Satu Hari di Ujung Pancu….
Siang itu sebenarnya aku sedikit enggan untuk melangkahkan kaki kemana-mana, terlebih lagi pada pagi hari sampai jam 12 siang aku harus mengikuti ujian Blok 12 tentang Special Sense. Kepenatan setelah ujian membuatku semakin urung untuk melangkahkan kaki. Tapi hendak dikata, aku telah menyetujui untuk menjadi salah satu tim penulis profil korban tsunami bersama teman-temanku yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi kepenulisan yang dicetuskan oleh Helvy Tiana Rosa, penulis kenamaan tanah air itu.
Seusai shalat zuhur di mushalla kampus, Bang Nurul yang menjadi PJ kegiatan itu pun datang menjemputku dan Ade yang saat itu juga bersamaku. Kabarnya aku dan teman-temanku akan di bawa ke Ujung Pancu. Hmmm, tempat apakah itu? namanya begitu asing di telingaku.
“ Kita ke ujung sumatra.” Jawab bang Nurul ketika kutanyakan kemana aku, dan beberapa teman-teman lainnya akan pergi.
Ujung Sumatra? Bukannya ujung Sumatra itu Pulau Weh yang terletak di Sabang?
Sesampai di Ujung Pancu, aku baru menyadarinya..Sebuah perkampungan penduduk yang terletak di kecamatan Peukan Bada Aceh Basar. Sesuai dengan namanya Ujung,,desa ini benar-benar terletak di ujung,. Kalau kita terus berjalan ke ujung desa tersebut, kita akan langsung disambut oleh lautan.
Ujung Pancu….
Sebuah wilayah yang cukup asri, dengan pemandangan yang sangat menawan hati. Hamparan laut biru langsung kita temui begitu menatap ke depan dan rimbunan bukit barisan yang amat tangguh akan menyambut jika kita menoleh ke belakang dari rumah penduduk. Tanahnya tidak begitu luas, masyarakat yang menetap di sana hanya bisa memanfaatkan kaki bukit untuk didirikan rumah dan jalan.
Hari itu merupakan kali pertama aku menginjakkan kaki di Ujung Pancu. Sebenarnya kedatanganku dan teman-teman tidaklah untuk berekreasi, tapi kami sedang menjalankan sebuah proyek pembuatan film documenter dan penulisan buku yang bertemakan “ KESAKSIAN TSUNAMI” yang bekerjasama antara Forum Lingkar Pena Aceh dan TDMRC. Aku, ade, dan kak Mala mewakili FLP, sedangkan bang Nurul, Jhon, dan dua temannya yang lain mewakili TDMRC serta pembuatan film documenter.
Ingin rasanya menikmati pemandangan Ujung Pancu yang memesona itu, tapi tugas tetaplah tugas. Aku harus langsung mewawancarai setiap penduduk yang memang telah ditentukan sebelumnya. Mencari tahu bagaimana keadaan mereka sebelum, ketika, dan setelah tsunami.
“Kami langsung berlari ke bukit itu ketika gelombang besar tsunami mulai menerpa kampung kami,” ungkap Irma, salah satu penduduk yang kuwawancarai. Begitu pula dengan kesaksian penduduk lainnya.
“Alhamdulillah karena bukit itu, tidak ada korban yang berjatuhan,” tambah Zuhra yang juga penduduk Ujung Pancu.
Perpaduan gunung dan bukit menjadi rahmat tersendiri bagi masyarakat di perkampungan nelayan itu. Para lelaki bisa menjaring ikan di laut dan memanfaatkan bukit barisan untuk menanam palawija, sedangkan para wanita mengeringkan ikan-ikan yang telah siap dijaring untuk dijadikan ikan asin yang nantinya bisa dijual. Dan bahkan ketika laut mengamuk dengan gelombang tsunami yang dihempaskannya pada pagi 26 Desember 2004 silam, bukit yang menjulang tinggi itu menjadi tameng yang sangat berharga.
Dinginnya air pegunungan di Ujung Panvu membuatku teringat akan kampungku Tangse,.. dan juga mamaku yang lima bulan lebih tidak kujumpai..(ma, Miss U Much)..but, back to topic…
Nah, yang paling menakjubkan di Ujung Pancu adalah pulau yang terletak tidak terlalu jauh darinya. Sejak menginjakkan kaki pertama sekali, mataku langsung disihir oleh pulau itu. waw, aku merasa seperti di film-film saja. ya, aku hanya pernah melihat pulau di tengah lautan itu di TV…
“Namanya Tuan Di Pulau,” jawab Kak Ira yang menjadi CP kami di daerah itu ketika kutanyakan tentang pulau yang menyihirku itu. ingin rasanya kurenangi lautan di depan mataku itu untuk melihat secara langsung Tuan di Pulau itu. tapi apa hendak dikata, aku tidak mampu berenang. Gaya renang yang kukuasai hanyalah GAYA BATU yang bisa menenggelamkanku setiap saat.
“ Ngga ada penduduk di pulau itu, yang ada hanya ular, monyet, mungkin juga ada harimau. Belum ada yang datang ke pulau itu,” tambah Kak Ira.
Wah, aku bisa menjadi santapan lezat harimau-harimau dan juga ular-ular di pulau itu. atau oooohhh, bisa-bisa para orang utan dan monyet-monyet di sana akan menganggapku bangsanya seperti TARZAN. Dan aku TARZAWATI..oh tidak,..gubrakkkk!!!!
Sayangnya, aku hanya setengah hari saja di Ujung Pancu. Tepat ketika matahari ingin kembali keperaduannya, kami harus beranjak dari tempat itu. namun, kami sempat melihat-lihat pemandangan Ujung Pancu sampai keperbatasannya. Dan ternyata, beberapa meter sebelum perbatasan terdapat Yayasan Lamjabat, sebuah yayasan yang bergerak dalam meningkatkan potensi SDM di bidang kerajinan tangan. Tapi karena waktu yang telah menuju magrib, kami tidak sempat singgah di yayasan itu. semoga suatu hari nanti aku bisa kembali ke Ujng Pancu dan menjelajahi seluruh wilayahnya termasuk pulau Tuan Di Pulau dan menjadi….. Oh NO
Kamis, 17 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
bagus, hebat, mantap .. luar biasa .. semoga menjadi penulis yg terkenal
BalasHapusWow... kErnen ya... emang deh... kalo dah jadi penuls...
BalasHapus