Kamis, 07 Mei 2009

# d' ArGuMenTatios

KEMELUT DAN AIR MATA

Mengapa harus dengan letupan senjata
Kalau kau ingin menghapus air mata?
Mengapa harus dengan aliran darah
Kalau kau ingin membasuh luka lara
Mengapa?
Mengapa?
Tanyaku pada malam yang tak lagi hening
Mengapa?
Mengapa?
Tanyaku pada subuh yang tak lagi teduh


( Lueng Putu, 2003)
Sepenggal sajak di atas adalah kenangan yang masih tersimpan rapi di buku catatan harianku tentang pancarian jawaban terhadap kemelut yang melanda Tanah Rencong beberapa dasawarsa lalu.

Tak ada akhir yang indah dari sebuah kemelut. Peperangan, pertumpahan darah, kemiskinan, ketakutan, kebencian, kematian, dan air mata. Semua bercampur menjadi sebuah buku kehidupan yang tak ingin dikenang. Namun, perselisihan antar umat manusia seolah tak akan pernah lenyap dari muka bumi ini, meskipun pertentangan terhadapnya selalu digemparkan. Konflik, begitu orang-orang menyebutnya. Dan Serambi Mekahku juga tak luput dari konflik tersebut.

Ketika aku masih kecil, aku tidak mengerti mengapa kaum lelaki dari desaku berbondong-bondong menuju markas TNI. Aku sama sekali tidak tahu arah pembicaraan mereka. Sesekali di tengah perjalanan, aku mendengar makian dalam bahasa Indonesia. Aku dan ibu yang saat itu sedang membeli obat nyamuk di kios yang letaknya sekitar 50 meter dari rumah bergegas pulang. Aku tidak paham, kenapa ibu terburu-buru.

Keesokan harinya para istri dari suami yang dibawa aparat pada malam itu dan para ibu dari anak lelaki yang di juga ikut serta bersama rombongan menangis histeris. Aku hanya bisa melihat iba, tanpa tahu apa maksudnya.

Pertengahan tahun 1998, seluruh penduduk Tangse-sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie-diwajibkan mengungsi. Semua sangat tiba-tiba. Tak ada yang tahu pasti siapa yang menyuruh kami mengungsi. Aparatkah? Atau GAM? Atau hanya sebuah “kabar burung” yang tidak tahu dari mana asalnya karena beberapa desa lain di “Kota Dingin” itu telah mengungsi lebih dahulu.

Mengapa harus mengungsi? Tanyaku pada ibu. Sepengetahuanku desa Pulo Mesjid II, tempat tinggalku tidak mengalami keributan seperti di desa-desa lain. Aman-aman saja.

Aku sangat kasihan melihat ibuku saat itu. Setahun yang lalu, bapak telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa karena penyakit kencing manis yang dideritanya. Dan sekarang dalam situasi yang rumit, ibu harus mengurus kepergian, tepatnya pengungsian kami seorang diri. Tak ada saudara yang datang membantu, apalagi menawarkan tumpangan untuk kami. Semua nafsi-nafsi.

Sedih rasanya, sampai-sampai ibu ingin tetap saja tinggal di desa. “Biarlah Allah yang menjadi penolong kita kalau nantinya terjadi sesuatu,” desisnya. Namun, akhirnya kami tetap ikut mengungsi. Ternyata ditengah kemelut itu masih ada manusia yang prihatin terhadap kami dengan memberikan tumpangan di mobilnya.

Tangse begitu sepi kala itu. Hanya ada beberapa mobil patroli polisi yang terlihat. Padi di sawah yang telah menguning dan siap panen harus ditelantarkan begitu saja oleh pemiliknya menjadi pemandangan yang mengiris hati. Betapa tidak, padi di sawah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat harus ditinggalkan untuk sebuah pengungsian yang tidak jelas alasannya. Bau bangkai hewan ternak begitu menyengat hidung dan tak bisa dielakkan selama perjalanan.

Tanah kelahiranku telah disulap menjadi kota mati. Tak ada riuh dan tawa. Hanya ada kesunyian dan ketakutan yang sangat mengganggu jiwa.

Di sebuah Meunasah Kecamatan Beureunun yang jaraknya memerlukan waktu 1 jam lebih dari Tangse kami mengungsi. Tak ada kenikmatan di pengungsian, semua serba darurat. Nyamuk yang bagaikan bala tentara di medan perang, penyakit-penyakit yang mewabah akibat sanitasi lingkungan yang tidak bersih. Dengan makanan ala kadarnya yang terkadang musti mengharap belas kasihan penduduk sekitar. Tidak ada hal indah yang layak dicatat dalam memori saat-saat di pengungsian, terlebih lagi di pengungsian yang tidak jelas alasannya kenapa.

Karena keamanan yang tidak kondusifkah ? Tapi mengapa penduduk yang berasal dari kecamatan tetangga bisa dengan leluasa menjarah hasil bumi tempat tinggal kami dengan leluasa? Mengapa mereka tidak terbunuh kalau memang tempat tinggal kami tidak aman?

Aku yang waktu itu baru saja naik di kelas enam sekolah dasar tidak tahu harus melanjutkan sekolah dimana, begitu juga dengan yang lainnya. Pegawai-pegawai kantoran terpaksa libur karena ikut juga mengungsi. Para pedagang dan petani tak bisa membanting tulang seperti biasa.

Akhirnya, setelah kurang lebih tiga bulan hidup di pengungsian yang tidak jelas ujung pangkalnya membuat masyarakat kampungku nekad kembali ke rumah masing-masing. Kalaupun harus meninggal di ujung senapan, mereka sudah pasrah. Semuanya diserahkan kepada Sang Pemilik alam semesta.

Dua tahun setelah di pengungisian, tepatnya tahun 2000, aku melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Dayah Jeumala Amal, Kecamatan Lueng Putu, Pidie Jaya. Konflik bersenjata masih saja berlangsung, malah kian menjadi-jadi. Apalagi setelah dilaksanakannya pawai besar-besaran untuk menuntut referendum Aceh. Keberadaan kaum adam di rumah membawa ketakutan tersendiri. Mereka yang tidak berkerja di kantor pemerintah dicurigai sebagai pemberontak oleh aparat keamanan. Dan yang menjadi abdi negara dianggap sebagai pecundang oleh GAM dan kerap menjadi sasaran pemerasan.

Hanya saja semua dampak konflik waktu itu tak kurasakan secara langsung. Di keluargaku hanya adikku yang laki-laki sehingga tak ada yang menjadi sasaran kecurigaan baik dari aparat atau pun GAM.

Awal tahun 2003, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang kini menjabat sebagai Presiden RI, memutuskan untuk menetapkan status Aceh menjadi Daerah Darurat Sipil, sebuah peralihan dari status Darurat Militer karena perjanjian gencatan senjata antara TNI dan GAM tak jua terlaksana. Zona-zona aman yang disepakati tetap saja dilanggar oleh kedua belah pihak.

Tidak ada perbedaan antara Darurat Sipil dan Darurat Militer ini. Cuma nama saja yang berbeda, konflik tetap saja berlangsung dan seakan tak akan pernah ada ujung pangkalnya.

Saat itu aku sedang duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah Dayah Jeumala Amal. Sebuah dayah (pondok pesantren) yang dibangun tepat di pinggir jalan menuju Banda Aceh-Medan. Di seberangnya terdapat kantor-kantor pemerintahan yang telah dialihfungsikan menjadi markas aparat. Di belakang dayah, terdapat perkampungan penduduk yang sering dilewati oleh GAM.

Maka di masa itu, jadilah dayah kami sebagai benteng perperangan antara aparat dan GAM. Setiap saat semua santri harus bersiap siaga kalau saja terjadi kontak senjata. Tiarap dimana saja kami bisa untuk menghindari timah panas yang tak mengenal siapa sasarannya.Tidur malam tak lagi nyenyak seperti biasa. Proses belajar mengajar hanya formalitas semata. Kehidupan berlangsung seadanya saja. Karena rasa was-was telah meracuni jiwa.

Pada hari pelaksanaan Ujian Akhir Nasional, kontak senjata menyambutnya bagaikan pesta tahun baru yang sangat meriah. Lembaran-lembaran kertas ujian tetap kuisi sambil tiarap di tengah-tengah peluru yang berterbangan. Pecahan kaca jendela, membuatku dan teman-teman menjadi khawatir, tapi semangat kami tetap menyala. Ujian tetap berlangsung.

Detik-detik terakhir keberadaanku di dayah begitu hampa. Tak ada pesta perpisahan yang mengiringi kepergianku dan santri lain seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Hanya ada suara peluru dan dentuman bom yang dengan setia mengiringi. Yang lebih menyedihkan, tepat pada hari seluruh santri harus meninggalkan dayah, ibu tidak bisa menjemputku pulang. Sweeping terjadi dimana-mana. Entah itu yang dilakukan aparat keamanan ataupun GAM. KTP merah putih menjadi jimat yang mujarab ketika sweeping dilakukan aparat. Sebaliknya, KTP tersebut menjadi sumber malapetaka ketika GAM mensweeping. Semua menjadi serba salah. Masyarakat memilih diam saja di rumah karena takut. Angkutan umum mogok untuk mengangkut penumpang karena tidak ingin mengambil resiko.

Aceh benar-benar menjadi kota mati saat itu. Tak ada kehidupan, yang terlihat hanya aparat yang melakukan pratoli dengan tank-tank yang berisikan senjata dan peluru.
Satu persatu temanku dijemput oleh orang tuanya dengan menggunakan sepeda motor ataupun becak. Modal nekadlah yang mereka miliki saat itu. Apapun akan ditempuh asalkan bisa berkumpul lagi bersama-sama keluarga. Namun, aku harus berpuas diri untuk tetap berada di dayah selama beberapa hari setelah kelulusanku. Ibu tak mungkin menjemputku. Mau menjemput dengan kendaraan apa? Sepeda motor tak punya, tak ada becak di Tangse. Menyewa ojek juga tidak mungkin. Jarak Tangse-Lueng Putu tidak dekat, butuh waktu 2 jam lebih dan harus melalui pegunungan yang tidak ada yang bisa menjamin keamanannya. Angkutan umum masih tetap mogok. Aku benar-benar dituntut untuk lebih mandiri saat itu. Aku harus sabar dan tabah.

Akhirnya aku bisa menumpangi sebuah labi-labi “nekad” yang membawaku ke Sigli. Rumah sepupuku menjadi tujuan. Hari-hari di Sigli sangat jauh berbeda dibandingkan ketika aku masih di dayah. Kontak senjata hanya sesekali terdengar, sedangkan di Lueng Putu bunyi letupan senjata bagaikan santapan setiap hari.
Aku mengisi hari libur dengan mengurus segala urusan sekolahku. Mulai dari pendaftaran ke SMA, Bolak-balik Lueng Putu-Sigli untuk mengurus ijazah hingga suatu hari aku dapat kembali ke kampung halaman. Ya, aku bisa kembali ke Tangse dengan menumpangi sebuah mobil pick up milik penduduk Tangse yang sedang membeli sembako di Beureunun.

Namun, konflik benar-benar membuat semua orang menderita termasuk diriku. Aku tidak bisa kembali ke Sigli untuk mengikuti ujian masuk SMA. Semua kendaraan kembali di sweeping. Modal nekad tidak dapat diandalkan lagi. Hanya ambulans yang diizinkan untuk berpergian untuk membawa pasien. Dan Allah Maha Pengasih, di hari yang naas itu aku diizinkan menumpangi ambulans yang akan membawa pasien ke kota Sigli. Tak masalah harus duduk berdesakan. Sampai di Sigli dan mengikuti tes ujian masuk SMA Modal Bangsa adalah tujuan utamaku.

Aku diterima di SMA Modal Bangsa yang letaknya di Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Alangkahkah berbedanya suasana Aceh Besar dan Banda Aceh dengan Lueng Putu ataupun Tangse. Semua aktivitas penduduk berjalan normal. Hanya di pedalamannya saja yang memerlukan penjagaan yang ketat pihak keamanan. Selebihnya tidak. Jarang sekali terdengar letupan peluru.

26 Desember 2004, Aceh kembali diuji dengan bencana gempa dan tsunami. Rakyat kembali berduka, tidak sedikit korban yang berjatuhan baik dari korban jiwa atau pun finansial. Namun, setiap musibah pasti ada hikmahnya. Musibah dahsyat itu ternyata tidak sepenuhnya membawa luka lara bagi rakyat Aceh, tetapi juga mengahasilkan sebuah kenikmatan. Perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia, bagaikan angin segar bagi rakyat Aceh. Betapa tidak, dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding) tersebut, maka berakhir pula konflik yang berkepanjangan di Nanggroe Aceh Darussalam. Tak ada lagi peperangan, kematian, dan semua kesengsaraan.
Semoga damai ini tetap terjaga dan tak ada yang menodainya. Amin.


10 komentar:

  1. Tulisan yang bagus, Liza. Terus menulis ya. Ikut lomba blog di Aceh Journey, dong. Salam.

    BalasHapus
  2. nice writing za..
    berat juga perjalanan hidupmu..

    BalasHapus
  3. pengalaman yang dahsyat.....
    bener-bener salut aku

    BalasHapus
  4. Wah...
    Perjalanan hidup yang luar biasa
    Jadi inget pas suamiku ditugasin di sana, pernah di sangka orang sakti, gara2 nyuruh anak buahnya berenang di sebuah rawa, padahal di rawa itu banyak buayanya. Alhamdulillah smuanya selamat. Klo dari awal suamiku tau di rawa banyak buaya, pasti ga akan nyuruh anggotanya bwt berenang disitu...

    Apa kbr Liza...? maaf ya baru semepet mampir.

    BalasHapus
  5. hmm... perang memang tidak menyelesaikan masalah, hanya mengorbankan rakyat untuk kepentingan elit politik, rakyat hanya menjadi obyek penderita. Tapi semua ada hikmahnya, InsyaAllah pengalaman masa kecil Liza yang keras akan membuat Liza semakin tangguh dan tahan banting. I proud you...:)

    Syukur alhamdulillah, Aceh sekarang sudah aman, salam dan doaku untuk semua rakyat Aceh, semoga kita semua tetap rukun dan damai, aamiin...

    BalasHapus
  6. semoga kedua belah pihak tetap komitmen untuk menjaga perdamaian ini, terutama pemerintah pusat untuk tetap memenuhi janji2 nya yg telah di tuang kan dalam MoU helsinki. jangan ada lg melepas kepala tetapi memegang ekor. Siapkan semua RPP yg menyangkut kewenangan Aceh. Sudah tiga tahun tp baru ada satu kepres yg lahir. Pls Speed Up.

    BalasHapus
  7. masa lalu yang panjang dan penuh kenangan, menjadi indah dengan ending yang bahagia...

    BalasHapus
  8. @ mardiyah : makasih mbak,..yup liza usahakan untuk ikutan
    @ ijal : thanks jal,. Begitulah hidup
    @pram : ya, dan ini hanya akan kita dapatkan di Serambi Mekah
    @witha : hehhehehe, yang bener mbak? Wah, bener unbelievable ya mbak.. alhamdulillah liza baik mbak. Semoga mbak with a juga selalu dalam lindungan ilahi
    @adnan : hu uh mas adnan. Anda benar,..hehehe.. ini semua menjadi pengalaman yang berharga dan unforgettable
    @Ardi : Yupz bang, semoga tak ada yang menodai perdamaian ini
    @tengkuputeh : hehehhe, ya, semua kita berharap akhir yang bahagia. Finnaly we live happy ending

    BalasHapus
  9. miris sekali ceritanya liz.. jujur kalo aku yang menjalaninya, aku akan mudah goyah. tetap semangat ya. Indonesia membutuhkan orang-orang sepertimu

    BalasHapus
  10. bagi saya, tulisan ini lebih dari sekedar cerita.
    Ini adalah jelas sebuah sejarah dalam hidup Mba Liza & banyak orang lainnya yang harus diperhatikan oleh kita semua. Bahwa konflik ini, dan dimanapun itu, tak pernah membahagiakan, tak pernah diperlukan.
    Beruntung semua sudah berlalu, semoga semua pihak memandang dan menempatkan rakyat aceh jauh diatas kepentingan lainnya. semoga...

    BalasHapus

Follow Us @soratemplates