“Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).
Tanpa terasa syariat Islam di Aceh telah berusia tujuh tahun semenjak dideklarasikan. Namun, sampai hari ini pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang perlu dicarikan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persolan-persoalan lain yang timbul yang ikut menghadang pemberlakuan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Sejarah Syariat Islam di Aceh
Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang disalin dalam dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.
Dengan peraturan inilah Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam kala itu, dibantu dengan fatwa-fatwa dari ulama kenamaan Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang saat itu menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahapan berikutnya, ajaran Islam telah menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, dan lainnya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,” Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “ Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.
Pada masa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah pun terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya. Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959), keputusan tersebut terkenal dengan nama keputusan Missi Hardi. Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang; agama, pendidikan dan peradatan, sehingga Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa.
Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar layak dipercaya pernah diberikan, ini karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan syariat Islam di seluruh wilayah Aceh.
Pada masa pemerintahan Orde Baru tidak kalah menyedihkan lagi. Betapa tidak, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang- Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan syariat yang menjadi salah satu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.
Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa dengan keistimewaan agama di dalamnya, pemerintah daerah tetap berupaya untuk menjalankan keistimewaan tersebut, ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan dearah yang berkenaan dengan penerapan syariat Islam.
Pada masa Reformasi, Presiden BJ Habibie menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan. Mengenai keistimewaan bidang agama didefinisikan dengan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.
Pada masa pemerintahan Megawati juga lahir Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Dan undang-undang ini juga membenarkan pembentukan Mahkamah Syari’ah baik pada tingkat rendah ataupun tingkat tinggi, wewenangnya meliputi seluruh bidang syari’at yang berkaitan dengan peradilan dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 merupakan momentum penerapan syariat Islam secara kaffah di bumi yang bersyariat, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan syariat Islam secara kaffah.
Mengaktualisasi penerapan syariat Islam secara kaffah, lahirlah beberapa qanun yang menjadi pegangan secara yuridis formal dalam penegakan syariat Islam di Aceh. Namun harus diakui bahwa qanun-qanun tersebut masih banyak terdapat kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan syariat Islam seperti yang kita rasakan sekarang ini. Bahkan Al Yasa’ Abu Bakar mengatakan bahwa qanun-qanun yang ada sekarang harus direvisi karena isi qanun tersebut masih banyak kekurangan, serta perlu menyusun qanun yang lebih baik.
Penerapan Syariat Islam
Pada permulaan diterapkannya syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, banyak sinyal positif yang kita dapatkan. Ini terlihat melalui maraknya kegiatan religius dan adanya islamisasi pada pamflet perkantoran ataupun pertokoan yang ditambahkan dengan tulisan Arab-Jawi yang menjadi trend tersendiri pada masa itu. Walaupun itu bukanlah salah satu bentuk penerapan syariat Islam yang diharapkan, tetapi itu bisa menjadi salah satu proses untuk menggugah masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, penerapan syariat Islam telah menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Ketika syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera terbayang kepada hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan berbagai hukuman lainnya. Sekiranya kita mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman di atas bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari syariat Islam itu sendiri. Karena itu adalah bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.
Selain itu terdapat terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh oknum polisi Syariah).
Seperti yang dituliskan Teuku Reiza Yuanda dalam reviewnya tentang “Penerapan Syariat Islam di Aceh”, salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh, penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh masyarakat melalui sweping di jalan-jalan negara yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, dan di kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan. Kenyataannya, dalam pelaksanaan syariat Islam justru terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan, apakah korupsi dan manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibadah shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan oleh Islam? Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar syariat Islam, padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim Bak kata pepatah lama Aceh, “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah shalat Ied).
Seharusnya menjadi prioritas utama dalam penerapan Syariat Islam adalah penanaman akidah. Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi dengan batang-batang yang kuat dan kokoh akan langsung tumbang diterpa angin jika akarnya tidak kokoh. Begitu juga dengan akidah, seseorang yang berkeyakinan benar akan melewati jalan yang benar dan kemudian menggapai hasil yang benar. Aqidah adalah landasan utama dari dakwah Islam. Ketika awal mula menyiarkan Islam yang diajarkan nabi kepada penduduk Mekah adalah sisi akidah. Ini menunjukkan betapa urgennya aqidah dalam pengaplikasian syariat Islam.
MS dan WH untuk Apa?
Alamsyah, seorang terhukum cambuk yang dieksekusi pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman Mesjid Jami’ Kabupaten Bireun, mengusung poster yang ditulis dengan sanubari, ditulis dengan jeritan hati, mengapa dia dicambuk? Sedangkan yang lain hanya menonton di warung kopi. “Jangan kami rakyat kecil saja yang harus menerima hukuman cambuk di depan umum, orang orang kaya atau para pejabat yang melakukan pelanggaran hukum pun harus dicambuk dan ditonton masyarakat umum,” demikian protes Alamsyah setelah menerima hukuman cambuk sebanyak enam kali karena divonis melanggar qanun maisir.
Jika ditinjau lebih lanjut, polemik syariat Islam tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi asas atau yang lebih dikenal dengan qanun pelaksanaan syariat Islam sampai sekarang masih menyisakan masalah besar. Banyak qanun yang masih bersengketa dengan KUHAP sebagai rujukan tunggal pelaksanaan hukum. Di samping itu, banyak qanun yang dibuat tidak melalui kajian akademik bahkan terkesan tergesa-gesa hanya untuk mencari payung hukum penerapan syariat Islam. Seperti yang diakui Al-Yasa’ Abu Bakar bahwa qanun-qanun syariat Islam masih banyak yang harus direvisi. Hal ini jelas saja semakin menimbulkan daftar masalah yang membuat masyarakat semakin bingung dengan penerapan syariat Islam.
Zarkasyi menuliskan dalam bukunya “ Menuju Syariat Islam Kaffah” (2008), hal lain yang terjadi dalam penerapan syariat Islam di Aceh adalah harmonisasi peran ulama dan umara. Ulama terkesan kurang dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkenaan dengan implementasi syariat Islam, terutama dalam pembuatan qanun agar qanun yang dibuat sesuai dengan aturan syara’. Padahal dalam sejarah Aceh, ulama memiliki peran sebagai penyebar ilmu dan dakwah serta pendamping kekuasaan sultan. Selama ini ulama hanya sebagai join partner umara yang dibutuhkan jika memberikan manfaat. Keharmonisan hubungan ulama dan umara akan memperkuat penerapan syariat Islam. Ulama memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat, secara tidak langsung setiap perkataan ulama akan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut.
Tidak hanya ulama, lembaga yang mengurus dan mengontrol penegakan syariat
juga tidak luput dari kelemahan dan sorotan, lembaga itu lahir seiring lahirnya “izin” penerapan syariat Islam. Kehadiran lembaga tersebut masih menganut teori trial and error. Lembaga itu di antaranya adalah Wilayatul Hisbah (WH) dan juga Mahkamah Syari’ah.
Mahkamah Syari’ah (MS) telah lahir jauh sebelum penerapan syariat islam berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam ( sejak tahun 1947). Proses pengadilan hukum di MS mengalami banyak polemik yang terkesan berbelit-belit. Jika ada sebuah kasus, maka setelah mendapat laporan kasus disidik oleh polisi, kemudian dituntut oleh jaksa dan pada akhirnya baru disidangkan dan diputuskan MS.
Sebenarnya ada dua hal yang menjadi ketimpangan dalam proses ini. Pertama, secara hirarki MS berada pada urutan terakhir, artinya Mahkamah Syari’ah tidak bisa berbuat banyak jika belum selesai urusan di tingkat sebelumnya, meskipun permasalahan tersebut murni pelanggaran syariat.
Kedua, polisi dan jaksa merupakan perangkat hukum umum, bukan bagian dari perangkat hukum syariat Islam. Tentu kedua unsur ini berbeda dengan Mahkamah Syari’ah yang menggunakan hukum syara’ sebagai aturan dalam menjalankan tugasnya. Jadi, tidak heran jika ada kasus pelanggaran syariat yang proses hukumnya berlarut larut bahkan terkesan dipetieskan.
Lain halnya dengan Wilayatul Hisbah (WH). Tugas WH menimbulkan berbagai persepsi dalam masyarakat, sehingga WH dinilai tidak kompeten dan impoten dalam menjalankan fungsi dan perannya. Menurut Al Yasa’ Abu Bakar, WH sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah untuk melakukan sosialisasi syariat Islam, WH bukan polisi dan tugasnya bukan untuk merazia. Di mata masyarakat, tugas WH di lapangan lebih dari itu, WH identik dengan polisi syariat yang bertugas merazia bukan melakukan sosialisasi. Penyimpangan tugas WH ini menimbulkan polemik besar dan aksi aksi protes terhadap WH pun dilancarkan kendati tidak secara langsung.
Namun perlu direnungkan, dewasa ini tindakan tegas WH dalam amar makruf dan nahi mungkar sangat diperlukan. Ini karena kesadaran masyarakat untuk melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar telah berkurang. Kelemahan lain adalah belum ada payung hukum yang kuat bagi WH dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosisalisasi syariat Islam semata.
Penutup
Penerapan syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin. Ditakutkan konsekuensi di kemudian hari, masyarakat akan takut terhadap pelaksanaan syariat Islam. Namun bukanlah takut akan hukuman Allah, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Seharusnya pelaksana atau pemegang kebijakan dapat memberikan penyadaran moral kepada masyarakat melalui penerapan syariat Islam untuk mencapai ridha Allah SWT secara jangka panjang. Bukan hasil pemikiran jangka pendek karena asumsi Aceh sebagai Negeri Serambi Mekah dan kepentingan politik semata. Amin.
“Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)
Rabu, 21 Januari 2009
# d' ArGuMenTatios
# goresan pena seorang LIZA
SYARIAT ISLAM : SOLUSI ATAU POLEMIK ?
opini-opini seorang anak rimba
Label:
d' ArGuMenTatios,
goresan pena seorang LIZA,
Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009,
opini-opini seorang anak rimba
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
slamat ya liza jelek atas kemenangannya..wew,juara 1 wak..keren..ini tulisan yg menang itu kan?
BalasHapusbtw, ijal rasa syariat islam di Aceh tu masih dalam proses 'menjadi' jadi wajar jika masih ada masalah. Ketidakefektifan syariat islam dngan berbagai perangkatnya sebenarnya mencerminkan kegagalan hukum secara keseluruhan di negara kita sehingga ini mnguatkan pandangan ijal pribadi bahwa masalah sesungguhnya itu bukan pada penerapan 'syariat islam' atau 'hukum positif', tetapi pada penegakan hukum yang belum benar. Dan ijal kira untuk menyelsaikan ini diperlukan kinginan politik yg sangat kuat dr pemerintah dan masih butuh waktu yg cukup lama dlm prosesnya..
Jika kondisinya seperti itu ijal kira solusinya ada di masyarakat. unsur sosiologis antropologis sprti adat budaya, institusi keluarga dll mnjadi kekuatan utama dalam menyelesaikan masalah2 sosial
ijal kira masyarakat saat ini, harus mulai berpikir u tdk trlalu brharap pada negara. Masy harus mandiri untuk mnyelesaikan maslahnya sndiri. Mdh2an dgn prbaikan kondisi masy maka negara ikut mnjadi lebih baik.
Untuk syariat islam, ijal kira kita juga ga usah trlalu brharap dngan institusi formal sprti Wilayatul hisbah & mahkamah syariah. Sudah saatnya dayah, pesantren dan masjid/meunasah mnjadi kkuatan utama dlm 'membumikan' syariat islam. Dayah/pesantren jgn cuma jd tempat berkonsep tetapi juga mnjadi motor penggerak dlam menjalankan perubahan sosial. Bgitu juga dengan masjid/meunasah, jgn cuma sbatas jd tmpat ibadah & musyawarah ttapi harus juga jadi tmpat untuk berbuat lebih banyak
yupz.. setuju bgt sama ijal..
BalasHapusrata-rata masyaratkat kita hanya bisa menyalahkan pemerintah tanpa mau mengoreksi diri sendiri..
contohnya seprti syariat ISlam..
keluargalah yang memiliki tanggung jawab yang besar untuk memberikan pemahaman tentang agama
sejak kecil tentunya..
liza ga seru..masak setuju2 aja..
BalasHapusjadi,..tapi kalau dipikir2 lagi,..terkadang banyak masyarakat kita yang membuat syariat islam terkesan melanggar HAM.. padahal tindakan anarkis segelintir orang2 itulah yang mmebuat pandangan miring orang-orang terhadap syariat Islam yang sedang dijalankan di Aceh,..
BalasHapusklo menurut ijal, masyarakat tu anarkhis krna pihak yg brwajib ga berhasil menjalankan tugasnya dengan baik..
BalasHapusitu benar juga,..tapi tetap liza ngga setuju,..terserah alasannya apa..
BalasHapussama..ijal juga ga setuju..cuma menurut ijal kesalahan bukan sepenuhnya ada di masyarakat..
BalasHapusmenurutnya masyarakat dan pihak terkait sama2 harus memperbaiki diri..
iya,..semuanya pihak harus memperbaiki diri,..mulai dari diri sendiri, dari yang kecil, dan sekarang
BalasHapusudah kayak kata2 aa gym aja..
BalasHapusbiarin :p
BalasHapusIslam itu uda lengkap.mulai yg paling besar hingga yg kecil.mulai paling umum hingga paling pribadi. Permasalahan aceh sekarang, mengISLAMkan org islam.kalo ud islam, ya tinggal ikut aturanya doank kan.g perlu buat hukum2 lain.kalo masi mau ikut aturan belanda ato jepang buat, yoe wes monggo
BalasHapusmenurut saya..., syariat islam harus benar-benar di tegakkan di aceh,,, karena bnyak kita liat di kalangan remaja aceh saat ini yang sudah terbiasa dalam pergaulan kufur... tidak kenal agama lagi.....
BalasHapusmenurut saya..., syariat islam di aceh harus benar-benar di jalankan.., karena bnyak ita liat di kalangan remaja-remaja aceh sudah tidak tahu lagi tentang aturan-aturan islam lagi....
BalasHapusaku orang katholik yang jatuh hati sama yang muslim..mari shabatku kita saling bergandeng tangan,jangan lagi perbedaan di jadikan pertikaian di atara kita,karena yang demikian menyalahi iman kita..amin...Tuhan memberkati...!
BalasHapus