untuk menompang tubuhku. Sakit, perih, ....tapi aku bahagia skenarioku telah berhasil kulaksanakan.

1 komentar:

  1. wuih keren keren....gak rugi anggota lingkar pena;)

    BalasHapus

Follow Us @soratemplates