“Sekarang kalau mau ngirim surat ngga perlu lagi lama-lama. Cukup dengan email, dalam hitungan menit surat kita akan tiba ke email tujuan kita.”
Aku masih mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Pak Anwar, guru Bahasa Inggrisku ketika duduk di kelas tiga SMP. Saat itu aku hanya terpana dengan bibir membentuk huruf “o”. Aku sama sekali ngga mengerti dengan apa yang dijelaskan sang guru.
Email? Jenis binatang apa itu. Kata mail sering kubaca di amplop dengan pinggiran biru-merah yang kerap kugunakan untuk mengirimkan surat. Pasti itu tidak jauh-jauh dari surat menyurat, pikirku saat itu.
“Email itu apa, Pak? Terus kalau mau ngirim itu harus pake pos juga?” tanyaku yang benar-benar tidak tahu apa-apa. Aku yakin, semua teman sekelasku juga merasa senasib sepenanggungan denganku. Maklum saja, di tahun 2003 teknologi canggih seperti itu belum sampai ke Lueng Putu, sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, tempatku menuntut ilmu.
Maka Pak Anwar pun menjelaskan apa itu email yang kemudian aku tahu kalau itu adalah singkatan dari electronic mail atau surat elektronik dan untuk mengirimnya harus menggunakan internet.
Bah!!! Apa lagi itu. Internet? Bahasa yang sangat asing. Dan karena keunikan namanya, kami sering menggunakan kata internet untuk teman-teman yang kerasukan jin. Inter untuk masuk, dan net untuk jin. Ngga ada hubungan sama sekali memang, tapi karena keanehannya aku rasa istilah itu sangat cocok.
Kuakui, aku sangat buta teknologi kala itu. Jangankan untuk mengoperasikan internet yang sama sekali tidak kuketahui bentuknya bagaimana, memegang keyboard komputer saja aku belum pernah. Aku hanya bisa menatap kagum ketika petugas tata usaha sekolah dengan cekatannya mengetik berbagai macam surat dengan menggunakan komputer.
Maka ketika duduk di bangku kelas satu SMA, tanpa sedikit rasa malu pun aku langsung mununjuk tangan ketika guru komputer bertanya, “Siapa diantara kalian yang belum pernah memegang komputer sekalipun?” semua mata saat itu tertuju padaku. Teman-teman baru di SMA Modal Bangsa (Mosa) yang merupakan SMA terbaik di Aceh melihatku dengan aneh. Aku tak tahu apakah saat itu mereka menatapku dengan sinis atau malah bangga punya teman yang benar-benar gaptek sepertiku. Betapa tidak, rata-rata teman-temanku itu telah menguasai microsoft office, bahkan ada yang telah bisa mengedit foto dengan photoshop. Tapi, ada satu hal yang hampir sama denganku. Banyak di antara teman-teman baruku itu yang juga belum mengenal internet. Karena saat itu akses internet baru ada di Banda Aceh. Jadi, hanya mereka yang berasal dari Banda Aceh saja yang melek dengan teknologi ini.
Saat itu aku merasa beruntung sekali bisa berada di tengah orang-orang cerdas seperti teman-temanku. Mereka semua tidak pelit ilmu. Ketika Minggu tiba, kami diizinkan untuk keluar asrama (kami semua diasramakan di sekolah itu), Widdha, teman sekelasku mengajak aku ke warnet. “Warnet itu singkatan dari warung internet,” jelas Widdha, siswa yang berasal dari Aceh Utara.
“Wah, ternyata internet itu ada warungnya. Hampir sama seperti wartel atau warkop.” batinku.
Di dalam warnet, aku baru tahu kalau internet itu ada di dalam komputer yang disambung ke server. Aku terkagum melihat bagaimana lihainya Widdha ngechat di salah satu aplikasi chatting. “Aku kemarin diajari sama kakak angkatku, kak Jeni,” jelasnya.
Chat? Kata-kata itu mengingatkanku pada komedi berjudul “Chatting” yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.
“Apaan tuh, Za?” tanyanya dengan mata terus tertuju pada monitor dengan jemari berlari-lari di atas keyboard. Ia sedang asyik-asyiknya chatting dengan menggunakan nama samaran “flower”. Nickname, begitu jelas Widdha saat kutanyakan kenapa harus menggunakan flower.
Aku merasa bangga dalam hati, ternyata Widdha yang menurutku sudah mahir dalam dunia internetan tidak tahu apa itu email. Berbekal penjelasan guru Bahasa Inggris SMPku dulu, akupun menjelaskannya dengan semangat pada sosok yang ada di sampingku. “Email itu singkatan dari electronic mail yang artinya surat elektronik. Jadi dengan fasilitas internet ini kita bisa mengirimkan surat dengan cepat ke teman kita,” ucapku berapi-api.
“Oooo…” Widdha ber”o” panjang seakan mengagumi pengetahuanku.
“Liza ngga chatting juga? Sini Widdha ajari caranya. Nanti Liza pake komputer kosong yang di samping itu,” ucapnya kemudian. Aku tak tahu apakah itu salah satu bentuk pengusiran secara halus karena sedari tadi aku hanya mengganggunya atau temanku itu kasihan kepadaku yang hanya bisa terpana melihatnya ngechat.
Mulailah ia menjelaskan satu persatu cara chatting di aplikasi yang sedang digunakannya. Mulai dari register nama, email, nickname, memilih server, sampai mengunjungi kamar-kamar yang tersedia ada di aplikasi chat tersebut. “Liza gabung di room Mosa aja. Di sini ada semua anak-anak Mosa baik yang udah lulus atau masih sekolah. Nanti Liza tanyain aja ke mereka. Kata kakak angkat Widhha, mereka semua baik-baik.”
Berbekal ilmu yang ngga sepenuhnya kuingat itu, aku pun memberanikan diri untuk menjelajahi internet sendiri. Sejak masuk Mosa aku telah bisa mengoperasikan komputer. Yeah, walau hanya sekedar menghidupkan, shut down, restart, dan mengetik di M.Word. Lumayanlah, dari pada ngga sama sekali.
Akupun menyalakan komputer yang ada di depanku saat itu. Kuikuti petunjuk yang telah diajari Widdha untuk membuka aplikasi chat. Naasnya, aku lupa langkah-langkah yang harus kutempuh selanjutnya. Aku hanya menatap kode-kode yang bermunculan tanpa kutahu artinya. Mau nanya ke Widdha, gengsi. Selama setengah jam aku hanya melihat huruf dan angka yang terus berjalan. Sampai akhirnya kuputuskan untuk mematikan komputer dan kembali ke tempat Widdha.
“Cepat banget, Za?”
“Lagi ngga mood chat. Nantilah kapan-kapan aja,” kilahku.
***
“Jangan takut dengan komputer,” ucap Pak Lazu, guru komputerku, “kamu bisa menekan apa saja yang kamu mau. Kalau sudah hang, restart saja. Setelah itu ia akan normal kembali.”
Aku menyimak penuh antusias.
“Bagitu juga ketika kalian mengoperasikan internet. Sama saja dengan komputer. Kalau tidak tahu, jangan segan-segan tanya ke operatornya,” lanjut laki-laki itu.
Yups, kenapa tidak kutanyakan saja sama operator warnet cara-cara chat dan membuat email. Akupun kembali semangat.
Maka, pada hari Minggu selanjutnya aku semakin berani untuk internetan. Sendiri, dengan modal nekad aku pun menuju warnet yang dulu pernah diajak Widdha. Dan keberuntungan seakan memihak padaku. Apakah itu? Ternyata sang operator pada hari itu adalah Bang Adek, tetanggaku di kampung.
Langsung saja kumeminta dia untuk mengajariku cara membuat email. Hanya dalam hitungan menit, aku telah memiliki sebuah email. Ini dia alamat email pertamaku : fatheeya@yahoo.com
Bang adek juga mengajariku cara chat diberbagai aplikasi yang ada diinternet dan mencari berbagai informasi melalui search engine. Aku benar-benar tidak bisa melukiskan betapa senangnya aku saat itu. Ketika pulang, aku memamerkan email baruku kepada seluruh teman-teman di asrama karena kutahu hanya sedikit diantara mereka yang memilikinya.
Sekarang enam tahun sudah aku berinteraksi dengan dunia maya ini. Banyak hal yang kudapat. Mulai dari ilmu, teman, bahkan pekerjaan.
6 tahun yg ngebentuk seorang liza semakin berkilau
BalasHapusMmmm . . .
BalasHapusItulah guna nya teknologi !!!!
@razi : makasih ya razi.. berkilau? ngga lah, kalo kena cahaya/panas tetap aja gosong. hanya saja liza bisa belajar banyak hal dari dunia maya ini
BalasHapus@rifyal : ya, sebuah teknologi jika dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya tentu sangat berguna
Is mantap. SMA aja dah kenal internet. Long tahun 2000 baru punya email dan tahun 2004 baru punya blog. hehehe
BalasHapustrep droen bang. dari pada lon.... kan away droen lahee :)
BalasHapus