Liza Marthoenis
November 30, 2007
1 Comments
OPTIMALISASI PEMIKIRAN
Manusia adalah sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt.. Sebagi makhluk terbaik, manusia dianugrahkan akal oleh Sang Khalik. Dengan akal tersebut manusia dituntut untuk berpikir. Berbeda dengan binatang yang hanya diberikan nafsu tanpa diberikan akal. Sehingga apa pun yang dilakukan binatang adalah kodratnya sebagai akhluk yang tak berakal. Akallah yang membedakan manusia dengan binatang.
Berpikir merupakan penggunaan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah alasan yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Seperti kalimat yang diungkapkan dalam sebuah iklan di televise, “Pikir dong, pake otak!”. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contohnya adalah saat pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Komputerlah yang memeriksa hasil ujian. Nilai yang dihasilkan oleh komputer merupakan penetu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya.
Kembali pada manusia sebagai makhluk yang berpikir, meski dalam agama, kita dihadapkan dengan konsep "dengar dan kerjakan", namun hal yang demikian hanya terbatas pada ajaran-ajaran agama yang sudah pasti dan tak dapat mengalami perubahan sampai kapan pun. Sangat banyak, bahkan lebih dominan agama menganjurkan untuk tetap memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Kecenderungan seseorang dalam mengeksploitasi kata "kemanusiaan" sering berdampak menghilangkan jati diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berpikir. Demi kemanusiaan, hilanglah kemampuan berpikir manusia yang justru membedakan kita dengan makhluk lainnya. Kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir sebenarnya tak mungkin hilang, tetapi bisa saja terjadi ketika manusia tidak menggunakan otaknya untuk berpikir.
Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir akan menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah.
Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan. Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah.
Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Akan tetapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus.
Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral. Contoh kecil adalah saat penentuan kenaikan kelas atau kelulusan harus dilandasi cara-cara ilmiah, yakni dengan melihat perolehan nilai siswa secara komprehensif. Penilaian harus secara paripurna, bukan penilaian insidentil saat ujian saja yang waktunya 2 jam setiap pelajaran yang diujikan.
Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah "musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.
Saat ini, banyak prilaku tidak ilmiah yang justru ditampilkan oleh pemimpin yang semestinya lebih ilmiah dari masyarakat biasa. Saat tunjangan DPRD baru diwacanakan, maka dengan gesitnya Pemda mengucurkan tunjangan tersebut karena ada kedekatan kepentingan yang tidak ilmiah, meskipun akhirnya meka harus mengembalikannya.
Pertanyaannya sekarang adalah: Mengapa mereka tidak bersifat ilmiah, padahal mereka adalah manusia sebagai makhluk ilmiah? Ataukah mereka bukan manusia? Mereka sering bersifat ilmiah, tapi tak jarang mereka melupakannya. Mereka dan kita semua secara ilmiah pernah melakukan hal yang sama, yakni pernah berbuat dan berprilaku ilmiah dan pernah juga tidak ilmiah. Secara ilmiah itu adalah hal yang manusiawi, namun sifat manusiawi tak dapat kita jadikan sebagai tameng untuk melegalkan tindakan yang merugikan orang lain. Keputusan ataupun tindakan yang secara langsung melibatkan orang lain tak dapat ditolak haruslah ilmiah. Kesalahan pada masalah ini tak dapat ditoleransi dengan kata manusiawi, tetapi harus mendapat tindakan, sekurang-kurangnya tindakan etika. Kita dan siapapun yang telah mengetahui hakekat ilmiah dan sebenarnya kita pernah atau sering melakukan hal yang ilmiah, akan mampu menilai diri kita sendiri atau seseorang, terutama pemimpin kita apakah dalam bertindak kita atau dia ilmiah atau tidak.
Manusia adalah sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt.. Sebagi makhluk terbaik, manusia dianugrahkan akal oleh Sang Khalik. Dengan akal tersebut manusia dituntut untuk berpikir. Berbeda dengan binatang yang hanya diberikan nafsu tanpa diberikan akal. Sehingga apa pun yang dilakukan binatang adalah kodratnya sebagai akhluk yang tak berakal. Akallah yang membedakan manusia dengan binatang.
Berpikir merupakan penggunaan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah alasan yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Seperti kalimat yang diungkapkan dalam sebuah iklan di televise, “Pikir dong, pake otak!”. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contohnya adalah saat pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Komputerlah yang memeriksa hasil ujian. Nilai yang dihasilkan oleh komputer merupakan penetu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya.
Kembali pada manusia sebagai makhluk yang berpikir, meski dalam agama, kita dihadapkan dengan konsep "dengar dan kerjakan", namun hal yang demikian hanya terbatas pada ajaran-ajaran agama yang sudah pasti dan tak dapat mengalami perubahan sampai kapan pun. Sangat banyak, bahkan lebih dominan agama menganjurkan untuk tetap memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Kecenderungan seseorang dalam mengeksploitasi kata "kemanusiaan" sering berdampak menghilangkan jati diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berpikir. Demi kemanusiaan, hilanglah kemampuan berpikir manusia yang justru membedakan kita dengan makhluk lainnya. Kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir sebenarnya tak mungkin hilang, tetapi bisa saja terjadi ketika manusia tidak menggunakan otaknya untuk berpikir.
Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir akan menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah.
Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan. Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah.
Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Akan tetapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus.
Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral. Contoh kecil adalah saat penentuan kenaikan kelas atau kelulusan harus dilandasi cara-cara ilmiah, yakni dengan melihat perolehan nilai siswa secara komprehensif. Penilaian harus secara paripurna, bukan penilaian insidentil saat ujian saja yang waktunya 2 jam setiap pelajaran yang diujikan.
Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah "musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.
Saat ini, banyak prilaku tidak ilmiah yang justru ditampilkan oleh pemimpin yang semestinya lebih ilmiah dari masyarakat biasa. Saat tunjangan DPRD baru diwacanakan, maka dengan gesitnya Pemda mengucurkan tunjangan tersebut karena ada kedekatan kepentingan yang tidak ilmiah, meskipun akhirnya meka harus mengembalikannya.
Pertanyaannya sekarang adalah: Mengapa mereka tidak bersifat ilmiah, padahal mereka adalah manusia sebagai makhluk ilmiah? Ataukah mereka bukan manusia? Mereka sering bersifat ilmiah, tapi tak jarang mereka melupakannya. Mereka dan kita semua secara ilmiah pernah melakukan hal yang sama, yakni pernah berbuat dan berprilaku ilmiah dan pernah juga tidak ilmiah. Secara ilmiah itu adalah hal yang manusiawi, namun sifat manusiawi tak dapat kita jadikan sebagai tameng untuk melegalkan tindakan yang merugikan orang lain. Keputusan ataupun tindakan yang secara langsung melibatkan orang lain tak dapat ditolak haruslah ilmiah. Kesalahan pada masalah ini tak dapat ditoleransi dengan kata manusiawi, tetapi harus mendapat tindakan, sekurang-kurangnya tindakan etika. Kita dan siapapun yang telah mengetahui hakekat ilmiah dan sebenarnya kita pernah atau sering melakukan hal yang ilmiah, akan mampu menilai diri kita sendiri atau seseorang, terutama pemimpin kita apakah dalam bertindak kita atau dia ilmiah atau tidak.