Pagi itu udara begitu dingin jika dibandingkan dengan panasnya Banda Aceh saban harinya. Jelas saja, dinginnya pagi membuat orang-orang akan tetap bermalas-malasan keluar untuk beraktivitas seperti biasanya. Atau mungkin hanya aku saja yang merasa seperti itu? Entahlah, may be yes, may be no, kata Ringgo dalam sebuah iklan rokok. Aku belum bisa memabaca pikiran orang, jadi anggap saja hanya aku yang menderita kemalasan saat itu.
Namun, walau bagaimanapun aku harus tetap beranjak keluar dari kamar. Mandi dan menjalankan kegiatan pagiku dengan berjalan sekitar seratus meter menuju kampus tercinta. Menelusuri trotoar jalan dan menatap langit yang diselubungi awan hitam pertanda hujan akan datang.
Pukul 7.50 aku baru beranjak dari rumah kost menuju kampus. Jelas saja itu tidak membuatku telat, meskipun sepuluh menit lagi kuliah akan dimualai. Dalam tempo lima menit, aku sudah tiba di sana. Jalanku memang cepat. “Kalo jalan lurus terus, ngga liat kiri kanan,” kata temanku. Jadi, its okay. Aku kemungkinan besar (setidaknya 50-50 lah) untuk telat.
Tapi, tidak untuk pagi itu. Tahu kenapa? Karena aku harus menuju Rumah Sakit Jiwa yang jaraknya lebih kurang (lebih malah) 30 menit dengan labi-labi. Malamnya temanku telah mengirimkan sms kalau kami harus ngumpul jam 7.30 di depan RSJ. But, the fact?
1. Pukul 7.50 : Berangkat ke kampus
2. Pukul 7.55 : Tiba di kampus dan melihat tak ada satupun teman sekelasku di seputaran kampus (Ya iyalah, you’re very late Liza) yang kutemui hanya teman-temanku yang belum dapat giliran untuk visit ke RSJ
3. Pukul 8.00 : Labi-labi belum satu pun yang nongol, kalau pun ada semuanya menuju ke Tungkop bukan ke Kota Banda Aceh
4. Pukul 8.05 : Aku masih sedikit santai walaupun telah panic seperempat mati. (biasanya setengah mati kan?)
5. Pukul 8.10 : Sebuah labi-labi berhenti dan aku menumpanginya sampai ke depan Rumah Sakit Zainal Abidin.
6. Pukul 8.30 : Aku baru tiba di RSUZA, lumayan cepat dari perkiraan karena angkotnya melaju lumayan kencang
Telat..
So, aku telat satu jam!!! Saat itu aku sudah membayangkan ceramah apa yang akan kudapatkan dari dokter-dokter spesialis jiwa itu.
Dokter A : Kamu kenapa telat? Kamu tau sekarng jam berapa? Sudah satu jam kamu terlambat. Mau jadi dokter macam apa kamu? Berapa banyak pasien yang bakalan mati karena keterlambatan kamu?
(Sekarang aku kan tidak menangani pasien emergency, aku hanya mewawancara pasien gangguan jiwa. Ngga mungkin mereka bisa meninggal gara-gara itu. Logis dikit dong dokter)
Dokter B : Jangan kamu pikir karena ini bukan pasien emergency kamu bisa sesuka hati. Pasien psikosis (waham=gila) ini bisa saja kalau kita telat menangani akan melakukan bunuh diri. Dimana naluri kemanusiaan kamu? Sekarang kamu ngga bisa masuk! Akan saya laporkan ke PBL kalau kamu tidak lulus mata kuliah ini
(Wah, dokter B hebat!! Bisa baca pikiranku. Tapi ngga ada tuh pasien yang meninggal? Ngga ada kan? semua pasien di bangsal manapun tetap fit aja walau mengalami gangguan mental organic. Jangan bawa-bawa naluri kemanusiaan dok! Gini-gini saya masih punya perasaan untuk sesama. Untuk hewan aja saya sangat sayang, apalagi manusia. What? Saya ngga lulus mata kuliah ini? serius dok? Tega banget dokter. saya kan ngga sengaja telat. Dokter, jangan gitu dong. Kasihanilah saya..hiks hiks)
Hmmm,..syukur itu hanya pikiran bodohku.
Sekarang, di depan RSUZA aku kembali kebingungan. Jarak RSJ masih jauh ke sana. Tidak ada angkutan umum yang melintasi Jl. Kakap itu. Segera kupanggilkan becak untuk mengantarkanku ke tujuan. Pukul 8.40 aku tiba di halaman depan RSJ.
Di sana aku kembali memikirkan hukuman yang akan diberikan dokter spesialis jiwa itu kepadaku. Bagaimana kalau itu memang benar terjadi? Ya Allah, help me. Ini semua benar-benar keteledoranku. Aku sangat kurang menghargai waktu. Kemarin-kemarin Allah masih memberikan kesempatan bagiku untuk tidak mengulangi kebiasaan burukku yang kadang-kadang kumat (Misalnya waktu presentasi lomba essay itu). Nah, sekarang aku melakukan kesalahan itu lagi. TELAT LAGI!!!
Tersesat
Aku benar-benar asing dengan suasana RSJ. Walaupun sudah beberapa kali melintasinya, tapi baru kali ini aku singgah dalam waktu yang lumayan lama. Tak bisa kubedakan yang mana pasien dan yang mana buruh bangunan yang sedang merenovasi rumah sakit itu. Karena tidak semua pasien memakai pakaian rumah sakit, ada sebagian yang memakai pakaian sehari-hari mereka di rumah. Aku memasang muka lilin. (gimana bentuknya ya? Aku sendiri ngga tau, hehe). Kukurangi sifat ramahku. Hanya dokter dan perawat yang kutegur (walau dengan sedikit curiga kalau mereka beneran dokter/perawat atau pasien yang berobsesi menjadi dokter/perawat).
Tak lama berada di halaman rumah sakit, aku berpas-pasan dengan Wanda, teman seangkatanku namun tidak sekelas.
“Wanda, teman-teman sekelas Liza dimana?”
“Ngga tau juga, Za. Wanda kena di UGD. Nomer absent Liza berapa?”
“9”
“Mungkin kelompok 3. soalnya kita dibagi menjadi beberapa kelompok. Udah dulu ya Za. Wanda mau fotokopi status nih.”
“Thanks, Da,” ucapku dengan sedikit lega.
Nah, dimanakah kelompokku itu berada? di ruangan mana? Aku sama sekali tidak familiar dengan RSJ. Aku pun memutuskan untuk menuju UGD yang terletak tidak begitu jauh dari tempatku berada sekarang. Kutanyakan dimana kelompokku berada pada dokter-dokter muda yang sedang co-ass pada bagian itu. Tapi nihil. Mereka juga tidak tahu. Kemudian tiba-tiba seorang dokter menghampiriku, aku mulai berpikir macam-macam. Jangan-jangan dokter itu akan memarahiku. (Tenang Liza. Calm down!)
“Coba kamu ke bagian poli, lurus saja ke depan kemuadian naik tangga. Di situ cari aja ibu xxx (lupa namanya). Kamu tanyakan dimana kelompokmu.”
Syukurnya dokter itu baik. Tidak seperti pemikiranku. Langsung saja kutemui ibu yang dimaksud. (Yang lebih sialnya hari itu, aku kehabisan pulsa untuk menelpon teman sekelompokku).
Setelah menemui ibu itu, aku langsung mencari RUANGAN REHABILITASI, tempat teman-temanku berkumpul. Untuk mencapai ruangan itu aku harus menempuh beberapa bangsal yang dipenuhi oleh orang-orang yang terganggu jiwanya.
“Bu Dokter sini dong!”
“Hai Bu Dokter Cinta.”
Dan lain-lain.
Berbagai panggilan nyeleneh dilontarkan pasien-pasien itu. Ada yang cuek bebek, ada yang melamun, ada yang sedang tidur-tiduran, ada juga yang iseng. Aku tetap memasang “wajah lilin”, kaku, tak ada ekspresi. Seperti yang kubaca dari sebuah literature, begitulah muka penderita Parkinson. Mask face, tak ada ekspresi. Naudzubillah.
Aku terus berjalan menelusuri koridor RSJ. Berjalan dan menatap lurus ke depan tanpa melihat kiri kanan (karena di situ ada pasien). Ketika melihat gerombolan manusia yang memakai baju puti (perawat.red) aku langsung menanyakan di mana ruang itu berada.
Tiba-tiba aku berpas-pasan dengan dokter spesialis jiwa yang kebetulan menjadi pembimbing kelompokku.
“Dok, maaf saya telat.”
“Kenapa bisa telat?” tanyanya ramah.
“Labi-labinya dok…” aku memutuskan ucapanku. Saya memang telah telat dari rumah dan ditambah lagi labi-labinya agak sedikit lelet, dok.
Syukurnya dokter itu tidak menanyakan panjang lebar alasanku dan menyuruhku langsung menganamnesis salah satu pasien.
“Kenapa kamu? Kesasar ya?” Tanya dokter umum yang mengatur jadwal wawancara kami.
Aku hanya tersenyum dan langsung memasuki ruangan rehabilitasi itu.
Aku melihat teman-temanku sedang mewawancara pasien-pasien gangguan jiwa satu orang satu pasien. Duduk berhadapan, tanpa ada meja sebagai penghalang. Weiks… semua pasien laki-laki. Ada yang sudah lansia, dan ada juga yang masih muda. (hmm, lumayan cakep…:p )
Wawancara Pasien psikosis
“Sekarang kamu wawancara pasien ini,” suruh dokter jiwa yang berpas-pasan denganku tadi.
Dan duduklah seorang lelaki, berumur 23 tahun, dengan kulit sawo matang, dan tinggi proposional di depanku. Jarak kami hanya 30 cm. glekk!! Bismillah. Aku mulai mewawancarainya.
“Bapak saya tidak sanggup kasih makan lagi, makanya saya dibawa ke sini. Di sini saya mau belajar ilmu hitam dari roh para leluhur. Saya tidak gila, makanya saya ngga mau pake baju seperti mereka. (pasien itu memakai kemeja dengan rompi dan celana jeans belel).”
“Dokter mau xxxxx (sensor).” (ternyata pikirannya mesum)
“Kalau saya keras kepala, saya di setrum sama dokter itu (ia menunjuk dokter jiwa). Setiap hari saya dikasih obat merah. Kalau saya mulai keras kepala saya di suntik,” ia menunjukkan lokasi tempat disuntik.
Aku ketakutan sendiri menghadapi pasien ini. Ketika menoleh kea rah teman-temanku, mereka fine-fine saja. kemudian aku menanyakan ia sakit apa? Langsung saja dia dia mengetuk-ngetuk kepalanya, kemudian menggeleng-gelengkanya, dan menatapku dengan tajam kemudian tertawa.
Sesaat kemudian, pasien di depanku itu diam. “Kenapa diam?”
“Arwah leluhur sedang keluar dari badan saya. Yang tadi ngomong itu arwah leluhur dari Medan dan Jawa Barat.”
Aku melihat matanya begitu sayu. Mungkin efek dari obat-obatan penenang yang diberikan untuknya.
“Liza fathi a riani,” lelaki itu membaca namaku yang tertulis di Badge nama yang pasang pada kerudungku. Kemudian menatapku dengan pandangan yang dalam. Aku mencoba mengalihkannya pada makanan yang kubawa dari rumah.
“Saya kenyang.”
“Dokter mau nikah sama saya?”
Glekkkk!!! Dokter muda yang dari tadi mondar-mandir tersenyum sendiri melihat tingkah pasienku. Memang kalau kita perhatikan, tingkah pasien jiwa itu tak beda seperti pelawak di televisi. Namun, tanpa kita sadari bisa saja mereka melakukan sesuatu yang dapat membahayakan jiwanya sendiri atau orang di sekitar.
“Bohong!!!” suara pasienku meninggi ketika kujawab kalau aku sudah menikah. Aku merinding sendiri. Jarak pasien itu dengan ku semakin dekat. Aku menggeser kursiku kebelakang lagi. Sehingga jarak kami semakin jauh.
“Maaf, saya belum nikah. Tapi mana mungkin orang mau sama kamu kalau kamu tetap disini? Kamu harus sembuh dulu. Minum obat yang teratur. Baru pulang. Dan nikah.”
“Saya mau pulang kalau Bapak jemput. DAN NIKAH. HAHAHHA”
Ketegangan pun mereda. Kemudian ia tersenyum padaku. “Makasih ya bu dokter Liza fathiariani, toss dulu lah!”
Akhirnya selesai juga aku mewawancara pasien itu. setelah kupaparkan permasalahannya ke dokter yang membimbingku, ia mengatakan bahwa kalau dilihat dari masalah yang kusampaikan, pasien itu masih mengalami gangguan. Seperti ilusi dan halusinasinya untuk menjadi dukun ilmu hitam. Sedangkan teman-temanku tidak memaparkan keluhan yang berarti karena memang pasien yang dirawat di ruang rehabilitasi itu sudah sembuh 60-80%.
Rabu, 21 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Huek..huek..Eh malam!!biar gk telat, nama-a juga RSJ (rumah sakit jomblo) ya minta nikah lah :D. Klo orang normal datang ke RSJ bisa saket hi.hi.hi..
BalasHapuskaleuh eh hai iddonk!! emang lagi hipersomnia nih.. weikss,..bener juga rumah sakit jomblo. waktu wawancara kemarin, awalnya pasien itu ngaku udah nikah, eh tiba2 jawabannya diubah, jadi belum
BalasHapusKok bisa ya calon ibu Dokter tersesat..?
BalasHapusnamanya aja manusia pakkkk...
BalasHapusmungkin teguran kali ya karena suka lelet
sampe orang gila pun minta nikah sama liza..dimana sih sbnrnya mnariknya si liza jelek..ga abis piker..
BalasHapusbtw, menarik juga orang gila, orang gila tu punya sifat jujur, terbuka, dan apa adanya. Manusia waras kyknya harus belajar banyak ma orang gila..
toss dulu za..!
Heheheh Liza ada ada aja dech... kok bisa tersesat, entar salah suntik lagi.
BalasHapusijallll,..biasa aja lagii
BalasHapusmau gila juga? kenapa? biar seluruh hukum berguguran?
Pocong gaull... ngga gaul lagi lah kalau ngatain liza seprti itu
wah, kalau dokternya telat, pasiennya bisa gila donk, kalau pasien gila, berarti orang gila tambah banyak, kalau tambah banyak yang gila, yang nonton sinetron siapa hayo??..makanya dek, baca iklan di mobil truk, "eh, malam".
BalasHapusThats it!
sbnrnya ga mau..tapi klo akhirnya jadi gila kyk nietzsche apa boleh buat..
BalasHapusmencoba bersimpati aja ke orang gila..soalnya jgn2 kita juga gila hehe..
@ piyoh : jangan gitu dunk bang hijrah,.. liza ngga sengaja untuk telat,..eh malam? bukan lagi tidur bang, udah mimpi malah... tapi emang ngga boleh lagi kejadian ini berulang
BalasHapus@ ijal : nietzsche ? filsuf yang mengatakan GOD IS DEAD itu? ijal..tobat jal tobat,...kalao dikaji lebih lanjut banyak orang yang ngakunya waras tapi ternyata gila contohnya aja ada orang gila harta, gila jabatan, gila wanita, dan gila-gilaan ngebut dijalanan,..dll.. wah banyak juga ya,..hati2 makanya
Tuhan tlah mati ala-nya nietzsche jgn diartikan scara harfiah gitu dong..
BalasHapuslagipula nietzsch tu gila bukan karena kata2 itu tapi karna jalan hidup sbg filsuf/pemikir yg dia pilih..jalan hidup yg dia pilih membuat ia kesepian..jarang komunikasi ma orang2..perkiraan ijal kesepian itu salah satu yg buat dia gila..
ooooooooo
BalasHapusmeneketehe
kurang kenal sama nietzsche
habisnya waktu liza lahir aja dia udah duluan meninggal.. jadi maklumlah
a nice posting, pengalaman yang menarik, syukurlah gak terjadi apa2 dengan Liza...:)
BalasHapusoh gitu..bukannya liza tu nenek tua renta yang umurnya seratus tahun lebih ya.. hehehe..
BalasHapuswah semoga saja tidak terjerumusssssssss
BalasHapusliza,buka blog kakak
BalasHapusmeonkmacho.blogspot.com
kakak lg kesal sama RS ne, ma dokternya juga.
Warnanya gelap Bu Dokter. Saya sedang berada di RSJ. Kunjungi saya donk bu dok. Biar lekas sembuh
BalasHapus@ adnan : iya mas, alhmadulillah
BalasHapus@ijal : iya sih, sebenranya liza yang sekarang adalah reinkarnasi dari seorang pejuang wanita ratusan tahun silam.. tapi sayangnya waktu bereinkarnasi kepala liza terbentur benda yang keras, jadinya ingatan liza ttg masalalu itu hilang
@anas : maksudnya tidak terjerumus? menjadi gila maksudnya? naudzubillah ya,..semoga Allah senantiasa memelihara setiap neuron yang ada ti otak kita,..amiin
@prof. meonk : ok kak, udah liza tanggapi,..memang, dokter itu bukan robot,..namun akibat komersialisasi medis menjadikan dokter seperti itu,..semoga suatu saat hal itu ngga bakal terjadi
bianglala : kamu di bangsal apa biangkeladi? eits bianglala maksudnya,..
kasian deh loe... :P
BalasHapuseh anonim,..siapa sih kamu? tunjukkan gigimu!!! jangan beraninya anonim
BalasHapus