Kamis, 12 Juni 2008

# goresan pena seorang LIZA

KOMPOR UNTUK EMAK


“Mak, jangan lupa minum perasan jeruk nipis ngon kecap nyoe1,” ujar Rahma sembari mencium telapak tangan emaknya yang sedang mempersiapkan kayu bakar untuk memasak. Ia pun segera berlalu menuju sekolah. Mak Rahma melepas keberangkatan anaknya diiringi dengan suara batuk berulang kali. Sudah sebulan lebih wanita itu batuk-batuk. Dan dalam beberapa hari ini semakin parah.

Sebenarnya Rahma enggan meninggalkan emak sendiri, tapi wanita itu pasti tidak setuju kalau putri semata wayangnya tidak sekolah kerena ingin menjaganya di rumah.
“Ka jak sikula, neuk2. Mak tidak apa-apa sendiri. Cuma batuk biasa kok, besok pasti sembuh,” berulang kali Rahma mengutarakan maksudnya dan jawaban emak tidak pernah berubah. Besok pasti sembuh.

Rahma terus berjalan ke sekolah yang terletak tiga kilometer dari rumah. Melewati pematang sawah dan jalan setapak. Setelah duapuluh menit ia sampai ke tujuan.

***
Gadis yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar ini termangu ketika melihat sekelompok kakak-kakak berbaju putih sedang berbicara dengan kepala sekolah. Seluruh teman-temannya mengerumuni kakak-kakak tersebut. Rahma pun tidak tinggal diam, rasa penasarannya membawa gadis itu ikut menyusup ke dalam kerumunan.
“Para siswa sekalian, ini ada kakak-kakak dari fakultas kedokteran di Banda Aceh ingin memberikan penyuluhan untuk kita. Jadi sekarang semuanya segera menuju ke balee3 mesjid,” ucap Pak Gade, kepala sekolah SD N 1 Tangse4 itu dengan lantang.
Seluruh siswa segera menuju balee mesjid yang terletak tepat di samping sekolah mereka. Memang balee itu kerap digunakan sekolah yang letaknya di pinggir bukit barisan ini kalau ada acara temu ramah. Maklum saja, sekolah tempat Rahma menuntut ilmu itu tidak memiliki aula sehingga fasilitas mesjid pun menjadi tumpuan.
Seorang kakak dari fakultas kedokteran mulai memberikan penyuluhan setelah pembukaan yang disampaikan oleh Pak Gade. Fathina, begitu kakak itu memperkenalkan dirinya dan kemudian mulai menyampaikan materi.
“Adik-adik, jadi tema penyuluhan kita hari tentang penyakit paru-paru,” kak Fathina mencoba menjelaskan panjang lebar tentang penyakit paru-paru dengan menggunakan bahasa Aceh yang agak terbata-bata. “meuah adek-adek beh, kakak hana that jeut bahasa Aceh5,” jelasnya.
Rahma menganggu-angguk. Walaupun tidak lancar berbicara bahasa Indonsia tetapi ia mengerti apa yang kak Fathina jelaskan. Tiga kali seminggu ia belajar pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Begitupun dengan teman-teman yang lain, apalagi yang duduk di kelas enam. Bahasa Indonesia mereka tentu lebih baik dari dirinya.
“Paru-paru itu tempat menghirup dan mengeluarkan udara kak,” jawab Rahma dengan semangat ketika kak Fathina menanyakan pengertian paru-paru
“Alat pernafasan, kak!” tambah Miftah, kakak kelas Rahma.
Kak Fathina membenarkan jawaban Rahma dan Miftah seraya terus melanjutkan penjelasannya. Tentang berbagai reaksi tubuh yang muncul untuk mengeluarkan kuman yang masuk, contohnya batuk dan bersin. “Jadi, di tubuh kita itu ada tentara. Kalo ada musuh yang datang, tentara itu langsung menyerang musuh tadi. Jika musuh itu masuk ke hidung kita, maka tentara itu akan menyerang, dan jadilah bersin. Tapi, kalo ngga berhasil juga, tentara mengeluarkan granat. Dan terjadilah batuk.”
“Huk huk huk,.” Amril, teman sekelas Rahma mencoba memperagakan batuk yang dimaksud kak Fathina. Seluruh siswa yang lain bersorak “Granat Amril ka meledak, hahahaha.”
Namun Rahma tidak ikut-ikutan meledek Amril. Ia mencoba mencerna penjelasan kak Fathina dan mencoba menghubungkannya dengan batuk yang dialami emak. “Itu artinya tentara dalam tubuh mak sedang mengeluarkan granat untuk membunuh musuh-musuh yang masuk ke tubuhnya,” batin Rahma.
“Adik-adik emang pintar. Tapi, miseu batuk jih ka trep. Ka leubeh si uroe. Nyan ka peunyaket6. Musuh yang datang itu banyak sekali, jadi tentara yang berusaha untuk membunuh musuh han berhasil. Jadi batuk-batuk terus. Selain itu batuk itu juga bisa menular.”
Kak Fathina terus menjelaskan penyakit paru-paru, sedangkan pikiran Rahma sudah tidak di balee lagi. Jiwanya telah berlari ke rumah. Melihat emaknya yang memasak makan siang untuk Rahma dan batuk-batuk ketika asap kayu bakar terhirup olehnya. Batuk emak sudah lebih sebulan dan ini sudah jadi penyakit. Dan penyakit itu berbahaya. Harus segera diobati.
“Jadi biar kalian terbebas dari penyakit paru, kalian tidak boleh main tanoh, main di dekat asap, peu lom masak ngen kayee7 dan merokok. Peugah bak mak, masak ngen kompor8 biar tidak sakit paru-paru. Dan yang terakhir, jangan lupa kalau ada teman, keluarga, atau tetangga adik-adik yang batuknya sudah parah segera di bawa ke Puskesmas. Biar diobati.” Pesan kak Fathina ketika menutup acara.
***
Matahari sangat terik ketika Rahma pulang dari sekolah melewati pematang sawah. Genangan air karena hujan semalam memantulkan cahaya raja siang itu. Burung beo sedang mencari kutu-binatang kecil yang sangat menjengkelkan- di atas badan kerbau. Tentu saja kerbau di sawah itu merasa girang, karena gatal gara-gara kutu akan hilang. Begitu juga beo, perutnya yang kosong akan terpenuhi dengan memakan kutu-kutu itu. Simbiosis mutualisme, begitu jelas Bu Ros-guru di kelas Rahma-tentang hubungan yang saling menguntungkan antara dua makhluk. Namun Rahma tidak menghiraukan pemandangan itu. Segera tiba di rumah dan bertemu dengan emak adalah tujuan utamanya.
Setelah sepuluh menit berlari, Rahma tiba juga di rumah. Ia melihat emak terbatuk-batuk dan mengeluarkan dahak. Perempuan itu sedang menghidupkan kayu bakar untuk memasak nasi.
“Mak, bah Rahma yang taguen bu9,” ucap Rahma ngos-ngosan. Hari ini adalah rekor tercepat ia berlari. Sepuluh menit dengan jarak 2 kilometer.
Emak yang tidak menyadari kedatangan Rahma spontan terkejut. “Hana jak sikula neuk? ”
Tanpa mempedulikan pertanyaan emak, Rahma segera mengambil panci kecil untuk menanak nasi,“mak jak istirahat mentong, bah batὄk mak puleh10.” Ucap Rahma terbata. Air mata hampir saja membasahi pipi gadis berambut ikal ini.
Jujur, di dalam lubuk hatinya Rahma sangat ketakutan. Ia takut kehilangan emak. Setahun yang lalu ia telah kehilangan ayahnya karena tertimpa tumbangan pohon yang besar saat mencari kayu bakar di hutan. Sekarang ia tidak ingin emak pergi karena penyakit yang dialaminya.
Awalnya emak tidak mengizinkan Rahma mengambil alih tugasnya. Tapi akhirnya wanita itu menurut juga ketika melihat gadisnya telah meneteskan air mata.
Sembari memasak, Rahma teringat kata-kata kak Fathina,”Peugah bak mak, masak ngen kompor8 biar tidak sakit paru-paru.”
Otak gadis kecil itu berputar, sama cepatnya ketika ia berlari menuju ke rumah tadi. “Kalo emak terus menggunakan kayu bakar, sakit emak akan semakin parah. Jadi apa yang harus saya lakukan?”
Rahma telah menemukan cara. Celengan ayam di atas lemari adalah jawabannya. Rahma akan membeli kompor untuk emak. Segera ia meraih celengan ayam itu dan mengeluarkan uang recahan yang tersimpan di dalamnya. Sebenarnya Rahma ingin membeli sepatu baru kalau celengannya penuh. Sepatunya sekarang sudah bolong-bolong, tapi ia mengurungkan niat itu.
Rahma mengumpulkan kepingan uang receh yang tergeletak di lantai dan melanjutkan tugasnya untuk memasak nasi. Setelah itu ia berlari ke arah pasar yang jaraknya empat kilo meter dari rumah. Rahma harus melewati kali, pematang sawah, jalan setapak, jalan raya, dan baru kemudian pasar. Dua puluh menit ia tiba di pasar.
***
Gadis cilik itu kebingungan, dimana ia harus membeli kompor? “Sangat banyak orang yang berjualan di pasar ini.”
Kemudian dengan segenap keberanian ia bertanya kepada nyak-nyak yang sedang berjualan sayur di kaki lima.
“Nyoe dilikot lon11,” jawab nyak itu sambil menunjukkan toko kelontong di belekangnya.
Rahma pun menuju toko tersebut. “Bang, kompor padum saboh12?”
Penjual di toko itu menatap Rahma dengan aneh. Anak kecil mau beli kompor?
“Bang!” panggil Rahma lagi.
“Di sini ngga jualan permen,” ucap penjual itu ketika melihat Rahma yang tak kunjung pergi dari tokonya.
“Lon mau beli kompor,”
Penjual itu kemudian tertawa,“Dek, kalo mau beli kompor itu suruh beli sama mak saja. Masa’ anak kecil mau beli kompor.”
“Tapi, mak lon saket.”
Karena tidak sanggup mendengar ocehan Rahma, penjual itu kemudian menanyakan kompor yang ingin dibeli Rahma. Rahma menunjukkan salah satu kompor yang tersusun di depannya.
“Itu harga nya 100 ribu,.”
“Ngga kurang lagi, Bang?”
“Itu udah yang paling murah,Dek. Pulang saja kamu. Besok- besok ajak makmu beli.”
“Saya mau beli sekarang!” Rahma bersikeras.
“Ya sudah, mana duitnya?”
Rahma mengeluarkan recehan logamnya. Kemudian menghitung uangnya itu. Rp 49.000. Setengahnya saja tidak cukup. “Bang, gimana kalo saya berhutang aja.” Rahma mengambil resiko. Ia melakukan hal yang selama ini selalu dilarang emaknya.
“Aneuk manyak ka carong meutang. Jak keudeh. Keun dijak beut ngen sikula ken keudeh!13” Usir penjual itu.
Rahma berlalu dengan sedih. Perlakuan yang sama juga ia dapatkan dari penjual kompor yang lain. Bahkan ada yang memaki-makinya.
***
Hari kian menuju malam. Matahari sudah bergerak menuju barat. Namun Rahma belum berhasil membeli kompor untuk emak. Rahma menatap langit yang telah ditutupi awan gelap yang menandakan akan segera turun hujan. Kalau hujan turun, pematang sawah akan sangat becek dan licin. Dan itu artinya ketika malam tiba, Rahma belum juga tiba di rumah. Emak pasti sudah sangat mengkhawatirkannya. “Tapi saya harus membeli kompor untuk emak,..” Rahma menangis beriringan dengan hujan yang mulai turun ke bumi.
Rahma memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia tidak dapat berlari kencang karena jalanan becek dan licin. Cipratan lumpur mengotori seragam putih merahnya yang sejak pulang dari sekolah belum diganti. Sesekali ia hampir terjatuh ke dalam sawah yang telah penuh dengan air dan lumpur.
Setelah azan magrib ia baru tiba di rumah. Ini kali pertama Rahma pulang malam-malam. Kalau ayah masih hidup, ia pasti akan dipukul dengan rotan kecil yang dibawa pulang dari hutan. “Ayah mukulnya ngga sakit, geli gitu. Tapi saya paling takut dipukul ayah,” ucap Rahma ketika memberikan alasan ke temannya saat diajak pergi main sampai magrib.
Dari luar Rahma melihat pintu rumahnya terbuka lebar. Tidak seperti biasa pintu rumahnya terbuka pada malam hari. Apalagi setelah kematian ayah. Biasanya hanya terbuka kalau emak keluar sebentar untuk menutup kandang bebek di samping rumah atau kalau datang tamu.
Tapi tidak mungkin emak sedang menutup kandang bebek. Bebeknya yang hanya dua ekor itu sudah dipotong dua hari yang lalu. Ada tamu? Tidak mungkin juga. Siapa yang mau bertamu hujan-hujan begini. Jadi, kenapa pintu rumah terbuka?
Sambil menghela nafas panjang, Rahma mengucapkan salam. Dalam hati ia takut kalau emaknya marah karena pergi tidak pamitan dan pulang kemalaman.
“Assalamualaikum,” ucap Rahma dengan wajah yang penuh rasa bersalah. Rahma langsung menghampiri emaknya yang sedang duduk di ruang depan dan meminta maaf atas kelakuannya. Ia tidak menyadari kalau ada beberapa orang lagi di ruangan itu selain emaknya.
“Tadi Rahma mau beli kompor untuk emak, tapi uang Rahma tidak cukup.” Air mata Rahma pun tidak terbendung lagi. Ia takut emaknnya tetap marah mendengar penjelasannya.
“Rahma, jok saleum dilee keu jamee. Itu kakak-kakak yang di belakang Rahma ngon pak Gade,” kata emak yang isinya sangat jauh dari perkiraan Rahma.
Rahma berbalik, ia melihat ada beberapa kakak-kakak dan juga Pak Gade di belakangnya.
“Rahma, kakak-kakak ini baru aja meriksa emak kamu. Ngga usah khawatir, kalau minum obat yang teratur, dua atau tiga hari lagi Insyaallah sembuh,” jelas pak Gade.
Rahma kebingungan. Dari mana mereka tahu kalau emak sedang sakit?
“Dek Rahma! Tadi setelah penyuluhan di sekolah, kami mengadakan survey ke rumah-rumah warga untuk mengobati yang sakit. Kebetulan sekarang gilirannya rumah Rahma. Jadi sekarang kami sedang mengobrol sedikit dengan emak Rahma,” ucap salah seorang dari mereka yang ternyata adalah kak Fathina.
“Tapi, kalau emak masih masak dengan kayu bakar. Emak bisa sakit lagi kan, Kak?” Rahma kembali murung.
“Tenang Rahma, kakak-kakak ini juga membagi-bagikan kompor gratis untuk warga, termasuk untuk Rahma. Jadi, jangan sedih lagi ya, Neuk!” terang pak Gade sambil menunjukkan kompor alumunium di sudut ruangan yang mirip sekali dengan yang dilihat Rahma di pasar.
“Alhamdulillah.” Rahma kembali tersenyum dan memeluk emaknya erat.

Keterangan :
ngon kecap nyoe: dengan kecap ini
Ka jak sikula neuk: pergi sekolah, nak!
Balee : Surau
Tangse : salah satu kecamatan di Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam yang terkenal sebagai lumbung padi Pidie
meuah adek-adek beh, kakak hana that jeut bahasa Aceh: maaf ya adik-adik, kakak tidak begitu bisa bicara menggunakan bahasa Aceh
miseu batuk jih ka trep. Ka leubeh si uroe. Nyan ka peunyaket: kalau batuknya sudah lama, lebih dari sehari. Itu sudah termasuk penyakit
peu lom masak ngen kayee: apa lagi kalau menggunakan kayu bakar
Peugah bak mak, masak ngen kompor: bilang sama ibu untuk memasak dengan menggunakan kompor!
Mak, bah Rahma yang taguen bu: Mak, biar Rahma saja yang memasak nasi
mak jak istirahat mentong, bah batὄk mak puleh: Mak, istirahat saja agar batuknya segera sembuh
Nyoe dilikot lon: itu, yang di belakang saya
padum saboh: berapa harganya satu?
Aneuk manyak ka carong meutang. Jak keudeh. Keun dijak beut ngen sikula ken keudeh!: Anak kecil sudah pintar ngutang. Pergi sana! Bukannya mengaji atau belajar di sekolahan.
jok saleum dilee keu jamee: beri salam dulu untuk tamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates